MAKNA SIMBOL BENTUK DAN SENI HIAS
PADA RUMAH BUGIS SULAWESI SELATAN
Pangeran Paita Yunus
Program
Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa
Sekolah
Pascasarjana Universitas Gadjah Mada
Jl.
Traktor IV No. 31 Komplek PU Malengkeri Parangtambung
Makassar,
90222, Hp. 081343851795
R. M. Soedarsono
Fakultas
Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada
ABSTRACT
The cosmologic view of
the Buginess tribe assumes that this macrocosmos (the universe) is arranged
into three levels: Boting langi’ (the upper world), Ale kawa (the middle
world), Uri’ Li’yu’ (the Under world). As the centre from the three parts of
this universe is Boting Langi (the highest sky), the place of Dewata SeumaE
(God) to lie down. This view is represented in the traditional house building seen
as the microcosmos. So, the traditional house of the Buginess is devided also
into three levels (stacks), those are: rekkeang (top floor) viewed as the head
of the human being, Alle bola (the body of the house) viewed as the body, and
Awa bola (space underneath of the house) viewed as the leg of the human being.
The three parts are centered at Posi bola or the house navel. The result of this research is hoped to enrich the
knowledge treasury in the art sector, mainly the plastic arts, related to the
decorated art obtained in the Buginess kings’ palace. Beside that, it can be
the source of the idea of developing the creativity of inventing art, mainly
plastic arts sector deriving from the glorious values invented at the palace
building.
Keyword: Decorated art, Buginess
tribe.
ABSTRAK
Pandangan kosmologis
suku Bugis menganggap bahwa makrokosmos (alam raya) ini bersusun tiga tingkat
yaitu: Boting langi' (dunia atas), Ale kawa (dunia tengah), Uri' Li'yu' (dunia bawah). Sebagai pusat
dari ketiga bahagian alam raya ini ialah Boting
langi' (langit tetinggi) tempat
Dewata SeuwaE (Tuhan Yang Maha Esa) bersemayam. Pandangan ini diwujudkan
dalam bangunan rumah tradisionalnya yang dipandang sebagai mikrokosmos. Oleh
karena itu, rumah tradisional Bugis dibagi pula atas tiga tingkat (susun),
yaitu: rakkeang (loteng) yang
dianggap sebagai kepala manusia, Alle
bola (badan rumah) dianggap sebagai badan, dan Awa bola (kolong rumah) dianggap sebagai kaki manusia. Ketiga
bahagian ini terpusat pada Posi Bola
atau pusar rumah. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat memperkaya khazanah ilmu di bidang seni khususnya seni rupa,
terkait dengan seni hias yang terdapat
pada rumah Bugis. Di samping itu, dapat menjadi sumber ide pengembangan
kreativitas penciptaan seni, khususnya bidang seni rupa yang bersumber dari
nilai-nilai luhur yang terdapat pada bangunan istana.
Kata kunci: seni hias, suku Bugis
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG MASALAH
Rumah
tradisional sebagai salah satu modal kebudayaan tumbuh dan berkembang bersamaan
dengan pertumbuhan suatu bangsa. Oleh karena itu, kehadiran sebuah rumah
tradisional merupakan salah satu identitas dari komunitas pendukung kebudayaan.
Dalam rumah tradisional sebagai sebuah karya cipta manusia, terkandung secara
terpadu tiga wujud kebudayaan, yakni: 1. Wujud kebudayaan sebagai suatu
kompleks aktivitas dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan
dan sebagainya; 2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan
berpola dari manusia dalam masyarakat; 3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda
hasil karya manusia.[1]
Dalam
kenyataan kehidupan masyarakat ketiga wujud dari kebudayaan tersebut di atas,
tentu tidak terpisah satu dengan lain. Kebudayaan ide dan adat istiadat
mengatur dan memberi arah kepada perbuatan dan karya manusia. Pikiran-pikiran
dan ide-ide maupun perbuatan dan karya manusia, menghasilkan benda-benda
kebudayaan fisiknya. Sebaliknya, menurut Koentjaraningrat, kebudayaan fisik itu
membentuk suatu lingkungan hidup tertentu yang makin lama makin menjauhkan
manusia dari lingkungan alamiahnya, sehingga mempengaruhi pula pola-pola
perbuatannya, bahkan juga mempengaruhi cara berpikirnya.[2]
Jikalau wujud-wujud kebudayaan itu dihayati dan diamalkan, maka lahirlah rasa
bangga dan rasa cinta terhadap karya itu. Salah satu wujud yang dimaksud adalah
terdapatnya berbagai macam simbol pada rumah tradisional di Sulawesi Selatan.
Rumah tradisional merupakan karya
yang tumbuh dan berkembang di bawah pengaruh tradisi, aktivitas sosial budaya,
dan perilaku masyarakat.[3]
Oleh sebab itu, sebuah karya rumah seperti rumah Bugis Sulawesi Selatan
semestinya juga sebagai cerminan budaya yang mempunyai makna dan fungsi
sebagaimana mestinya.
Rumah
atau istana dengan berbagai macam simbol yang melekat pada bangunan, lebih dari
sekedar tempat tinggal melainkan merupakan bangunan teratur berlambang yang
menunjukkan sejumlah ide penting dan hal-hal yang berkaitan dengan kebudayaan.[4]
Kebudayaan itu sendiri adalah kesatuan dari gagasan-gagasan, simbol-simbol dan
lain-lain yang mendasari hasil karya dan perilaku manusia, sehingga tidaklah
berlebihan jika dikatakan bahwa manusia sebagai homo symbolicum.[5] Dengan
demikian, karya budaya manusia penuh simbolisme sesuai dengan paham yang
mengarahkan pada pola-pola kehidupan sosialnya.
Simbol-simbol
yang terdapat pada masyarakat Bugis hanya dapat dipahami oleh anggota
masyarakat pendukungnya berdasarkan tata nilai yang berlaku dalam sistem
sosialnya. Hal ini sesuai pendapat Clifford Geertz yang mendefinisikan
kebudayaan sebagai suatu sistem keteraturan dari makna dan simbol-simbol, yang
dengan makna dan simbol tersebut individu-individu mendefinisikan dunia mereka,
mengekspresikan perasaan-perasaan mereka, dan membuat penilaian mereka.[6]
Namun
demikian, sejauhmana kebudayaan daerah dapat dikenal dan dicintai masyarakat pendukungnya, adalah hal yang
membutuhkan analisis untuk menunjukkan identitas bangsa yang berkepribadian.
Budaya daerah yang bersifat nasional perlu diidentifikasi demi pelestariannya,
demikian halnya dengan rumah Bugis Sulawesi Selatan sebagai salah satu aset
lokal yang perlu dipertahankan eksistensinya, bahkan dilestarikan sebagai salah
satu kearifan lokal masyarakat pendukungnya dan warisan yang dapat memperkaya
seni budaya di tanah air.
PERMASALAHAN
Dari latar
belakang yang telah dikemukakan, dirumuskan masalah sebagai berikut.
1.
Bagaimana makna simbol struktur bentuk
rumah Bugis di Sulawesi Selatan?
2.
Bagaimana makna simbol seni hias rumah Bugis di Sulawesi Selatan?
METODE
PENELITIAN
Teori
hermeneutik model Gadamer[7]
dan teori penafsiran Victor Turner,[8]
dipandang tepat digunakan untuk menganalisis makna simbolis pada seni hias dan
struktur bentuk rumah Bugis. Analisis hermeneutik digunakan untuk mempertajam
dalam menjawab permasalahan dalam penelitian ini. Pendekatan sejarah seni
digunakan untuk menelusuri keberadaan
kearifan lokal dalam seni hias rumah Bugis. Dalam mengkaji seni hias
dimaksud sebagai artefak digunakan analisis sinkronis dan diakronis.[9]
Dalam analisis sinkronis, seni hias diamati sebagai sistem yang terstruktur.
Sistem ini terdiri atas fungsi dan fakta fisik, berupa tanda-tanda visual, di
antaranya bentuk, warna, dan ukuran. Struktur memusatkan perhatiannya pada
kesatuan yang mencakup unsur-unsur serta hubungan pengaruh mempengaruhi dalam
situasi tertentu. Penggalian bagaimana terjadinya perkembangan seni hias di
masa lampau dan mengarahkan penelitian ke arah ditemukannya kearifan lokal
dalam seni hias Bugis, dilakukan dengan menggunakan analisis diakronik.[10]
Analisis diakronik dipahami sebagai studi tentang proses.[11]
Model analisis diakronis yang menawarkan bukan saja sebuah struktur dan
fungsinya, melainkan suatu gerak dalam waktu dari kejadian-kejadian yang
kongkret harus menjadi tujuan utama dari penulisan sejarah. Dengan kata lain,
model diakronis adalah sebuah model dinamis.[12]
Teknik analisis datanya adalah analisis nonstatistik atau
analisis kualitatif.. Dalam penelitian ini diterapkan analisis interaktif yang
dikemukakan oleh Miles dan Huberman.[13]
Model analisis interaktif ini ada tiga komponen yang saling berkaitan dan
berinteraksi satu sama lain, yang tidak bisa dipisahkan. Ketiganya adalah (1)
reduksi data, (2) sajian/display
data, dan (3) penarikan kesimpulan. Reduksi data sebagai proses penyeleksian
data yang terkumpul berdasarkan dengan objek penelitian.
PEMBAHASAN
Makna Bentuk Rumah Bugis Berdasarkan Kosmologi
Pandangan kosmologis suku Bugis mengenal adanya tiga macam
pengklasifikasian, yakni klasifikasi pelapisan Dunia (dunia atas, dunia tengah,
dan dunia bawah), klasifikasi struktur rumah tradisionalnya (kepala, badan dan
kaki rumah), dan klasifikasi empat penjuru mata angin (utara, selatan, barat
dan timur). Empat penjuru mata angin ini mewakili pengertian sulapa eppa wala suji (segi empat belah
ketupat), Segi empat belah ketupat ditafsirkan sebagai model dari kosmos. Model
kosmos dihubungkan dengan adanya empat sarwa alam, yaitu: udara, air, api, dan
tanah yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Lebih lanjut segi empat diproyeksikan
kepada asas kehidupan manusia yang terdiri atas empat juga, yakni:
1.
Azas kehidupan tentang eksistensi kelahiran manusia
2.
Azas kehidupan tentang eksistensi kehadiran manusia
3.
Azas kehidupan tentang eksistensi pengabdian manusia dalam makrokosmos dan,
4.
Asas kehidupan tentang kematian manusia.[14]
Dengan kata lain, angka empat merupakan falsafah hidup suku Bugis yang
tersimpul dalam empat asas kehidupan tersebut. Model segi eppa wala suji sebagai model makrokosmos harus diikuti sebagai
model dari mikrokosmos. Empat asas kehidupan manusia Bugis terpancar pula pada
model rumah tradisionalnya yang biasa disebut bola ugi. bola ugi
sebagai rumah keturunan/ keluarga, rumah adat, tempat pemeliharaan dan
pembinaan sistem religi/kepercayaan dan penyelenggaraan aturan-aturan agama. Bola ugi juga berfungsi sebagai pusat
pemerintahan (Saoraja).
Dari konsep di atas, mengilhami bentuk struktur bola ugi (rumah Bugis) senantiasa mengikuti model makrokosmos yang
secara konseptual harus mengikuti model persegi empat. Kemudian model bola ugi ini mengikuti pula struktur
makrokosmos yang terdiri atas tiga tingkatan atau lapisan dunia yakni: bagian
atas (rakkeang), bagian tengah (alle bola), dan bagian bawah (awa bola).
Dalam mitologi suku Bugis, dikatakan bahwa sistem upacara yang dilakukan
oleh kelompok-kelompok atau anggota masyarakat (individu) tidak boleh
bertentangan dengan prinsip-prinsip menurut sistem kepercayaan. Dalam sistem
kepercayaan attauriolong, dikenal
adanya tiga unsur yang disembah dan diberi upacara. Pertama, mereka percaya
kepada dewa-dewa yang dikepalai oleh dewata
seuwaE. Kedua, mereka percaya kepada roh nenek moyang. Ketiga, mereka
percaya kepada kekuatan gaib.
Bagian-bagian ini menurut konsep mitologi Bugis
adalah:
a.
Bagian Atas Rumah (Rakkeang)
Suku Bugis Sulawesi Selatan percaya bahwa bahwa dewata seuwae yang dianggapnya sebagai dewa tertinggi, pencipta
alam raya ini. Dewata seuwae
menciptakan segala-galanya, sebagaimana wujud alam sekarang ini dan percaya
kepada dewa-dewa yang diberi amanah untuk menjaga dan memelihara ciptaan Dewata seuwae dan mengawasi berjalannya
tata tertib alam raya.
Dalam sistem upacara, dewata
seuwae beserta dewa boting langi’,
dianggap bersemayam di bagian langit, maka upacara persembahan kepadanya berlokasi di bagian badan. Rumah (alle bola), namun sesajiannya
dipersembahkan ke bagian atas rumah (rakkeang)
yang dianggap sebagai dunia atas atau sebagai bersemayamnya Dewa boting langi'. Kegiatan ini biasa
disebut massorong riase (penyembahan
ke atas bagi dewa yang berada di langit). Ini pula yang menyebabkan suku Bugis
menyimpan padi dan benda-benda pusaka milik keluarga, yang dianggap bernilai
sakral pada bagian ini, karena rakkeang (loteng)
rumah bagi suku Bugis dianggap sebagai ruang suci.
b. Bagian Badan Rumah (Alle Bola)
Pada dasarnya, rumah Bugis mempunyai tiga ruangan. Masing-masing ruang
memiliki fungsinya masing-masing, yakni: ruang depan (lontang ri saliweng), ruang tengah (lontang ri tenggah), dan ruang belakang (lontang ri laleng).
Secara struktural, bagian ini merupakan bagian rumah yang paling banyak
digunakan untuk melakukan aktivitas-aktivitas kekeluargaan. Bagian ini
merupakan tempat segala aktivitas upacara tradisional dilakukan. Upacara
perkawinan, inisiasi kelahiran sampai kematian, dan lain sebagainya. Dalam konsep
mistis Bugis, ruangan ini dipandang sebagai bagian penyembahan dewa mallino dan dianggap sebagai tempat
bertemunya dunia atas dan dunia bawah atau antara boting langi dengan uri liyu.
Oleh karena itu, bagian ini dianggap mewakili pengertian-pengertian kerukunan,
keharmonisan susunan alam, keseimbangan perintah dan larangan.
c. Bagian Bawah Rumah (Awa Bola)
Bagian ini menurut pandangan mitologi Bugis, sebagai tempat
bersemayamnya dewa uwae dan dianggap
sebagai dunia bawah dan tempat segala sesuatu yang kurang baik dan tidak suci.
Tempat ini berada di bawah (di bawah air), maka penyembahan sesajen dilakukan
di bawah kolong rumah atau di sungai. Kegiatan ini disebut dengan massorong ri awa sokko patanrupa
(persembahan kepada dewa Uwae
berupa nasi ketan dalam empat warna)
sebagai simbol dari sarwa alam, yakni: air, udara, tanah, dan api.
Dari analisis tentang makna struktur rumah Bugis berdasarkan mitologi
(kosmologi), yakni rumah tradisional Bugis menjadi pusat dari letak serta
tempat upacara ritual keagamaan. Rumah Bugis menjadi pusar lintang Timur-Barat
dan bujur utara-Selatan. Dengan kata lain, rumah Bugis sebagai pusat dari
kosmos bagi manusia.
Dari struktur rumah tradisional Bugis yang terdiri atas tiga
lapisan/susun, yaitu bagian atas disebut boting
Iangi’, tengah disebut alle kawa
dan bagian bawah disebut uri liyu. Berarti
rumah tradisional Bugis dianggap sama dengan alam raya ini (makrokosmos) yang
terdiri atas tiga bagian, yakni bagian dunia atas, dunia tengah, dan dunia
bawah. Dunia atas berada di langit, dunia tengah berada di bumi dan dunia bawah
berada di bawah air. Sehubungan dengan sistem kepercayaan attauriolong yang mempercayai adanya tiga unsur, yaitu: dewata seuwae yang membawahi tiga dewa (boting langi’, malino, dan uwae), roh para leluhur dan kekuatan
gaib. Dengan demikian, rumah Bugis beserta unsur dalam masing-masing struktur,
termasuk seni hiasnya merupakan simbol kosmos menurut jalur vertikal yang
berhubungan dengan ajaran teologis atas dasar kepercayaan ketiga unsur kosmos
tersebut. Tiga unsur itu senantiasa harus diberi sesajian dan penyembahan.
Dengan kata lain, secara rutin diadakan upacara terhadapnya, agar senantiasa
juga terjalin hubungan baik antara manusia dengan para penguasa tersebut.
Makna Simbol Seni Hias Pada Rumah Bugis
Bagian ini akan dikemukakan
proses pemaknaan seni hias yang terdapat pada rumah tradisional Bugis
berdasarkan pembagian tingkatan atau susunan rumah Bugis dengan tetap mengacu
pada pemaknaan berdasarkan struktur bangunan.
a.
Makna Seni Hias Istana Bagian Atas
Motif seni hias yang terdapat pada bagian atas rumah yang dibatasi pada
mahkota atap atau biasa yang disebut anjong.
Hiasan-hiasan anjong ini pada
dasarnya dapat diklasifikasikan menjadi dua, yakni:
1)
Seni hias fauna yang dijumpai dalam bentuk ayam jantan, naga, dan kepala
kerbau.
2)
Seni hias flora, dijumpai dalam bentuk bunga yang biasa disebut bunga
parenreng, buah nenas, rebung, dan lain-lain.
(a)
Motif Hias Ayam Jantan
Motif hias Ayam Jantan banyak ditemukan pada rumah tradisional Bugis.
Ayam bagi suku Bugis di samping sebagai hewan piaraan juga menurut mereka
memiliki makna-makna simbolis.
Hiasan ini biasanya ditempatkan pada bagian atap atau pada puncak
bubungan rumah (anjong). Posisi
hiasan mengikuti arah hadap rumah. Pola hias ini memiliki beberapa bentuk variasi,
diantaranya:
(1)
Bentuk ayam utuh (ada kepala, badan dan kaki ayam)
(2)
Bentuk beberapa bagian ayam saja (kepala dan jambul)
Motif ayam jantan dalam bahasa Bugis ditemukan pada istana Raja
Sidenreng Kabupaten Sidenreng Rappang disebut manu’ yang berarti baik. Agar kehidupan keluarga dalam rumah tangga
senantiasa dalam keadaan baik dan tenteram.[15]
Kadang juga motif ayam jantan dilambangkan sebagai matahari. Lambang
tersebut mengandung makna atau pesan bahwa setiap pagi menjelang matahari terbit,
ayam jantan selalu berkokok, menandakan pagi hari telah tiba dan matahari
segera terbit.[16] Selain itu,
ayam jantan juga dipandang sebagai lambang kekuatan, keberanian dan kesabaran.
Ketiga hal ini merupakan unsur kehidupan yang mesti diteladani. Penempatan
hiasan ini pada puncak bubungan rumah dimaksud untuk mendapatkan berkah dari
para dewa dan leluhur.
(b)
Motif Hias Kepala Kerbau
Selain penggunaan motif hias ayam jantan, motif hias kepala kerbau (ulu tedong) juga menjadi obyek dalam
penerapan seni hias anjong istana
Bugis. Kerbau dalam kehidupan suku Bugis merupakan hewan yang sering digunakan
dalam kegiatan pertanian dan perkebunan. Di samping itu, kerbau juga dianggap
sebagai simbol status seseorang. Ini berarti semakin banyak kerbau yang
dimiliki seseorang, maka dia kaya dan memiliki status sosial yang tinggi.
Orang Bugis sudah mengenal kerbau sebagai binatang ternak sudah sejak
lama. Pada masa tersebut, kerbau bagi suku Bugis sangat dipuja karena dipandang
sebagai binatang keramat. Dengan demikian, tidak mengherankan jika kerbau baik
secara utuh maupun bagian-bagian (tanduk, kepala dan lain-lain) sering
ditampilkan dalam seni hias.
Kerbau bagi suku Bugis merupakan lambang kekayaan, kemakmuran dan status
sosial. Selain itu, bagi suku Bugis yang mempercayai adanya roh nenek moyang,
kerbau dipandang sebagai kendaraan roh bagi orang yang sudah meninggal. Dalam
konsep dualisme atau sistem perbedaan dua bagian, misalnya atas-bawah,
baik-buruk, langit-bumi, dan sebagainya. Berkaitan dengan hal tersebut kerbau termasuk
yang ada di bagian bumi.
Oleh
karena itu, motif seni hias dengan motif kerbau, banyak dijumpai dalam berbagai
bentuk. Dalam penerapannya, jarang ditemui pengunaan motif ini dalam wujudnya
yang realis, namun telah melewati proses penggayaan, teknik stilasi, dan
penyederhanaan bentuk. Hal ini sejalan
dengan kecendrungan menempuh jalan pintas membuat motif yang lebih sederhana.
Selanjutnya motif hias kerbau ini dibuat dalam bentuk saling menyilang saja,
sehingga bentuk aslinya hilang. Akan
tetapi tetap memberikan simbol sebagai tanduk kepala kerbau. Hal ini juga tidak
terlepas dari pengaruh masuknya agama Islam di Sulawesi Selatan sekitar abad ke
16-17, di mana dalam ajaran Islam disebutkan bahwa Alquran tidak pernah
melakukan penghadiran realistis dan naturalistik terhadap alam, baik dalam
karya sastra, musik, kaligrafi, pola hias, maupun arsitektur.[17]
|
||||||||
|
Motif ini menjadi pola hias khas bagi suku Bugis dan hanya ditempatkan
pada anjong (mahkota atap) dan sesuai dengan konsep kosmologi/mistis suku
Bugis. Motif kerbau ini menjadi pelindung dari kekuatan jahat dan pengusir roh
jahat, juga sebagai kendaraan roh orang yang telah meninggal.
Penempatan hiasan ini pada puncak bubungan rumah dimaksudkan sebagai
perhormatan kepada dewa boting langi'
dan kekuatan untuk menolak bala.[18]
Motif ini juga bermakna dorongan untuk memperoleh rezeki untuk mensejahterakan
keluarga sehingga derajat sosialnya dapat terangkat di tengah masyarakat.[19]
(c)
Motif Hias Ular Naga
Ular naga mempunyai tempat sendiri dalam khazanah seni hias Indonesia.
Motif ini ditemukan sepanjang masa. Motif hias ini terdapat di berbagai daerah
Nusantara, baik sebagai bentuk perlambangan maupun sebagai hiasan. Oleh karena
itu, motif hiasan ini sudah lama dikenal, sudah pasti ia lebih tua dari zaman
Hindu di Indonesia.[20]
Beberapa kerajaan di Asia Tenggara, rajanya merasa memiliki ikatan
kekerabatan yang erat dengan ular naga, dan mereka merasakan mendapat kekuatan
dari makhluk tersebut. Itulah sebabnya motif ular naga bagi suku Bugis, di
samping sebagai lambang dunia atas, juga mewakili dunia bawah sebagai lambang
pemilik kekayaan yang sewaktu-waktu dapat dimintai pertolongannya oleh manusia.[21]
Oleh karena itu, dalam tradisi pendirian istana atau keraton pada
beberapa kerajaan di nusantara, motif ular naga diterapkan pada beberapa bagian
istana. Pada rumah Bugis, motif ular naga biasanya ditempatkan pada bagian
puncak bubungan rumah serta pada bagian tangga.
Menurut kepercayaan suku Bugis, ular naga hidupnya di langit dan
merupakan perlambang kekuatan yang maha dahsyat. Seni hias naga ini mempunyai
makna yang bersumber kepada perlambangan. Dalam konsep kosmologis/mitologi suku
Bugis, demikian dahsyatnya kekuatan yang dimiliki naga sehingga jika naga itu
marah atau murka, maka matahari dan bulan pun akan ditelannya. Jika ini
terjadi, maka timbullah gerhana bulan atau matahari. Oleh karena kepercayaan
yang begitu besar terhadap kekuatan yang dimiliki oleh ular naga, maka setiap
kegiatan harus mendapat restu dan perlindungannya. Jadi naga sebagai dewa dan
dipersonifikasikan sebagai dewa boting
langi’.
Selanjutnya yang mengetahui kemauan dari naga itu adalah para sanro (saman/dukun). Dukun dapat menentukan
ke arah mana naga itu menghadap sehingga tidak bertentangan dengan kegiatan
yang dilakukan oleh seseorang. Dengan demikian, kekuatan dahsyat yang dimiliki
oleh naga itu dapat dijadikan perlindungan. Ular naga dalam perlambangan dunia
bawah bermakna perempuan. Hal ini sering dikaitkan dengan indo pare (Dewi Sri). Binatang ular naga dalam perlambangannya
disamakan dengan bumi. Hiasan anjong
pada istana Raja Sidenreng merupakan stilasi bentuk naga yang dipadukan dengan
untaian bunga parenreng. Simbolisasi
ular naga bagi suku Bugis Sidenreng, melambangkan kekuatan dan perlindungan
bagi penghuni rumah yang tiada tandingannya.
(d)
Motif Hias
Bunga Parenreng
Pola tumbuh-tumbuhan dalam seni hias Bugis digambarkan dalam bentuk
bunga menjalar. Bunga atau pohon ini dianggap sebagai lambang dari pohon hidup
yang menguasai dunia seperti yang terdapat pada beberapa suku di Indonesia.[22]
Motif bunga ini dalam konsep kosmologis suku Bugis disebut motif bunga parenreng yang mempunyai arti bunga
yang menarik. Di samping hidupnya melata dan menjalar kemana-mana seperti tidak
ada putus-putusnya.
Bentuk bunga parenreng dalam
penggunaannya bermakna sebagai reski yang tak ada putus-putusnya seperti
menjalarnya bunga parenreng tersebut.
Selain itu, bunga parenreng bermakna
sebagai lambang kesuburan dan kemakmuran.
Tanaman bunga yang terbentuk atas susunan daun atau bunga sulur-suluran
menurut van der Hoop. Di zaman prasejarah di Indonesia tidak ditemukan adanya
perhiasan tanaman, tetapi di zaman kemudian,
yakni Hindu, perhiasan ini menjadi umum dan menjadi bagian yang penting
terutama dalam ornamentik Indonesia.[23]
Namun demikian, perlu dikemukakan pendapat beberapa ahli yang mengatakan
bahwa pengaruh Hindu di Sulawesi Selatan sangat sedikit dibanding di pulau Jawa
dan Bali.[24] Dengan demikian,
munculnya motif hias bunga parenreng
(motif sulur-suluran) yang diduga mendapat pengaruh Hindu dalam khazanah seni
hias Bugis, dianggap sebagai ‘penyimpangan’ dari sekian banyak motif hias yang
ada pada rumah Bugis. Dengan demikan, pengaruh Hindu yang sedikit itu mungkin
saja ada dalam seni hias Bugis, khususnya pada rumah Bugis Sulawesi Selatan.
Hiasan anjong pada istana raja Wajo memadukan motif hias bunga parenreng, kaligrafi arab dengan bentuk
mahkota sebagai simbol kerajaan. Motif hias ini sebagai simbol bahwa penghuni
rumah tersebut adalah seorang bangsawan dan beragama Islam.
Pada bagian list plant dihiasi
dengan motif bunga setangkup diselingi bentuk sulapa eppa dalam untaian bunga-bungaan yang bermakna kesuburan,
keharmonisan dan keselarasan. Bentuk bunga parenreng
dalam penerapannya selalu tampil dalam bentuknya yang natural tanpa adanya
stilasi bentuk.
Motif yang terdapat pada istana raja Wajo, disebut juga belo-belo timpalaja bermakna kesuburan
dengan hiasan untaian bunga dan bentuk sulapa
eppa. Penggunaan tiga tingkatan timpalaja
(timpanon), menandakan yang punya rumah adalah seorang bangsawan tinggi.
Makin banyak tingkatan pada timpalajanya,
makin tinggi pula derajat kebangsawanan yang punya rumah.[25]
(e)
Seni Hias Bulan dan Bintang
Motif hias bulan-bintang, penerapannya ditemukan pada istana Raja Bone, Saoraja Wajo, dan Saoraja Sidenreng. Secara keseluruhan, penempatan motif
bulan-bintang menambah estetika istana raja Bugis. Dengan demikian, selain
berfungsi untuk memperindah bangunan, motif hias ini juga mengandung makna
simbol tertentu yang dipercaya oleh suku Bugis.
Motif seni hias ini biasanya dikombinasikan dengan bentuk bintang lima
yang terletak di tengah bulan sabit dan bunga
parenreng. Posisi hiasan mengikuti arah hadap rumah, biasanya diterapkan
pada bagian depan dan belakang puncak bubungan dan pada bagian dinding istana.
Motif bulan dan bintang biasa disebut uleng lolo (bulan yang baru terbit). Menurut pandangan kosmologis
suku Bugis, pola hias ini melambangkan tempat asal nenek moyang suku Bugis dan
lambang kehidupan. Menurut kepercayaan orang Bugis, nenek moyangnya berasal
dari langit. Tomanurung adalah dewa
yang diturunkan dari langit tempat yang tinggi yang sengaja diutus oleh dewata seuwaE ke bumi untuk memerintah.
Tomanurung dianggap
sebagai manusia yang luar biasa yang memiliki kesaktian. Ia dapat memerintah
dengan baik karena ia merupakan keturunan dewa.
b.
Makna Seni Hias Istana Bagian Tengah
Motif seni hias yang muncul pada bagian tengah atau badan rumah (Alle Bola), pada umumnya bermotif flora
seperti bunga parenreng, pucuk
rebung, atau jantung pisang, dan bermotif geometris. Sedangkan yang berasal
dari alam, yakni motif ombak-ombak dan
bintang. Seni hias tersebut biasanya ditempatkan pada tudung angin, lubang
angin, dinding, dan jendela.
1)
Belo-Belo Cirik-Ciring
Nama
hiasan ini Belo-belo Cirik-Ciring ditemukan
di istana Raja Bone yang berarti seni hias yang dikenakan pada papan penahan
ujung atap agar tetap lurus. Motif hias ini bermakna simbolis yang diambil dari
untaian daun pisang. Motif ini terbentuk dari perpaduan daun pisang dengan
pelepahnya mengikuti bentuk ujung daun pisang yang terbuka lebar berjejer. Di
antara ujungnya terdapat bunga pisang yang sedang mekar.
Tanaman
pisang bagi suku Bugis, di samping memiliki manfaat yang cukup banyak, misalkan
daunnya sebagai pembungkus makanan, buahnya dapat dimakan, dan akarnya dapat
dijadikan obat. Paling istimewa, pucuk
pohon pisang tidak akan pernah berhenti tumbuh walau telah ditebang. Dalam
istilah orang Bugis disebut maddaung
maccolli’. Makna simbolisnya adalah kemakmuran, rejeki yang datang tidak
henti-hentinya seperti pohon pisang walau telah ditebang, tetap pucuk baru akan
muncul.
b)
Motif Pucuk
Rebung (Cobo'-Cobo')
Bentuk hiasan yang menyerupai ujung tombak atau segi tiga runcing, biasa
juga disebut belo-belo patteppo barakapu,
yang melambangkan kekuasaan.[26]
Bentuknya berasal dari hiasan geometris berbentuk tumpal. Hiasan yang memiliki
kemiripan yang ditemukan pada motif sarung sutera Bugis (Lipa’ Sabbe), tetapi pada persamaan fisik beda pada makna dan
fungsinya. Motif ini memiliki fungsi estetis untuk memperindah istana. Pandangan suku Bugis, motif seni hias pucuk
rebung (cobo'-cobo') bermakna kesuburan dan kebahagiaan.
Di Kabupaten Sidenreng Rappang, motif hias ini disebut curek pucu’. Bentuknya yang simetris
melambangkan keharmonisan dan kesetaraan. Fungsi hiasan ini sebagai penahan air
hujan dan penahan dari terik sinar matahari, juga untuk memperindah bentuk timpalaja (timpanon).
c)
Motif Hias Bua
Pandang (Buah Nenas)
Motif
Buah nenas (bua pandang) bagi orang
Bugis adalah tanaman yang dianggap memiliki keistimewaan. Buah ini di samping
memiliki rasa yang manis, buahnya selalu menghadap ke atas. Pada bagian samping
buah, keluar daun yang mirip orang yang sementara berdoa, sehingga tanaman ini
oleh orang Bugis disebutnya tanaman mamminasa
(tanaman yang selalu berdoa untuk kebaikan). Motif hias tersebut diterapkan
pada istana bermakna agar penghuni rumah rezekinya selalu bertambah banyak,
sebagaimana nenas yang buahnya selalu tumbuh mengarah ke atas.
d)
Motif Hias Gambara
Bunga (Motif Hias
Bunga dan Daun)
Motif ini bermakna simbol kehidupan. Arah untaian daun berputar ke
kanan. Di tengahnya terdapat simbol delapan penjuru angin yang menyerupai roda
atau bunga yang sedang mekar. Bagian atas dan bawah bunga yang sedang kuncup.
Keseluruhan motif hias ini kemungkinan besar untuk pengejaran nilai estetis
semata, agar segenap penghuni merasa senang dan betah di rumah.
e)
Motif Belo-Belo
Tellongeng
Motif Belo-Belo Tellongeng yang
terdapat pada istana Raja Wajo berfungsi sebagai jalan keluar masuknya udara ke
dalam rumah agar tidak sumpek dan panas. Bentuknya berupa untaian bunga yang
saling terjalin satu sama lainnya. Jumlah baris hiasannya selalu ganjil (3, 5,
7, 11), dan selalu dihitung mulai dari hidup, mati, hidup. Maksudnya agar
penghuni rumah selalu dalam keadaan sehat. Selain itu, penghuni rumah akan
selalu hidup dinamis dan akan selalu berusaha memenuhi keinginan dan
kebutuhannya dan tak akan merasa cukup atau genap.[27]
Dari segi bentuk dan penggunaan jumlah teralis, menurut Kahar Wahid,
jikalau teralisnya berbentuk kecil dan jumlahnya banyak (7, 9, 11 buah),
menunjukkan pemilik rumah adalah seorang bangsawan tinggi. Motif hias ini
sebagai simbol kemakmuran.[28]
Pada bagian badan istana raja Wajo, seni hias yang diterapkan, salah
satunya terdapat pada bagian jendela istana yang biasa juga disebut belo-belo tellongeng. Motif ini
dikenakan pada ventilasi jendela, bagian atas dan bawah yang menerapkan motif
bunga parenreng dalam bentuk yang
setangkup. Seni hias ini bermakna kesuburan dan keselarasan hidup bag penghuni
istana. Seni hias tersebut, di samping memiliki makna simbolis, juga berfungsi
untuk memperindah bangunan istana.
f)
Motif Hias Belo-belo
Renring
Motif hias ini dipahatkan pada dinding istana raja Bone. Hiasan
didominasi untaian motif bunga Parenreng
pada papan les pinggir bidang segi empat, baik yang tegak lurus maupun yang
datar. Pada bidang segi empat ada sulur-suluran yang merambat pada bagian kiri
dan kanan bidang dari bawah ke atas dan dari atas ke bawah, sulur-suluran
bertemunya di tengah-tengah bidang. Motif ini dimaknai ini dimaknai sebagai
simbol keharmonisan antara laki dan perempuan (suami-istri) dalam satu
keluarga.[29]
Motif hias belo-belo renring,
di samping memiliki makna simbol tertentu yang bersifat filosofis juga
berfungsi sebagai pencapaian nilai estetis yang dapat mempengaruhi penghuni
rumah. Penghuni rumah akan selalu merasa senang dan memiliki gairah dalam
bekerja.[30]
g)
Motif Hias Bunga
Sulapa Eppa
Motif hias Bunga sulapa eppa
terdapat di Kabupaten Bone, berupa sulur-suluran yang mengisi bidang berbentuk
persegi. Pokok dalam motif hias ini adalah bunganya yang berbentuk segi empat.
Konsep suku Bugis, asal manusia berasal dari empat unsur yakni tanah, air, api,
dan angin. Keempat unsur inilah yang merupakan pembentuk manusia sempurna. Bila
dikaitkan dengan empat penjuru mata angin, maka manusia hidup pada satu tempat
dengan empat penjuru: utara, timur, selatan, dan barat.
Seorang raja yang menjadi pemimpin dan memerintah, harus memiliki kecerdasan
(amaccang), kekayaan (asongireng), keberanian (barani), dan keadilan (adele). Seorang raja yang selalu
memiliki sifat-sifat tersebut, maka ia akan dicintai oleh rakyatnya. Keempat
hal di atas, juga senantiasa menjadi pegangan dalam kehidupan orang-orang
Bugis. Banyak sekali pesan-pesan yang yang terdapat dalam Lontarak[31]
yang merupakan pedoman hidup bagi orang Bugis, dan diimplementasikan pada
bentuk seni hias seperti bunga sulapa
eppa, wala suji, tiang rumah, dan
bentuk rumah.[32]
h)
Motif Hias Rapang
Bunga Tabbakka
Rapang Bunga Tabbakka atau motif bunga yang sedang mekar di temukan di
Kabupaten Wajo, merupakan simbol kesejahteraan dan kesenangan. Bentuknya yang
setangkup bermakna kesepadanan, keharmonisan dan kedamaian. Hiasan tersebut,
disamping memiliki makna simbol juga memiliki fungsi memperindah istana.
i)
Motif Hias Belo-belo
Sudu’ (Hiasan Sudut)
Motif hias ini menggambarkan untaian daun-daunan sebagai simbol
kesuburan. Bentuknya setangkup bunga yang juga melambangkan keharmonisan suami
istri atau ayah dan ibu. Motif hias Belo-Belo
Sudu’, di samping memiliki makna sombolis juga berfungsi estetis.
Motif hias sejenis ditemukan pada istana raja Sidenreng di Kabupaten
Sidenreng Rappang dikenakan pada bagian ujung balok yang tergantung. Bentuknya
yang menjalar sebagai simbol kesuburan.
j)
Motif Hias Belo-belo
Massulapa (Hiasan Pesegi)
Hiasan Belo-belo Massulapa
terdapat pada istana raja Bone Kabupaten Bone ini merupakan motif persegi yang
bersumber dari dasar bunga sulapa eppa,
dipadu dengan sulur-suluran berbentuk pilin berganda. Motif tersebut merupakan
pengembangan dari bentuk Sulapa eppa
yang merupakan dasar filosofi bagi orang Bugis.
k)
Motif Hias Bintang
Motif hias ini merupakan kombinasi bentuk bintang enam sebagai dasar dan
bintang lima di atasnya. Bintang di kalangan orang Bugis dianggap sebagai
pedoman waktu, baik bagi petani, nelayan, dan untuk masyarakat umum. Motif hias
bintang, di samping memiliki makna simbolis juga memiliki fungsi untuk
memperindah istana.
c.
Makna Seni Hias Istana Bagian Bawah (kaki rumah)
1)
Motif Hias Ular Naga dipadukan Motif Hias Bunga
Parenreng
Nama motif hias ini belo-belo
addeneng. Motif ini bersumber dari tumbuh-tumbuhan yang dipadukan dengan
motif ular naga. Hiasan yang ditempatkan pada tangga istana Raja Bone menempatkan motif flora yang diberi nama
motif bunga parenreng. Makna
perlambangan hiasan yang ada pada tangga ini adalah rezeki yang datang tidak
akan henti-hentinya. Di samping itu, bunga
parenreng bermakna kehidupan, kekayaan, serta kemakmuran.
Hiasan ini ditempatkan pada bagian bawah rumah, dengan harapan apapun
yang datang dari bawah merupakan berkah yang berasal dari Dewa UwaE. Di samping itu, motif ini mengandung kekuatan magis yang
dapat melindungi penghuni istana dari hal-hal yang tidak baik. Di samping motif
bunga parenreng, motif lain yang
tampil dalam bagian tangga ini adalah ular naga. Menurut pandangan suku Bugis,
naga digunakan sebagai penolak bahaya yang mengancam keselamatan dari arwah yang
meninggal. Di samping itu, motif ini juga sebagai penambah estetika pada rumah
Bugis Sulawesi Selatan.
Menurut Dg. Mabbara, seni hias ini berfungsi sebagai doa bagi penghuni
rumah agar senantiasa sejahtera dan bahagia. Motif ular naga ditempatkan pada bagian
tangga istana dengan harapan dapat menangkal kesialan dan malapetaka bagi para
penghuni. Sedangkan motif bunga parenreng disimbolkan sebagai
rezki bagi penghuni istana yang tak putus-putusnya.[33]
Motif hias ini, di samping memiliki makna simbolis, juga berfungsi untuk
memperindah istana.
2)
Motif Hias Ulu
Addeneng
Motif hias yang terdapat pada bagian kepala tangga. Motif yang bersumber
dari bentuk daun sawi (kolu) dengan dedaunan yang lebar. Motif hias ulu addeneng dalam pandangan suku Bugis
bermakna kesuburan dan kesejahteraan.
Adapun fungsi mengapa ragam hias ini ditempatkan pada bagian kepala
tangga adalah sebagai doa atau harapan bagi siapa saja yang menaiki tangga
tersebut, rezekinya akan bertambah. Di samping itu, hiasan ini juga berfungsi
untuk memperindah.[34]
3)
Motif Hias Belo-Belo
Cappa Pattolo
Motif hias ini ditempatkan pada ujung balok penyanggah tiang istana. Motif hias Belo-belo Cappa Pattolo yang diterdapat
pada istana Raja Wajo dan Sidenreng sebagai simbol kemewahan dan harga diri. Di
samping memiliki makna simbolis, hiasan ini juga memiliki fungsi untuk
memperindah bentuk istana secara keseluruhan.
Motif hias Belo-belo Cappa
Arateng, kalau dikenakan pada balok
arateng (balok penyanggah rumah bagian atas). Biasanya, hiasan ini
ditempatkan pada empat penjuru mata angin sesuai sisi bangunan istana dengan
berdasar pada filosofi sulapa eppa.
4)
Motif Hias Rapang Daung Kolu (Sawi)
Hiasan ini biasa juga disebut Belo-Belo
Sapana, motif hias ini bersumber dari tumbuh-tumbuhan daun kol (sawi) yang
sangat subur, yang bermakna kesejahteraan dan kemakmuran. Hiasan ini berfungsi
sebagai penghias ujung balok. Biasanya dikenakan pada bagian bangunan yang
mudah dilihat orang, seperti pada ujung tangga atau ujung balok (pattolo ataupun arateng).
Jenis hiasan ini sama dengan yang dikenakan pada tangga bagian atas pada
istana Raja Wajo. Bedanya pada penempatan hiasan pada bagian bawah tangga
disebut juga belo-belo sapana, karena
hanya dikenakan pada tangga khusus untuk rumah atau istana raja atau bangsawan
tinggi.
Motif hias ini berfungsi estetis dan untuk memperkuat konstruksi tangga
pada bagian tengah. Menurut Kahar Wahid, tangga yang memiliki tiga induk tangga
hanya dimiliki oleh istana raja atau bangsawan tinggi. Jika tangga tersebut
terbuat dari bambu disebut sapana.
Sebutan sapana digunakan juga untuk
tangga yang memiliki tiga induk tangga yang membedakannya dengan tangga biasa.[35]
5)
Motif Hias Uso
Massusuang
Merupakan motif hias yang bersumber dari bentuk jantung pisang yang
bersusun. Bentuknya persegi empat yang mengandung makna filosofi sulapa eppa. Motif hias seperti ini
biasanya dikenakan pada bagian ujung balok yang tergantung, seperti pada ragam
hias nenas.
Pucuk
pohon pisang tidak akan pernah berhenti tumbuh walau telah ditebang. Dalam
istilah orang Bugis disebut maddaung
maccolli. Makna simbolisnya adalah kemakmuran, rejeki yang datang tidak
henti-hentinya seperti pohon pisang walau telah ditebang, tetap pucuk baru akan
muncul.
Dari
rangkaian motif seni hias yang tervisualisasikan di atas, dapat dijelaskan
bahwa terdapat berbagai macam dan bentuk motif hias yang ditampilkan. Ragam
hias yang ditampilkan sangat bervariasi dan umumnya terdiri atas motif dan
struktur hias yang memang sering diterapkan oleh suku Bugis dan berorientasi
pada bentuk-bentuk tumbuhan sekitar. Selain itu, terdapat juga motif dan
struktur bentuk hias yang merupakan pengaruh dari budaya Dong-son, Chou Tua,
Jawa, Islam serta budaya lainnya. Misalnya, masuknya agama Islam membawa warna
baru dalam berkesenian di tanah Bugis, hal ini juga mempengaruhi seni hias yang
diciptakan. Kesenian yang berkembang pada masa Islam telah memberikan corak dan
karakter tersendiri dan memiliki ciri tersendiri bagi perkembangan kebudayaan
selanjutnya. Pengaruh Islam pada seni hias Bugis tampak kombinasi motif bunga
parenreng dengan tulisan kaligrafi Arab ‘Muhammad’, juga pada
kombinasi antara motif sulapa eppa
dengan bentuk bintang lima. Dari keanekaragaman seni hias tersebut telah
melahirkan seni hias khas Bugis di daerah ini.
PENUTUP
Bila
mencermati motif dan struktur pola tumbuh-tumbuhan yang terdapat pada seni hias
yang ada, maka diyakini bahwa sumber ide dan gagasan motif dan pola hiasnya
terinspirasi dari daerah setempat. Masyarakat Bugis memanfaatkan bentuk-bentuk
tumbuhan yang ada di alam sekitar sebagai sumber ide dalam mewujudkan seni hias
yang diinginkan.
Lingkungan
alam sekitar telah menyediakan begitu banyak sumber inspirasi untuk mewujudkan
gagasan dan ketersediaan bahan yang dapat digunakan oleh masyarakat. Sementara budaya lokal (local genius) memberikan arah pada suku Bugis bagaimana menyikapi
semuanya. Manusia memiliki kecendrungan berekspresi dan berkarya seni dengan
berorientasi pada lingkungan dan alam sekitarnya.
Motif
hias bentuk tumbuh-tumbuhan dalam implementasinya diterapkan pada berbagai
media, disusun sedemikian rupa membentuk bidang bidang yang harmonis, dan
umumnya diwujudkan dalam bentuk simetris. Sementara penggunaan garis dan bidang
tegas, lugas, seperti penerapan pada motif berbentuk sulapa eppa (belah ketupat), swastika, dan bidang terukur lainnya.
Biasanya disusun dalam bentuk ragam
geometrik. Penerapan ragam geometrik tampak pada dinding, list plank, dan jendela.
Beberapa
motif seni hias yang ada, sangat sulit untuk diberikan nama. Tidak semua nara
sumber mengetahui dan memahami motif hias yang ditemukan. Sebagian besar nara
sumber menyebutkan nama motif seni hias berdasarkan letak atau posisi motif
tersebut berada, misalkan motif belo-belo
renring (hiasan dinding) karena motif hiasnya ditempatkan pada dinding saoraja, atau motif belo-belo addeneng karena hiasannya ditempatkan pada bagian tangga
istana.
Beberapa
nara sumber menyebutkan nama motif seni hias yang ada sesuai dengan bentuk
fisik yang terlihat dan telah akrab dengan penggunaan motif tersebut.
Misalnya motif hias ulu tedong (kepala Kerbau), motif manuk (ayam jantan), naga, bunga
parenreng (sulur-suluran), bua
pandang (Buah Nenas), pucuk rebung, sulapa
eppa wala suji (segi empat beah ketupat), dan lain sebagainya.
Beberapa
seni hias yang diterapkan pada istana, tampak jelas mendapat pengaruh dari
luar. Misalnya pengaruh budaya Islam yang terlihat pada motif hias pada istana
raja Bone, berbentuk bintang atau pada anjong
atau mahkota atap istana raja Wajo, terdapat kaligrafi bertuliskan ‘Muhammad’
dikombinasikan dengan sulur-suluran serta bentuk mahkota. Menariknya
dalam perjalanan kebudayaan Bugis, terutama dalam penggunaan seni hias
pada istana raja, beberapa motif hias yang ada masih mendapat pengaruh dari
gaya Dongson, gaya Chou Tua. Namun
setelah kedatangan Islam, gaya dan motif yang sudah ada sebelumnya masih
tetap dipertahankan, namun bentuk distilasi atau digayakan agar tidak
menyerupai figur yang ada di alam, terutama hewan atau binatang.
CATATAN AKHIR
[1]Koentjaraningrat, Kebudayaan,
Mentalitet dan Pembangunan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), 5-6.
2Koentjaraningrat,
7.
3Eko
Budihardjo, Rumah sebagai Warisan Budaya
(Jakarta: Djambatan,1997), 6.
4R. P. Soejono,
“Rumah Tradisional”, dalam Gunawan Tjahjono, Rumah (Jakarta: Buku Antar Bangsa untuk Grolier International Inc,
2002), 10.
5Clifford Geerz, The Interpretation of Culture (New York: Basic Books,1973), 9.
6Geertz, 12.
7Kuntowijoyo,
Metodologi Sejarah, edisi kedua
(Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2003), 43.
8Kuntowijoyo,
43-44.
9Leo Kleden,
“Teks, Cerita, Transformasi Kreatif”, dalam
Kalam: Jurnal Kebudayaan, Edisi 10,
1997), 34-35.
10Kuntowijoyo,
44.
11Matthew B. Miles dan A.
Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif:
Buku Sumber tentang Metode-Metode Baru, terjemahan Tjetjep R. Rohidi
(Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1992), 20.
[1]2Wiwiek P. Yusuf,
Sahriah, dan Endang. Upacara Tradisional
(Upacara Kematian) Daerah Sulawesi Selatan (Ujung Pandang: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1992), 23.
[1]3 Abdul
Samad, wawancara, Kabupaten Sidrap, 2011.
[1]4 Daeng
Mabbara, wawancara, Kabupaten Bone,
2011.
[1]5 Ismail
Raji al-Fariqi, Seni Tauhid-Esensi an
Ekspersi Estetika Islam ( Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1999), 8-9,
14.
[1]6 Abdul
Samad, wawancara. Kabupaten Sidrap, 2011.
[1]7 Daeng
Mabbara, wawancara. Kabupaten Bone, 2011.
[1]8 A.N.J. Th a Th. van der Hoop,
Indonesische
Sier Motieven (Bandung;s’
Gravenhage, N.V. Uitgeverij W. van Hoeve 1949), 206.
[1]9 Abdul Samad,
wawancara, 2011
2[1] Van der Hoop, 100-278.
22 Van der Hoop, 232.
23John
Miksic, “Tahap Berburu dan Meramu di Indonesia Timur” dalam John Miksic. Sejarah Awal (Jakarta: Buku Antar Bangsa untuk Grolier
International. Inc, 2002), 33-34, 56.
24 A. Kahar
Wahid. Wawancara, 2011.
25 Kahar Wahid,
wawancara, 22 April 2011.
26 Dg.
Mabbara. Wawancara, Kabupaten Bone, 2011.
27 Kahar
Wahid. Wawancara, 2011.
28 Dg.
Mambara. Wawancara, 2011
29 Kahar
Wahid. Wawancara, 2011
30 Kahar
Wahid. Wawancara, 2011.
3[1] Dg. Mabbara.
Wawancara, 2011
32 Kahar
Wahid, wawancara, 2011.
33 Kahar
Wahid, Wawancara, 2011.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Fariqi, Ismail Raji
1999 Seni Tauhid-Esensi an Ekspersi Estetika
Islam. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.
Budihardjo, Eko
1997 Rumah sebagai Warisan Budaya. Jakarta:
Djambatan.
Geerz, Clifford
1973 The Interpretation of
Culture. New York: Basic Books.
Hoop, A.N.J.
Th a Th. van der
1949 Indonesische Sier Motieven. Bandung;s’
Gravenhage, N.V. Uitgeverij W. van Hoeve.
Kleden,
Leo
1997 “Teks, Cerita, Transformasi Kreatif”, dalam Kalam: Jurnal Kebudayaan, Edisi 10.
Koentjaraningrat
2004 Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Kuntowijoyo
2003 Metodologi
Sejarah, edisi kedua. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Miksic, John
2002 “Tahap
Berburu dan Meramu di Indonesia Timur” dalam
John Miksic. Sejarah Awal.
Jakarta: Buku Antar Bangsa untuk Grolier International. Inc.
Miles,
Matthew B. dan A. Michael Huberman
1992 Analisis
Data Kualitatif: Buku Sumber tentang Metode-Metode Baru, terjemahan Tjetjep
R. Rohidi. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Soejono, R. P.
2002. “Rumah
Tradisional”, dalam Gunawan Tjahjono, Rumah.
Jakarta: Buku Antar Bangsa untuk Grolier International Inc.
Yusuf, Wiwiek P, Sahriah, dan Endang
1992 Upacara
Tradisional (Upacara Kematian) Daerah Sulawesi Selatan. Ujung Pandang:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Pangeran Paita Yunus
·
Jl. Traktor
IV No. 31 Komplek PU Malengkeri Parangtambung
Makassar, 90222, Hp. 081343851795
·
Jl. Sunaryo
no. 4 Kotabaru Yogyakarta
[4] R. P.
Soejono, “Rumah Tradisional”, dalam Gunawan Tjahjono, Rumah (Jakarta: Buku Antar Bangsa untuk Grolier International Inc,
2002), 10.
[8]
Victor Turner, The Forest of Symbols:
Aspecs of` Ndembu Ritual (London: Cornell Paperback, Cornell University
Press, 1967), 50-51.
[9]Kuntowijoyo,
Metodologi Sejarah, edisi kedua
(Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2003), 43.
[13] Matthew B. Miles dan
A. Michael Huberman, Analisis Data
Kualitatif: Buku Sumber tentang Metode-Metode Baru, terjemahan Tjetjep R.
Rohidi (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1992), 20.
[14] Wiwiek P. Yusuf,
Sahriah, dan Endang. Upacara Tradisional
(Upacara Kematian) Daerah Sulawesi Selatan (Ujung Pandang: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1992), 23.
[17] Ismail
Raji al-Fariqi, Seni Tauhid-Esensi an
Ekspersi Estetika Islam ( Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1999), 8-9,
14.
[20] A..N.J. Th a Th. van der Hoop,
Indonesische
Sier Motieven (Bandung;s’
Gravenhage, N.V. Uitgeverij W. van Hoeve 1949), 206.
[22] Van der Hoop, 100-278.
[23] Van der Hoop, 232.
[24] John
Miksic, “Tahap Berburu dan Meramu di Indonesia Timur” dalam John Miksic. Sejarah Awal (Jakarta: Buku Antar Bangsa untuk Grolier
International. Inc, 2002), 33-34, 56.
[26] Kahar Wahid,
wawancara, 22 April 2011.
[31] Selain berarti tulisan. Juga berarti kitab (pustaka). Kata Lontarak
berasal dari kata lontar, semacam pohon yang banyak tumbuh di Sulawesi Selatan.
Daun lontar dijadikan tempat menuliskan riwayat-riwayat, kisah, catatan,
peristiwa, silsilah, dan petuah-petuah. Aksara lontarak
diciptakan oleh Syahbandar kerajaan Gowa yang bernama Daeng Pamatte,
berasal dari Lakiung, Gowa Sulawesi Selatan kira-kira pada abad ke
16, dan banyak mendapat pengaruh dari pola bunyi dan aksara Sansekerta.
Kemudian oleh orang-orang Bugis ditambahkan dengan huruf (aksara) mpa, nre, ngke, karena dalam
pengucapannya, huruf tersebut tidak terdapat dalam bahasa Makassar.
Salam Bugis,,,,,
BalasHapus