SKETSA,
DIANTARA DUA MAKNA
Pangeran Paita Yunus
Satu
Makna
sebuah Pameran bagi seorang seniman tidak hanya merupakan penyajian terhadap
karya yang telah dihasilkannya dalam satu kurun waktu proses kreatif tertentu
tetapi juga merupakan ‘starting point’ atau awalan untuk proses kreatif selanjutnya.
Apa yang akan diperbuat selanjutnya mungkin merupakan misteri yang tidak
mungkin diketahui oleh siapapun, bahkan bagi senimannya sendiri. Seperti itulah
yang tersaji dalam Pameran Sketsa Tutup Tahun 2004 yang merupakan hasil
kerjasama Jurusan Seni Rupa Universitas Negeri Makassar dengan Dinas Pendidikan
Nasional Kabupaten Maros dari tanggal 28 – 30 Desember 2004 di Camba Kabupaten
Maros.
Dan, apa yang tersaji pada
pameran sketsa kali ini sebaiknya dipahami sebagai sebuah ‘proses’ dari sekian
banyak proses yang mesti dilalui oleh setiap insan manusia, khususnya bagi
seorang seniman dalam pengembaraan mencari jati dirinya.
Akhirnya, aktivitas dan kreativitas
manusia senantiasa terkait dengan perjalanan waktu dan perubahan ruang. Wilayah
kreativitas seni disepanjang zaman tidak mengenal batasan atau tempat
pemberhentian, kecuali manusia yang menekuninya yang harus tertib pada hukum waktu.
Dua
Pameran
ini merupakan salah satu bentuk jawaban kegelisahan mahasiswa perupa yang
berdomisili di Makassar atas mandeknya
kegiatan-kegiatan berkesenian di daerah ini (Sulawesi Selatan) dan juga untuk
menjawab upaya peningkatan apresiasi masyarakat terhadap hasil karya seni yang
dirasakan semakin terjadinya ‘kesenjangan’ yang cukup lebar, terutama yang
dirasakan pada akhir tahun ini.
Hal
ini sekurang-kurangnya tercermin dari ‘niat’ yang baik dari panitia untuk mengadakan
pameran di luar kota Makassar dan berharap pameran ini dapat menjadi ajang
apresiasi seni bagi masyarakat penikmatnya dan juga menjadi langkah awal yang
baik untuk ‘ditradisikannya’ kerjasama seperti ini ke depan.
Gebrakan
yang dilakukan ini menarik, setidaknya ketika suasana iklim berkesenian di
daerah ini yang boleh dikatakan ‘jalan di tempat’ bila dibandingkan tahun-tahun
sebelumnya. Apakah ini merupakan imbas dari terjadinya krisis multidimensi yang
melanda negeri ini, yang juga berimbas pada kesenian kita? Ataukah hanya
sesuatu yang bersifat sementara?, dan akan cerah kembali? Semua itu hanyalah
waktu yang akan menjawabnya.
Tulisan
ini dimaksukan untuk melihat beberapa karya perupa yang tampil dalam upaya
mengiringi wacan apresiasi seni masyarakat sebagai bentuk komunikasi simbolik
seniman dengan penikmatnya.
Tiga
Dulu,
sketsa dibuat hanya sebagai rancangan awal (biasanya Cuma goresan-goresan
sederhana) seorang pelukis sebelum
menciptakan karya lukisnya. Dalam perkembangannya, ternyata karya sketsa
bisa menjadi karya seni tersendiri yang bisa disejajarkan dengan karya lukisan.
Karya sketsa pesawat terbang atau anatomi manusia Leonardo da Vinci dan
beberapa karya Rembrant Van Rijt atau seniman besar lainnya menjadi karya seni
yang bermutu dan bernilai tinggi.
Mengapa
‘sketsa’ yang disajikan? Salah satu jawabannya adalah karena jalan yang mudah
sekaligus paling murah untuk berkarya adalah menyeket. Seorang pelukis misalnya
cukup membawa beberapa lembar kertas, pena dan tinta secukupnya. Kemudian
dengan pengalaman dan kepekaan estetik ia dengan mudah akan menangkap dan
mengabadikan momen-momen penting dengan cepat, spontan dan ekspresif.
Kegiatan
menyeket bagi seorang seniman menjadi sebuah aktivitas yang sangat menyenangkan
dan dekat dengan suasana hati. Menyeket
menjadi sebuah trend dan biasanya kemana pun seorang seniman pergi,
tidak ketinggalan kertas dan penanya dibawa serta. Setiap goresan sang seniman
menjadi sebuah ‘goresan’ yang penuh makna. Setiap goresan terkadang merupakan
studi perkembangan kesenilukisan dan juga dapat merupakan kumpulan dokumentasi perjalanan hidup pribadi
sang seniman. Pertanyaan yang muncul adalah: Apakah semua ‘goresan’ yang
diciptakan dapat digolong sebagai karya sketsa?, goresan macam apakah yang
layak disebut sebagai sketsa?, atau apakah semua aktivitas menggores dapat
dikategorikan sebagai karya sketsa?. Beberapa orang beranggapan bahwa sketsa
hanya dimaksudkan sebagai rancangan gambar bersifat sementara yang kelak pada
suatu ketika mengerjakannya kembali dalam mediaum cat. Sebagian lagi
berpandangan bahwa sketsa adalah medium ekspresi estetik secara total dan
menjadikan sketsa sebagai karya mandiri, sebagai karya seni murni.
Sketsa
dalam tahap ini menjadi totalitas
ekspresi yang menyimpan berbagai makna psikologis. Sketsa dipandang
sebagai ‘bahasa rupa’ yang menyimpan banyak makna dan berkemampuan untuk
mengekspresikan suara bathin seniman dari lubuk hati yang paling dalam. Tidak
jarang terlihat karya sketsa seorang seniman lebih memiliki kualitas garis yang
hebat dari pada lukisannya.
Bagaimana
dengan karya yang ditampilkan pada pameran ini, terletak dimanakah posisi karya
mereka? Apakah karya mereka hanya terhenti pada karya rancangan yang bertujuan
untuk melatih ketajaman pengamatan dan keterampilan tangan dalam menarik garis
serta menangkap obyek? Atau tergolong karya mandiri yang memiliki nilai sama
dengan karya seni rupa lainnya?
Untuk
menjawab pertanyaan tersebut, maka kita mesti melihat kembali ‘semangat
penciptaan’ karya sketsa yang ada. Kualitas totalitas ekspresi yang ditampilkan
oleh beberapa perupa dalam pameran ini, tampak sangat menonjol terutama dalam
pemanfaatan goresan yang cepat, spontan dan ekspresif menjadikannya sebagai
karya seni mandiri. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa dalam pameran ini juga
tampil beberapa karya perupa dengan goresan yang masih ‘penuh keraguan’ dan
tidak spontan.
Dan akhirnya , apa yang
tersaji pada pameran ini sekali lagi sebaiknya dipahami sebagai sebuah ‘proses’ dari
sekian banyak proses yang mesti dilalui oleh seorang seniman dalam pengembaraan
pencarian jati dirinya di rimba belantara perkembangan seni rupa Indonesia.
Salam Apresiasi dan Selamat
Berpameran !!!
Pangeran Paita Yunus
Pengajar pada Jurusan Seni Rupa Universitas Negeri Makassar
Kurator Galeri Seni Rupa ‘Colli PakuE’
Kurator Galeri ‘A. Kahar Wahid’
Tidak ada komentar:
Posting Komentar