Rabu, 23 Mei 2012

Ekspresi Rupa-Rupa dalam Seni Rupa, untuk Pameran Satriadi dkk


Catatan Pinggir Pameran Seni Rupa:
EKSPRESI RUPA-RUPA DALAM SENI RUPA*
Pangeran Paita Yunus

Bagian Pertama
Seniman pada dasarnya adalah “pencatat” setiap gejala dan peristiwa yang terjadi di sekitarnya, dengan cara dan ‘bahasa’ masing-masing untuk selanjutnya dikomunikasikan kepada publik. Dalam konteks ini, presentasi karya merupakan gagasan olah seni sang seniman terhadap berbagai masalah yang dihadapi atau pun yang diamatinya dengan cara dan bahasa yang paling subyektif. Subyektif karena berasa dari sudut pandang sang seniman. Apalagi, pada masa sekarang kini, seniman dengan kemampuannya ‘membaca’ kondisi yang ada di sekitarnya, terbuka peluang dan keleluasaan dalam mengeksplorasi dan menggunakan bahasa ekspresinya.
Sebuah pameran, karenanya dapat dipahami sebagai sebuah presentasi tentang kecendrungan-kecendrungan seorang seniman dalam membaca dan memaknai kembali dalam bentuk sebuah karya seni rupa terhadap peristiwa atau gejala yang menjadi ‘setting’ gagasan, pemikiran dan hasil perenungannya.
Sesungguhnya karya seni rupa adalah dunia rekaan yang sangat subyektif dan otonom kehadirannya. Akan tetapi, ketika karya tersebut hadir di tengah publik, dengan sendirinya karya seni tersebut tidak terbebas dari nilai. Ia akan menjadi obyek, yang akan memancing pandangan, pendapat dan diskusi dari berbagai sudut pandang. Ia dianggap sebagai bentuk aktualisasi, realisasi atau representasi dari sebuah situasi dan sistem tertentu. Dan terkadang dianggap sebagai sebuah kode budaya pada zamannya. Dalam konteks tersebut, terkadang sebuah karya seni memunculkan ketegangan. Ketegangan dalam proses kreatif sang seniman, atau ketegangan ketika karya seni itu hadir di tengah publik.
Ketegangan terkadang timbul ketika paham yang dimiliki pengamat tidak dapat lagi digunakan untuk mendekati dan memahami karya seni rupa yang dihadapi. Dengan demikian, dalam proses ini, seorang pengamat dituntut untuk menemukan perangkat konvensi yang lain untuk membedah karya seni tersebut. Hal tersebut sejalan yang dikemukakan A. Teeuw (1983), bahwa ‘karya seni selalu berada dalam ketegangan antara sistem dan pembaharuan, antara konvensi dan revolusi, antara yang lama dan yang baru’.
Dengan demikian, menurut Suwarno (1995), persoalan utama dalam perkembangan seni rupa pada akhirnya adalah menyangkut bagaimana membangun karakteristik sebuah paham dan persoalan saling berebut makna dan fungsinya di tengah publik.

Bagian Kedua

Kesan pertama yang saya rasakan ketika mengamati karya Satriadi, Ardiamsyah, Edi Satria, Dewa Kadek, Salmiah, Rahmayani, Andi Rahayu dan Nurhaedah adalah adanya kemauan dari delapan perupa muda ini untuk masing-masing mencari ‘jati dirinya’ sebagai perupa. Mereka dalam proses menemukan ‘kekhasan’ masing-masing.
Bila diamati secara mendalam, sesungguhnya karya perupa muda ini dapat memberikan nilai-nilai perenungan dan pencerahan setiap kali berhadapan dengan karyanya. Disamping kita terhibur dengan sajian obyek yang indah, juga mendapatkan suatu nilai yang dapat merangsang pemikiran dan perenungan, sebab karya seni dengan segala teknik dan media yang menjadi pilihan seorang seniman dapat memberikan rasa nyaman dan sejuk karena karya seni senantiasa mereflesikan berbagai aspek kehidupan manusia.
Gelar karya 8 perupa muda yang juga adalah mahasiswa eksponen 2007 pada jurusan Seni Rupa Fakultas Seni dan Desain Universitas Negeri Makassar, akan digelar dari tanggal 13 s.d 15 Pebruari 2012. Pameran ini sebenarnya merupakan persyaratan bagi mahasiswa seni rupa dalam menyelesaikan studinya pada jurusan tersebut. Yang merupakan tahapan terakhir dari sekian banyak tahapan yang telah mereka lalui selama menimba ilmu di Jurusan Seni Rupa dan merupakan langkah awal dalam pembuktian diri mereka sebagai perupa maupun sebagai pendidik seni di tengah masyarakat.
Tulisan ini dimaksudkan untuk melihat dan mencermati beberapa karya perupa yang tampil dalam upaya mengiringi wacana apresiasi seni masyarakat sebagai bentuk komunikasi antara seniman, karya seni dan penikmatanya. Jika kita menilik karya yang dipamerkan, maka kita temukan berbagai ragam gaya dan kecenderungan para perupa ini, mulai dari realis-fotografis sampai pada yang bergaya surrealis. Dari yang memanfaatkan media cat acrilik, pewarna batik sampai pada media kayu dan logam. Karya-karya yang dipamerkan dibagi ke dalam kelompok berdasarkan gaya untuk mempermudah mendekati berbagai kecenderungan yang nampak. Meskipun demikian, karya tersebut dapat juga secara bersamaan didekati berdasarkan konteks penciptaannya. Pembagian berdasarkan pada gaya seni semata-mata dilakukan untuk memudahkan pengamat dalam melihat kecendrungan-kecendrungan para perupa dan selanjutnya dibahas secara mendalam.
Di saat pengunjung memasuki ruangan pameran, maka hal yang segera terasa ‘aneh’ dan di luar kebiasaan akan tampak pada karya yang ditampilkan oleh Satriadi dan karya Ardiamsyah, yang memilih seni ilustrasi sebagai media ungkap perasaannya. Kedua perupa ini cenderung mengekspose dan mendekonstruksi obyek maupun gaya yang ditampilkan. Melepaskan diri dari kenyataan dan lebih menggandalkan memori, emosi, dan imajinasi, namun tetap terarah.
Ditangan Satriadi dan Ardiamsyah, seni ilustrasi mendapat lakon baru. Pemahaman dan penjelasan yang lazim mengenai ilustrasi adalah peran untuk memperjelas teks atau menghias teks cerpen atau cerita misalnya. Sebuah karya ilustrasi berupaya untuk menarik esensi cerita dari sebuah teks cerpen, kemudian diilustrasikan, memperjelas, serta mempercantik teks yang diacunya. Menurut Ipong Purnama Sidhi (2006), dalam pengertian yang konvensional, rupa menghamba kepada teks. Teks adalah raja. Artinya sebuah ilustrasi hanya berperan sebagai pelengkap penderita, sedangkan teks cerpen sebagai subyek utama.
Karya seni ilustrasi kedua perupa ini telah menunjukkan pergeseran dan perkembangan sekaligus perubahan yang berarti. Mereka berkreasi berdasarkan tema yang telah dipilihkan, namun mereka diberi kebebasan berkreasi dan member peluang melepaskan beban ilustrasi dalam pengertian konvensional. Dalam berkarya, mereka bebas menginterpretasikan tema yang ada dengan cara masing-masing, kemungkinan eksperimentatif namun tetap terarah. Karya ilustrasi mereka tidak lagi menjadi inferior di hadapan teks, tetapi menjadi karya seni mandiri. Menjadi sebuah karya ekspresi yang dapat berdiri sendiri sebagai karya seni rupa yang utuh.
Beberapa karya-karya seni yang mereka tampilkan memperlihatkan upayanya untuk melepaskan diri dari tradisi seni ilustrasi konvensional, sehingga terlihat membuat terobosan dan menyajikan gejala menarik, misalnya saja karya Satriadi Menunggu Amarah Tuhan” (acrilik on carton, 2012), yang menampilkan sebuah rel tanpa kereta yang ujungnya berakhir pada sebuah mulut manusia yang terbuka lebar. Sejurus dengan rel kereta, selembar pita merah bergelombang yang tak berujung yang juga masuk ke dalam mulut manusia. Terkesan kedua obyek tersebut tertelan oleh mulut manusia yang tampak marah. Kesan ‘marah’ dari karya ilustrasi ini didukung oleh suasana tanah yang kering kerontang dan langit yang gemuruh dan tampak kelam. Karya ArdiamsyahDream World Monster” (acrilik, 2011), menampilkan sosok binatang imajinatif fantastis, di mana satu tubuh memiliki dua kepala binatang berbeda, satunya berkepala dan berjari buaya dan lainnya berkepala dan berjari burung elang. Di kehidupan nyata, kita tidak akan menemukan binatang seperti ini. Karya seperti ini telah melewati waktu dan proses kreatif yang panjang dalam perenungan-kontemplasi bahkan mungkin kegiatan eksprimen sang perupa, yang pada akhirnya tervisualisakan seperti yang ada sekarang ini.
Perupa lain yang tampil seperti Edi Satria, Dewa Kadek, Salmiah, Rahmayani, Andi Rahayu dan Nurhaedah pada prinsipnya menunjukkan kecenderungan menampilkan rupa realistik yang fotografis dengan garapan yang cukup cermat. Bahkan beberapa obyek disekitarnya dilukiskan dengan sangat memperhatikan terang-gelap, seksama dan detail, walau dengan media ungkap yang berbeda. Lihat saja Karya SalmiahAll Roses” (Batik, 2011), Andi Rahayu Ikan Badut” (Batik, 2011). Nuhaedah “Sun Flower”(Batik, 2011) dan karya logam Edi SatriaBalla Lompoa” (logam, 2011), karya logam Dewa Kadek Rama-Shinta 1(logam, 2011). Sedangkan beberapa karya seni patung abstrak Rahmayani, misalnya Mekar” (Kayu, 2011) dan “Imaji” (Kayu, 2011) digarap dengan cermat dan memiliki makna yang dalam.

Bagian Ketiga

Dari sekitar lima puluhan karya yang ditampilkan pada pameran ini, beberapa karya dari segi teknik, konon merupakan salah satu kelemahan para seniman rupa kita dalam setiap olah seninya adalah dalam sentuhan akhir (finishing touch). Perupanya cukup puas meski di sana sini secara teknik kedodoran. Alasan yang biasanya mengiringi karya seperti ini adalah: yang penting idenya, bentuk tidak mesti bagus atau inikan gaya ekspresif!!!
Beberapa karya yang pamerkan dan saya bahas secara singkat di atas, cukup kiranya menjadi bahan renungan dan kemudian dipertimbangkan untuk menjadi discourse yang terus menerus bergulir. Diharapkan kesenian dan berbagai lingkup dan cakupannya dapat menjadi proses  dialog yang terus menerus dibudayakan, apatah lagi ketika diskusi-diskusi tentang seni dan permasalahannya, yang biasa dilakukan di kampus atau pun di Gedung Kesenian di kota Makassar seolah-olah hilang ditelan masa.
Akhirnya, apa yang tersaji pada pameran kali ini sebaiknya dipahami sebagai sebuah proses dari sekian banyak proses yang akan dan mesti dilewati oleh setiap insan manusia, khususnya bagi para perupa muda dalam pengembaraan mencari jati dirinya. Dan pameran seni rupa pada dasar merupakan ruang untuk menyimak dan memaknai wacana yang berkembang dalam konstalasi perkembangan seni rupa kita. Pameran ini juga diharapkan dapat memberikan konstribusi bagi khazanah pengalaman artistik dan estetik publik seni rupa Makassar, semoga!!!
Salam Apresiasi dan Selamat Berpameran.
“Siapa pun yang berubah, tak akan punah” - Ovid, penyair Roma (43 SM-18 M)

Malengkeri-Makassar, 07 Pebruari 2012

Pangeran Paita Yunus
Pengajar pada Jurusan Seni Rupa
Fakultas Seni dan Desain Universitas Negeri Makassar

*dari berbagai sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar