Catatan Pinggir Pameran Seni Rupa:
EKSPRESI RUPA-RUPA DALAM SENI RUPA*
Pangeran
Paita Yunus
Bagian
Pertama
Seniman
pada dasarnya adalah “pencatat” setiap gejala dan peristiwa yang terjadi di
sekitarnya, dengan cara dan ‘bahasa’ masing-masing untuk selanjutnya
dikomunikasikan kepada publik. Dalam konteks ini, presentasi karya merupakan
gagasan olah seni sang seniman terhadap berbagai masalah yang dihadapi atau pun
yang diamatinya dengan cara dan bahasa yang paling subyektif. Subyektif karena
berasa dari sudut pandang sang seniman. Apalagi, pada masa sekarang kini,
seniman dengan kemampuannya ‘membaca’ kondisi yang ada di sekitarnya, terbuka
peluang dan keleluasaan dalam mengeksplorasi dan menggunakan bahasa
ekspresinya.
Sebuah
pameran, karenanya dapat dipahami sebagai sebuah presentasi tentang
kecendrungan-kecendrungan seorang seniman dalam membaca dan memaknai kembali
dalam bentuk sebuah karya seni rupa terhadap peristiwa atau gejala yang menjadi
‘setting’ gagasan, pemikiran dan hasil perenungannya.
Sesungguhnya
karya seni rupa adalah dunia rekaan yang sangat subyektif dan otonom
kehadirannya. Akan tetapi, ketika karya tersebut hadir di tengah publik, dengan
sendirinya karya seni tersebut tidak terbebas dari nilai. Ia akan menjadi
obyek, yang akan memancing pandangan, pendapat dan diskusi dari berbagai sudut
pandang. Ia dianggap sebagai bentuk aktualisasi, realisasi atau representasi
dari sebuah situasi dan sistem tertentu. Dan terkadang dianggap sebagai sebuah
kode budaya pada zamannya. Dalam konteks tersebut, terkadang sebuah karya seni
memunculkan ketegangan. Ketegangan dalam proses kreatif sang seniman, atau
ketegangan ketika karya seni itu hadir di tengah publik.
Ketegangan
terkadang timbul ketika paham yang dimiliki pengamat tidak dapat lagi digunakan
untuk mendekati dan memahami karya seni rupa yang dihadapi. Dengan demikian,
dalam proses ini, seorang pengamat dituntut untuk menemukan perangkat konvensi
yang lain untuk membedah karya seni tersebut. Hal tersebut sejalan yang
dikemukakan A. Teeuw (1983), bahwa ‘karya seni selalu berada dalam ketegangan
antara sistem dan pembaharuan, antara konvensi dan revolusi, antara yang lama
dan yang baru’.
Dengan
demikian, menurut Suwarno (1995), persoalan utama dalam perkembangan seni rupa
pada akhirnya adalah menyangkut bagaimana membangun karakteristik sebuah paham
dan persoalan saling berebut makna dan fungsinya di tengah publik.
Bagian
Kedua
Kesan pertama
yang saya rasakan ketika mengamati karya Satriadi,
Ardiamsyah, Edi Satria, Dewa Kadek, Salmiah, Rahmayani, Andi Rahayu dan Nurhaedah adalah adanya kemauan dari
delapan perupa muda ini untuk masing-masing mencari ‘jati dirinya’ sebagai
perupa. Mereka dalam proses menemukan ‘kekhasan’ masing-masing.
Bila diamati
secara mendalam, sesungguhnya karya perupa muda ini dapat memberikan nilai-nilai perenungan dan pencerahan setiap kali berhadapan
dengan karyanya. Disamping kita terhibur dengan sajian obyek yang indah, juga mendapatkan
suatu nilai yang dapat merangsang pemikiran dan perenungan, sebab karya seni
dengan segala teknik dan media yang menjadi pilihan seorang seniman dapat
memberikan rasa nyaman dan sejuk karena karya seni senantiasa mereflesikan
berbagai aspek kehidupan manusia.
Gelar karya 8 perupa muda yang juga adalah mahasiswa eksponen 2007
pada jurusan Seni Rupa Fakultas Seni dan Desain Universitas Negeri Makassar, akan digelar dari tanggal 13 s.d 15 Pebruari 2012. Pameran ini sebenarnya merupakan persyaratan bagi mahasiswa
seni rupa dalam menyelesaikan studinya pada jurusan tersebut. Yang merupakan
tahapan terakhir dari sekian banyak tahapan yang telah mereka lalui selama
menimba ilmu di Jurusan Seni Rupa dan merupakan langkah awal dalam pembuktian
diri mereka sebagai perupa maupun sebagai pendidik seni di tengah masyarakat.
Tulisan ini dimaksudkan untuk melihat dan mencermati beberapa karya perupa
yang tampil dalam upaya mengiringi wacana apresiasi seni masyarakat sebagai
bentuk komunikasi antara seniman, karya seni dan penikmatanya. Jika kita
menilik karya yang dipamerkan, maka kita temukan berbagai ragam gaya dan
kecenderungan para perupa ini, mulai dari realis-fotografis sampai pada yang bergaya
surrealis. Dari yang memanfaatkan media cat acrilik, pewarna batik sampai
pada media kayu dan logam. Karya-karya yang dipamerkan dibagi ke dalam
kelompok berdasarkan gaya untuk mempermudah mendekati berbagai kecenderungan
yang nampak. Meskipun demikian, karya tersebut dapat juga secara bersamaan
didekati berdasarkan konteks penciptaannya. Pembagian berdasarkan pada gaya
seni semata-mata dilakukan untuk memudahkan pengamat dalam melihat
kecendrungan-kecendrungan para perupa dan selanjutnya dibahas secara mendalam.
Di saat pengunjung memasuki ruangan pameran, maka hal yang segera terasa ‘aneh’ dan di luar
kebiasaan akan tampak pada karya yang ditampilkan oleh Satriadi dan karya Ardiamsyah,
yang
memilih seni ilustrasi sebagai media ungkap
perasaannya. Kedua perupa ini cenderung mengekspose dan
mendekonstruksi obyek maupun gaya yang ditampilkan. Melepaskan
diri dari kenyataan dan lebih menggandalkan memori, emosi, dan imajinasi, namun
tetap terarah.
Ditangan Satriadi dan Ardiamsyah, seni
ilustrasi mendapat lakon baru. Pemahaman dan penjelasan yang lazim mengenai
ilustrasi adalah peran untuk memperjelas teks atau menghias teks cerpen atau
cerita misalnya. Sebuah karya ilustrasi berupaya untuk menarik esensi cerita dari
sebuah teks cerpen, kemudian diilustrasikan, memperjelas, serta mempercantik
teks yang diacunya. Menurut Ipong Purnama Sidhi (2006), dalam pengertian yang
konvensional, rupa menghamba kepada teks. Teks adalah raja. Artinya sebuah
ilustrasi hanya berperan sebagai pelengkap penderita, sedangkan teks cerpen
sebagai subyek utama.
Karya seni
ilustrasi kedua perupa ini telah menunjukkan pergeseran dan perkembangan
sekaligus perubahan yang berarti. Mereka berkreasi berdasarkan tema yang telah
dipilihkan, namun mereka diberi kebebasan berkreasi dan member peluang
melepaskan beban ilustrasi dalam pengertian konvensional. Dalam berkarya,
mereka bebas menginterpretasikan tema yang ada dengan cara masing-masing,
kemungkinan eksperimentatif namun tetap terarah. Karya ilustrasi mereka tidak
lagi menjadi inferior di hadapan teks, tetapi menjadi karya seni mandiri.
Menjadi sebuah karya ekspresi yang dapat berdiri sendiri sebagai karya seni
rupa yang utuh.
Beberapa karya-karya seni yang mereka tampilkan memperlihatkan upayanya
untuk melepaskan diri dari tradisi seni ilustrasi konvensional, sehingga
terlihat membuat terobosan dan menyajikan gejala menarik, misalnya saja karya Satriadi “Menunggu Amarah Tuhan” (acrilik on carton, 2012), yang menampilkan sebuah rel tanpa kereta yang ujungnya berakhir
pada sebuah mulut manusia yang terbuka lebar. Sejurus dengan rel kereta,
selembar pita merah bergelombang yang tak berujung yang juga masuk ke dalam
mulut manusia. Terkesan kedua obyek tersebut tertelan oleh mulut manusia yang
tampak marah. Kesan ‘marah’ dari karya ilustrasi ini didukung oleh suasana
tanah yang kering kerontang dan langit yang gemuruh dan tampak kelam. Karya Ardiamsyah “Dream
World Monster” (acrilik, 2011), menampilkan sosok binatang imajinatif
fantastis, di mana satu tubuh memiliki dua kepala binatang berbeda, satunya
berkepala dan berjari buaya dan lainnya berkepala dan berjari burung elang. Di
kehidupan nyata, kita tidak akan menemukan binatang seperti ini. Karya seperti
ini telah melewati waktu dan proses kreatif yang panjang dalam perenungan-kontemplasi
bahkan mungkin kegiatan eksprimen sang perupa, yang pada akhirnya
tervisualisakan seperti yang ada sekarang ini.
Perupa lain yang tampil seperti Edi Satria, Dewa Kadek, Salmiah, Rahmayani, Andi Rahayu dan Nurhaedah pada prinsipnya menunjukkan
kecenderungan menampilkan rupa realistik yang fotografis dengan garapan yang
cukup cermat. Bahkan beberapa obyek disekitarnya dilukiskan dengan sangat
memperhatikan terang-gelap, seksama dan detail, walau dengan media ungkap yang
berbeda. Lihat saja Karya Salmiah “ All Roses” (Batik, 2011), Andi
Rahayu “Ikan
Badut” (Batik, 2011). Nuhaedah “Sun
Flower”(Batik, 2011) dan karya logam Edi Satria “Balla
Lompoa” (logam, 2011), karya logam Dewa Kadek “Rama-Shinta
1” (logam, 2011). Sedangkan beberapa karya seni patung abstrak Rahmayani, misalnya “Mekar” (Kayu,
2011) dan “Imaji” (Kayu, 2011) digarap dengan cermat dan memiliki
makna yang dalam.
Bagian
Ketiga
Dari sekitar
lima puluhan karya yang ditampilkan pada pameran ini, beberapa karya dari segi
teknik, konon merupakan salah satu kelemahan para seniman rupa kita dalam
setiap olah seninya adalah dalam sentuhan akhir (finishing touch). Perupanya
cukup puas meski di sana sini secara teknik kedodoran. Alasan yang biasanya
mengiringi karya seperti ini adalah: yang penting idenya, bentuk tidak mesti
bagus atau inikan gaya ekspresif!!!
Beberapa karya yang pamerkan dan saya bahas secara singkat di atas, cukup kiranya
menjadi bahan renungan dan kemudian dipertimbangkan untuk menjadi discourse
yang terus menerus bergulir. Diharapkan kesenian dan berbagai lingkup dan
cakupannya dapat menjadi proses dialog
yang terus menerus dibudayakan, apatah lagi ketika diskusi-diskusi tentang seni
dan permasalahannya, yang biasa dilakukan di kampus atau pun di Gedung Kesenian di kota Makassar seolah-olah hilang ditelan masa.
Akhirnya, apa yang tersaji pada pameran kali ini sebaiknya dipahami sebagai
sebuah ”proses” dari sekian banyak proses yang akan dan mesti dilewati oleh setiap insan
manusia, khususnya bagi para perupa muda dalam pengembaraan mencari jati dirinya. Dan pameran
seni rupa pada dasar merupakan ruang untuk menyimak dan memaknai wacana yang
berkembang dalam konstalasi perkembangan seni rupa kita. Pameran ini juga
diharapkan dapat memberikan konstribusi bagi khazanah pengalaman artistik dan
estetik publik seni rupa Makassar, semoga!!!
Salam Apresiasi dan Selamat Berpameran.
“Siapa pun
yang berubah, tak akan punah” - Ovid, penyair
Roma (43 SM-18 M)
Malengkeri-Makassar, 07 Pebruari 2012
Pangeran
Paita Yunus
Pengajar pada Jurusan Seni Rupa
Fakultas
Seni dan Desain Universitas Negeri Makassar
*dari
berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar