SENI TRADISIONAL SULAWESI SELATAN
DIPERSIMPANGAN JALAN
Oleh: Pangeran Paita Yunus
Kesenian
adalah salah satu unsur yang selalu ada pada setiap bentuk kebudayaan.
Keberadaannya sangat terkait dengan kebutuhan manusia untuk memenuhi
kepuasannya akan unsur estetis. Kesenian Indonesia yang berada di setiap daerah
secara terpisah menyebabkan ia tumbuh dan berkembang sendiri-sendiri sesuai
perkembangan jaman, misalnya ekspresi seni Kalimantan beda dengan Sulawesi,
Jawa dan tempat-tempat lainnya. Ekspresi seni ini sengaja atau tidak,
diwariskan secara turun temurun dan berulang, yang selanjutnya dikenal dengan
nama seni tradisional.
Pemberian predikat itu wajar karena
kehadirannya sudah merupakan warisan dan tetap mendapat tempat dihati
masyarakat penggemarnya. Bahkan, diantaranya terdapat karya-karya yang telah
mencapai puncak perkembangannya, sehingga sulit dikembangkan lebih lanjut oleh
para kreator masa kini. Yang terjadi kemudian hanyalah merupakan perluasan
pemanfaatannya pada berbagai fungsi dan kepentingan, misalnya pada bidang
pariwisata. Beberapa bidang seni dimaksud yakni seni rupa, seni pertunjukan
(musik, tari, teater), dan bentuk kesenian lainnya. Bidang-bidang ini, dalam
berbagai hal telah menunjukkan hasil-hasilnya yang berkualitas tinggi dan memuaskan
banyak pihak. Apabila ditilik dari kehadirannya yang mampu menembus jaman,
dalam rentang waktu yang sangat panjang, dapat dipastikan bukanlah suatu hasil
yang dalam perwujudannya tanpa dilandasi oleh pemikiran mendalam dan
kreatifitas yang tinggi, tetapi justru sebaliknya, sehingga kehadirannya mampu
bertahan dan eksis di tengah-tengah derasnya gelombang perubahan. Suatu
realistas yang membanggakan.
Hal yang perlu di telaah adalah
mengapa semua itu terjadi?, nilai filosofis, simbolis dan konsep-konsep yang
bagaimana yang melandasi penciptaan dan perwujudannya?, masih relevankah
pandangan filosofis kesenian masa lampau itu bagi kehidupan modern?. Itulah
beberapa pertanyaan yang timbul mengiringi pembahasan ini, dan pada akhirnya
akan menjawab pertanyaan “masih adakah seni tradisional itu?, khususnya dalam
konstelasi perkembangan seni tradisional di sulawesi Selatan.
Untuk memahami kerangka permasalahan
di atas, sudah tentu diperlukan suatu studi yang lebih serius, mendorong
perlunya ditelusuri atau pun melacak kenyataan-kenyataan yang terjadi dalam
masyarakat pada jamannya. Mengapa demikian, karena merekalah yang menghasilkan
karya seni seperti itu, sedangkan pola pikir, perilaku sosial, dan
kondisi-kondisi masyarakat sering menjadi sumber inspirasi penciptaan karya
seni. Dengan kata lain, kehadiran karya seni baik seni rupa maupun seni
pertunjukan sering mencerminkan kenyataan-kenyataan yang pernah terjadi dalam
masyarakat pada jamannya. Olehnya itu, pendekatan kesejarahan, semiotik, sosial
budaya dalam rangka memahami aspek-aspek estetik, filosofis, dan simbolik serta
nilai-nilai fungsional dari kehadiran suatu karya seni pertunjukan atau seni
rupa, dipandang cukup relevan. Bahkan tampaknya tanpa pendekatan
multi-disipliner seperti itu sulit untuk memperoleh gambaran yang menyeluruh
mengenai keberadaannya.
TRADISI ARTISTIK SENI TRADISIONAL SULAWESI SELATAN
Seiring dengan mengalirnya
perjalanan sejarah, maka dijumpai bahwa seni tradisional bermula pada jaman
prasejarah di Indonesia. Pada tingkat awal, pada saat kemandirian manusia belum
berkembang, masih ada ikatan ketergantungan yang kuat antara sesamanya maupun
dengan alam lingkungannya. Dalam kesatuan masyarakat semacam ini upaya manusia
memenuhi kebutuhan hidup berkembang
menjadi kebutuhan sebagai mahluk budaya.
Tuntutan utama dalam memenuhi
kebutuhan manusia sebagai mahluk budaya ialah komunikasi. Salah satu media
komunikasi dalam masyarakat adalah bahasa serta bentuk komunikasi lainnya untuk
menyatakan maksud dan keinginannya. Bahasa sebagai media komunikasi tidak saja
dalam bentuk kata dan kalimat yang diucapkan, tetapi juga dalam bentuk simbol
dan bentuk bahasa isyarat , bisa melalui wujud rupa, melalui suara, atau
melalui gerak. Dalam proses penciptaannya, simbol ditunjang oleh perasaan
keindahan sehingga simbol itu memperoleh makna sebagai karya seni.
Diduga bahwa karya-karya seni
tersebut berhubungan erat dengan kepercayaan masyarakat, terutama kaitannya
dengan pemujaan kepada arwah nenek moyang atau pun kekuatan gaib lainnya.
Mereka percaya bahwa dengan perbuatan magis akan terhindar dari mara bahaya,
penyakit dan akan mendapat
kesejahteraan, misalnya masyarakat pemburu (primitif) pada masa lampau percaya
pada tenaga-tenaga yang mengandung kekuatan gaib yang disebut ‘mana’. Dengan
kekuatan gaib ini mereka ingin menguasai binatang yang diburunya. Untuk tujuan
ini, mereka membuat lukisan pada dinding gua atau pada dinding tebing dengan
tema pokok lukisan perburuan. Binatang yang ingin diburu dilukis dalam keadaan
terkena panah atau tombak. Sambil mengadakan upacara dengan gerakan-gerakan
yang ritmis mengitari api unggun, mereka berteriak dan bernyanyi melontarkan
mantra-mantra sambil menusukkan panah atau tombaknya pada lukisan yang ada
dinding. Harapannya adalah perburuan itu dapat mendatangkan kekuatan gaib untuk
mencapai sasaran pada binatang buruan tersebut. Demikianlah, bahwa tarian dan
nyanyian yang menirukan gerakan dan suara telah ada pada jaman prasejarah.
Contoh lain, pada upacara-upacara persembahan ke atas (appanai) dan
persembahan ke bawah (appanaung) yang tergambar pada gerakan-gerakan
tangan yang dilakukan dalam tari Pakarena. Kesemua gerakan mempunyai
makna simbolis dan filosofis yang berdasarkan pada alam pikiran masyarakat pada
masa itu.
Masuknya Hindu di nusantara,
nampaknya tidak terlalu mempengaruhi kesenian-kesenian yang ada di daerah di
luar Jawa dan Bali. Misalnya sewaktu daerah lain di nusantara, dalam hal ini
Jawa dan Bali dipengaruhi oleh kesenian india, maka di daerah lain seperti
Nias, Sumatera, Nusa Tenggara, Irian Jaya, Maluku, Kalimantan, dan Sulawesi
kesenian prasejarah dan primitifnya berkembang terus. Sebagai contoh seni hias
Toraja yang geometris dan patung suku asmat masih terus berkembang dan banyak
mengilhami seniman-seniman kontemporer dalam berkarya seni.
Peran Islam dalam perkembangan seni
pertunjukan Indonesia, khususnya di Sulawesi Selatan memang tidak menonjol
mengingat jenis-jenis kesenian seperti tarian dan lagu masih merupakan tradisi
seni masa sebelumnya. Yang pasti Islam memanfaatkan kesenian lama untuk
kepentingan baru, yaitu agama Islam. Segala kegiatan ritual yang melibatkan
unsur-unsur tari dan lagu disesuaikan dengan agama Islam.
Seni pertunjukan Sulawesi Selatan
pada jaman Islam belum banyak terungkap. Masih dibutuhkan penelitian yang
seksama dengan menggunaan berbagai sumber. Tarian, drama, dan lagu-lagu yang
dipentaskan di daerah-daerah yang semula merupakan daerah kekuasaan Islam,
masih perlu diteliti seberapa jauh peranan yang dibawakan oleh Islam. Dengan
demikian, usaha-usaha selanjutnya dalam melestarikan dan mengembangkan seni
pertunjukan tradisional tersebut dapat berpijak pada landasan budaya yang kuat.
Bagaimanapun juga kehadiran alat musik rebana dan alat petik gambus pada seni
pertunjukan ‘Samra/Jeppeng’ di Kabupaten Sidenreng Rappang misalnya,
cukup mewarnai perkembangan musik bernapaskan Islam di Sulawesi Selatan.
Dewasa ini, kesenian tradisional
yang kini ingin dilestarikan perlu dikembangkan agar timbul karya-karya baru
yang berlandaskan tradisi lama. Usaha pengembangan ini sudah mulai tampak
hasilnya dalam beberapa jenis kesenian, misalnya para koreografer mulai
mendapat rangsangan untuk melahirkan garapan-garapan baru. Namun ada pula seni
tradisi yang tidak mampu memberikan kemungkinan untuk berkembang karena tidak
adanya faktor-faktor pendukung, seperti pada jaman kejayaan kerajaan masa
lampau. Di samping itu, langkah yang ditempuh oleh lembaga-lembaga kesenian
dalam upaya mengaktualkan kembali seni tradisi, semisal Yayasan Kesenian
Sulawesi Selatan dengan mengundang pekerja-pekerja seni dari empat rumpun
budaya yang mendiami Sulawesi Selatan Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja dalam
bentuk Festival Seni Sempugi I, II, dan III dan Festival Seni Tradisional
Sulawesi Selatan tahun 2002, 2003 dan 2004 lalu, patut dibanggakan ketika tingkat
apresiasi seni masyarakat kita mulai mengendor.
Dari sudut apresiasi seni tradisi,
memang tidak gampang, di samping karena generasi muda jarang meliriknya, juga
karena penciptaan karya seni dengan memanfaatkan berbagai tawaran teknologi
canggih, misalnya lewat media layar kaca lebih menyentuh mereka. Proses
penciptaan karya seni lewat paket elektronik tampak lebih mudah disajikan,
terutama pada generasi muda yang menggandrungi karya seni yang dipaket lewat
tayangan televisi ini. Bentuk seni yang dipaket lewat tayangan televisi memang
lebih mudah dinikmati, demikian pula keseriusan dalam penikmatan, apalagi kalau
dikemas dengan baik. Yang terakhir terkait dengan gejala generasi muda sekarang
yang serba instan/praktis dan umumnya mereka tidak senang dengan hal-hal yang
serius. Olehnya itu, perlu dipikirkan langkah-langkah yang mesti ditempuh dalam
membingkai seni tradisi yang masih bertahan sampai saat ini dalam ‘bentuk baru’
sebagai salah satu alternatif untuk menghidupkannya kembali (merevitalisasi).
SENI TRADISIONAL SULAWESI SELATAN
DIPERSIMPANGAN JALAN
Seniman seni pertunjukan tradisional
yang kreatif sekarang, jumlahnya tinggal sedikit dan usianya rata-rata sudah
tua. Kemampuan kreatif kesenimannya belum terserap sepenuhnya oleh para
muridnya. Kalaupun ada seniman muda yang mulai tumbuh kekreatifannya. Sering
tak berdaya saat menghadapi desakan selera massa.
Yang
lucunya lagi, golongan seniman non-seni pertunjukan sering menghujad seniman
pertunjukan tradisional terlalu ‘manja’, sebab ada kesan pemerintah terlalu
mesra dalam mengurus seni pertunjukan tradisional, mereka merasakan adanya
“ketidak-adilan”.
Amatan
dari dalam, kerumitan dalam kehidupan seni pertunjukan tradisional itu sendiri
biasanya berhulu dari etikad baik semua pihak yang merasa ikut memilikinya. Dan
bermuara pada keinginan semua pihak untuk ikut mencampuri/menangani, akibatnya
menjadi amat sembrawut. Salah urus. Belum lagi, system yang diterapkan pejabat
pemerintah yang bermaksud membantu dalam pengucuran dana yang masih penuh
dengan ‘birokrasi’ yang menjemukan dan terkesan ‘akal-akalan’, membuat kegiatan
tersebut terulur-ulur hingga semua pementasan/festival/`pameran harus dilakukan
pada satu bulan ‘keramat’ yakni Desember setiap tahunnya yang
kebetulan pas datangnya musim hujan. Walhasil, dengan waktu persiapan yang
begitu ‘pendek’ disertai cuaca yang tidak “bersahabat”, maka hasil dari semua
festival, kita semua telah maklumi adanya.
Pertanyaan
lain yang cukup menggoda, dan pertanyaan itu selalu muncul di saat adanya
kegiatan sejenis, adalah: Apakah seni pertunjukan tradisional tersebut hanya
sekedar ingin dilestarikan atau mau dikembangkan?
Kalau
sekedar ingin dilestarikan, maka kita dapat menyikapinya dengan cara
mempertahankan bentuk/pola yang sudah ada, memberinya dana untuk tetap eksis,
dan melakukan langkah preventif lainnya yang dapat membuat seni tradisi itu
lestari. Tetapi, jika seni tradisi itu ingin dikembangkan, maka diiperlukan sebuah forum
untuk duduk bersama-sama menawarkan format-format
dalam upaya pengembangan seni tradisi ke depan.
Amatan Dari Festival ke Festival
Kondisi
seni pertunjukan tradisional sekarang, menurut pengamatan kami selama mengikuti
setiap event-event kesenian di daerah Sulawesi Selatan, dapat dibagi menjadi
tiga golongan, yakni :
1. Seni
pertunjukan tradisional yang lesu darah atau loyo tetapi pantas untuk hidup dan
dihidupi (seni tradisional kerakyatan dan seni istana)
2.
Seni pertunjukan tradisional yang garang tapi semu (seni komersial, selera
pasar yang menjadi segala-galanya alias ‘Raja’. Seniman yang terlibat terlena
tanpa sadar, sehingga nilai seninya sering terabaikan demi uang.
3.
Seni pertunjukan tradisional yang penuh vitalitas – bersemangat tetapi kesepian. (jenis kesenian ini sering
dikelompokkan sebagai karya eksperimental yang bernapas kekinian dan
berorientasi masa depan. Orientasinya pada kematangan garapan. Bentuknya pun
dapat mengacu pada idiom seni tradisi, dapat pula dari seni rakyat atau istana,
atau juga campuran dari keduanya.
Kelompok kesenian
kedua, yang garang tapi semu, rasanya orientasi jelas dan hampir tak ada
masalah. Kelompok pertama dan ketiga yang
mesti diberi perhatian yang sungguh-sungguh dan terarah. Masalahnya, siapa yang
mesti memperhatikan ?, jawabannya adalah “Kita”, pejabat pemerintah, seniman,
pengamat, budayawan , kritikus, dan yang terakhir orang kaya.
Namun, demikian luas dan rumitnya kata
“Kita”, maka pembagian tugas dan wewenang perlu segera dirumuskan bersama,
secara proporsional dan profesional.
Untuk melestarikan kesenian tradisional
tersebut, menjadi penting para penggelut dan pekerja seni dalam bidang seni
tradisional diposisikan sebagai orang profesional dalam bidangnya, karena
mereka yang terus menggeluti dan melakukan proses kreatif. Jadi, memposisikan
seniman tradisional pada tempat yang menjadikan mereka sebagai tenaga trampil
atau ahli dibidangnya adalah bagian penting dalam melestarikan kesenian
tradisional, bahkan dapat memberikan improvesasi yang kreatif dan membuka
peluang adanya inovasi pada bidang yang digelutinya.
Kehidupan kritik seni perlu ditumbuhkan,
sehingga semua penyajian kesenian tradisional dapat ter-‘cover’ dan
menggairahkan. Di lain pihak, kritikus juga jangan bertindak layaknya seorang
hakim kesenian.
Pertemuan-pertemuan antar budayawan,
seniman, pengamat dirasa masih kurang frekuensinya, maka perlu dilipatgandakan.
Tujuannya supaya ada tukar menukar informasi pengalaman yang saling
menguntungkan.
Orang-orang pemerintah tidak perlu
mencampuri wilayah kreativitas seni, serahkan sepenuhnya kepada seniman.
Pemerintah cukup menyediakan fasilitas dan kemudahan-kemudahan. Pemberian ini
pun jangan dibarengi dengan interes-interes non-kesenian.
Media cetak perlu lebih banyak memberikan
porsi yang cukup bagi penulisan yang relevan pada pelaksanaan event-event kesenian
tradisional.
Pangeran
Paita Yunus
lahir di Pangkajene Kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan, pada tanggal 13 Nopember
1970. Sarjana Pendidikan Seni Rupa IKIP Ujung Pandang (1994), Magister Seni
Murni ITB (1999). Saat ini (2011) sedang menempuh Pendidikan Doktoral Program
Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa di UGM Yogyakarta. Menjadi
tenaga pengajar pada program studi Pendidikan Seni Rupa Fakultas Seni dan
Desain Universitas Negeri Makassar sejak 2000. Sekretaris Pusat Kuliah Kerja
Nyata UNM (2003-2009). Pengurus BKKI Kota Makassar (2003-2007), Pengurus Pusat
Sekolah Efektif UNM (2006-sekarang). Pengurus Ikatan Alumni ITB (2009-2013). Menulis
artikel pada beberapa Koran lokal (Fajar dan Pedoman Rakyat), dan majalah
(Gamma). Menulis pengantar Kuratorial pada beberapa Pameran Seni Rupa. Bersama
rekan menulis buku: Seni Tradisional Sulawesi Selatan (Lamacca Press, 2004). Pendidikan Seni Bagi Siswa SMP sesuai KBK
(Lamacca Press, 2006). Kritik Seni,
sebuah pengantar (UNM Press, 2009). Dan akan segera terbit buku: Apresiasi Seni - Untuk
Pendidik Seni Rupa Dan Pecinta Seni
(2012). email: collipakue@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar