HOREEE JURUSAN SENI RUPA PAMERAN LAGI !!!!
Oleh: Pangeran Paita Yunus
Bagian Pertama
Paling tidak dari sejak awal abad 19, kota
Paris selalu
menjadi pusat panggung peristiwa sejarah seni rupa modern di Barat. Seniman
penganut Neoklasik, Romantisme, begitu pun kaum
Impresionis dan Realis serta
kelompok-kelompok lain sesudahnya berada di Paris. Pada saat Ekspresionoisme
berkumandang di Eropa, maka kota
Munchen di Jerman untuk beberapa lama menjadi pusat perhatian dunia seni rupa.
Begitu pula ketika Abstrak Ekspresionisme menjadi dominan di Barat, maka mata
dunia pun beralih tertuju kepada Amerika
Serikat, khususnya kota New York. Dan sebagaimana kita ketahui
bersama, ketika itu, New York – Paris atau pun London saling berebut tempat di
depan untuk merebut sebagai pelopor dunia seni rupa modern, dan dalam banyak
hal dan kesempatan ternyata New York sering menjadi pemenang.
Pasca Impresionisme, sebagaimana kita ketahui telah
memberikan dua dasar yang kuat bagi perkembangan seni rupa selanjutnya, yaitu
dasar kebentukan yang dipelopori oleh Paul Cezanne dan George Seurat, dan dasar
kekuatan eskpresi yang dipelopori oleh Paul Gauguin dan Vincent Van Gogh. Dua
dasar itulah yang nantinya ternyata merupakan landasan yang kuat bagi tumbuhnya
aliran-aliran seni rupa pada abad 20/21
yang makin lama jumlah makin banyak. Boleh dikatakan bahwa aliran-aliran yang
ada pada dasawarsa tahun tujuhpuluhan kesemuanya dapat dikembalikan pada dua
kutub tersebut, yaitu kutub yang mengejar kekuatan bentuk dan struktur dan
kutub yang sangat dominant pada kekuatan dan kepekaan ekspresi, atau gabungan
antara keduanya. Konstruktivisme, Kubisme, Abstrak Formalisme, minimal art,
earth art, neoplastisisme adalah aliran-aliran yang sangay kental dengan
kebentukan, sedangkan Surrealisme, abstrak ekspresionisme, fauvisme adalah
aliran-aliran yang datangnya dari kubu Ekspresionisme.
Mengamati
alur sejarah perkembangan seni rupa modern di Barat yang begitu jelas dan
terpetakan dengan baik, maka pertanyaan menarik yang muncul adalah bagaimana dengan
sejarah perkembangan seni rupa di Indonesia? Apa sama dengan di Barat
atau masih mencari alur sejarahnya?. Itulah beberapa pertanyaan yang manarik
untuk dibahas dalam rangka memetakan sejarah seni rupa Indonesia modern.
Dari
beberapa buku sejarah diketahui bahwa seni rupa modern Indonesia lahir dari gejolak
penjajahan Belanda. Gerakan seni rupa Indonesia
pada masa itu dipercayai sebagai gerakan seni untuk mendukung kemerdekaan Indonesia.
Sebelum seni masa colonial terbentuk, seni rupa Barat mulanya dibawa oleh para
pedagang rempah-rempah di akhir abad ke-16 untuk keperluan dagang. Pedagang
Portugis dan Belanda membawa beragam tanda mata termasuk lukisan, kebanyakan
potret dan pemandangan alam (Holt, 1967: 191). Selain itu, pedagang VOC juga
membawa juru gambar amatir untuk mendokumentasikan perjalanan mereka dan
memetakan kondisi geografis daerah yang di datangi.
Saat
seniman Eropa mendominasi kehidupan seni di Hindia Belanda, seorang seniman
pribumi – Raden Saleh Sjarief Bustaman (1807-1880) pergi ke Belanda di tahun
1829 atas beasiswa yang diperolehnya dari pemerintah Belanda. Ia tinggal di
Eropa kurang lebih 20 tahun dan kembali ke Indonesia tahun 1851. Raden Saleh inilah yang dianggap ‘pendiri
seni rupa modern Indonesia’.
Sebutan ini diperoleh melalui karyanya yang berjudul ‘Antara Hidup dan Mati’,
yang dianggap menggambarkan semangat nasionalisme. Lukisan tersebut
memperlihatkan pertarungan antara singa dan bison, yang dipercayai mewakili
semangat nasionalisme karena tekanan Belanda. Dan Raden Saleh pulalah yang
dianggap sebagai pelopor seni rupa yang beraliran Romantis-realis di Indonesia.
Bagian Kedua
Seni Rupa Universitas Negeri Makassar dari tanggal
23 sampai 25 Januari 2006 menggelar karya seni lukis, seni patung, grafis,
batik, ilustrasi sketsa, dan lain-lain. Pameran ini dianggap sebagai pameran
yang berupaya menampilkan semua potensi yang ada di jurusan seni rupa disamping
juga mengundang beberapa seniman yang ada Sulawesi Selatan, khususnya Makassar,
juga beberapa seniman yang berasal dari Bandung dan kota lainnya di Indonesia. Bahkan
pada pameran ini juga tampil lukisan perupa belia dari Sekolah Dasar.
Tulisan ini dimaksudkan untuk melihat dan
mencermati beberapa karya perupa yang tampil dalam upaya mengiringi wacana
apresiasi seni masyarakat sebagai bentuk komunikasi antara seniman, karya seni
dan penikmatanya. Jika kita menilik karya yang dipamerkan, maka dari keenam
perupa ini kecenderungan mereka rata-rata ke arah realis-fotografis yang
diistilahkan kutub yang masih mengejar kekuatan bentuk dan struktur serta kemampuan untuk mengkoordinasikan antara mata
dengan tangan. Dengan demikian, untuk mengkritik karya yang beraliran
realis-fotografis seperti ini, sedikit lebih
mudah dibanding mencermati aliran seni rupa yang mengejar kekuatan ekspresi, misalnya aliran
abstrak dan surrealis. Caranya, ketika obyek yang ditiru tidak sesuai/tidak
tepat dengan obyek yang digambarkan, maka karya senimannya dianggap tidak
berhasil, sebaliknya, kalau obyek dan lukisannya pas sesuai apa adanya, maka lukisan
itu dianggap ‘hebat’.
Perupa yang tampil seperti Beny Subiantoro ‘Larajja’ (Ilustrasi, 1997), Muhammad Rapi ‘Air
Terjun’ (2005), Muh. Taslim ‘Allink’(2006) dan beberapa seniman lainnya, pada prinsipnya menunjukkan
kecenderungan menampilkan rupa realistik yang fotografis dengan garapan yang
cukup cermat. Lihat saja karya Muh.
Taslim ‘Allink’, Agustan ‘Yang
Tersisihkan’ (2005), serta karya Hardiman
(2005) digarap dengan gaya realism,
bahkan beberapa perupa berusaha untuk menangkap setiap figur atau pun obyek
disekitarnya dan dilukiskan di atas kanvas dengan sangat seksama dan detail
penuh kehati-hatian. Dari pameran ini, dapat dikatakan bahwa beberapa perupa
yang tampil telah mampu menangkap ‘jiwa’ aliran realis-fotografis yang
sesungguhnya dan beberapa perupa lainnya nampak masih sangat terburu-buru dalam
menggarap obyek lukisannya, sehingga terkesan ‘tidak selesai’.
Kahar Wahid ‘Perjuangan’ (2006) dan A. Mattaropura Husain ‘Wajah-Wajah’
(1972) dengan gaya ‘realis-ekspresif’ tampil spontan dengan goresan yang
sangat dikuasainya. Kahar Wahid tampil dengan tema lukisan panorama alam dengan
goresan dan warna yang ‘khas’. A.
Mattaropura Husain tampil dalam karya obyek empat wajah manusia dengan
karakter berbeda. Teknik dan goresan yang spontan dan berkarakter tampak pada
kedua karya tersebut.
Di sudut lain, ketika kita memasuki ruangan
pameran, maka hal yang segera terasa ‘aneh’ dan di luar kebiasaan akan tampak
pada karya yang ditampilkan oleh Mike
Turusy ‘Pa’suling’ (2005) dan
‘Monalisa’ dan karya Thamrin Mapplahere
‘Mitos’ (2006) dimana kecenderungan
mereka untuk mengekspose dan mendekonstruksi cara melukis maupun gaya yang
ditampilkan. Melepaskan diri dari kenyataan dan lebih menggandalkan memori,
emosi, dan imajinasi, namun tetap terarah.
Karya-karya seni yang mereka tampilkan
memperlihatkan upayanya untuk melepaskan diri dari tradisi seni rupa, sehingga
terlihat membuat terobosan dan menyajikan gejala menarik, misalnya saja karya Mike Turusy menampilkan sebuah obyek
figur manusia dengan garapan yang berkarakter kayu, mungkin karakter seperti
ini terasa ‘baru’ dalam wacana seni rupa Makassar bahkan Nusantara.
Thamrin Mappalahere ‘Mitos’ (2006) tampil
dengan idiom-idiom primitive dalam karyanya dengan pewarnaan yang matang. Ia
sajikan susunan warna-warna khas serta mendekati pola-pola dekoratif yang bebas
dan longgar, seperti pada karyanya ‘Mitos’ (2006). Tema Mitos kedaerahan misalnya
‘sima’ yang akrab dengan masyarakat Bugis/Makassar diangkat perupa Thamrin
Mappalahere dengan pewarnaan yang khas. Thamrin berusaha menyerap semangat dan
esensi dari benda-benda menjadi energi tekstur dan warna-warna.
Bagian Ketiga
Mereka
sebenarnya menawarkan gejala perupaan sebagai sebuah wacana kajian dan diskusi.
Sebuah diskusi yang kontekstual, diharapkan dapat menghasilkan ‘discourse’
artinya pemahaman tersebut jangan terlalu diharapkan untuk dapat membuat sebuah
parameter ataupun defenisi. Dengan demikian, mesti dipahami bahwa kegiatan
tersebut merupakan tawaran yang menjadi penting dalam kaitan bagaimana kita
mesti memposisikan diri di dalam forum-forum kesenian nasional, karena inilah
saatnya memanfaatkan situasi dalam upaya menangkap peluang yang ada.
Dalam
konteks ke dalam bagi seni rupa Sulawesi Selatan adalah peluang untuk bangkit
dan menumbuhkan kesadaran bahwa sangat diperlukan diskusi-diskusi yang intensif
untuk mendapatkan serta merumuskan wacana yang dapat digunakan untuk memetakan
seni rupa Sulawesi Selatan (Makassar) secara
lebih utuh. Artinya membaca gejala-gejala dan menangkap peluang-peluangnya,
merupakan usaha-usaha yang perlu dilakukan, tanpa harus berprasangka bahwa ini
sebuah rekayasa. Usaha untuk menyelenggarakan pameran seni rupa yang bertemakan
‘ Belajar Meninggi’ setelah sekian tahun Jurusan Seni Rupa menapak terbang
rendah sangat pantas untuk dicatat dalam wacana perkembangan seni rupa Makassar.
Akhirnya, apa yang tersaji pada pameran kali ini
sebaiknya dipahami sebagai sebuah ‘proses’ dari sekian banyak proses yang akan
dan mesti dilewati oleh setiap insan manusia, khususnya bagi seorang seniman
dalam pengembaraan mencari jati dirinya.
Selamat Berpameran!!!
Makassar, 21 Januari 2006
Pangeran Paita Yunus
Pengajar pada Jurusan Seni Rupa FBS Universitas
Negeri Makassar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar