Rabu, 23 Mei 2012

potret diri


Sketsa, di antara Dua Makna


SKETSA, DIANTARA DUA MAKNA
Pangeran Paita Yunus


Satu

Makna sebuah Pameran bagi seorang seniman tidak hanya merupakan penyajian terhadap karya yang telah dihasilkannya dalam satu kurun waktu proses kreatif tertentu tetapi juga merupakan ‘starting point’ atau awalan untuk proses kreatif selanjutnya. Apa yang akan diperbuat selanjutnya mungkin merupakan misteri yang tidak mungkin diketahui oleh siapapun, bahkan bagi senimannya sendiri. Seperti itulah yang tersaji dalam Pameran Sketsa Tutup Tahun 2004 yang merupakan hasil kerjasama Jurusan Seni Rupa Universitas Negeri Makassar dengan Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten Maros dari tanggal 28 – 30 Desember 2004 di Camba Kabupaten Maros.

Dan, apa yang tersaji pada pameran sketsa kali ini sebaiknya dipahami sebagai sebuah ‘proses’ dari sekian banyak proses yang mesti dilalui oleh setiap insan manusia, khususnya bagi seorang seniman dalam pengembaraan mencari jati dirinya.
Akhirnya, aktivitas dan kreativitas manusia senantiasa terkait dengan perjalanan waktu dan perubahan ruang. Wilayah kreativitas seni disepanjang zaman tidak mengenal batasan atau tempat pemberhentian, kecuali manusia yang menekuninya yang harus tertib pada  hukum waktu.

Dua

Pameran ini merupakan salah satu bentuk jawaban kegelisahan mahasiswa perupa yang berdomisili di  Makassar atas mandeknya kegiatan-kegiatan berkesenian di daerah ini (Sulawesi Selatan) dan juga untuk menjawab upaya peningkatan apresiasi masyarakat terhadap hasil karya seni yang dirasakan semakin terjadinya ‘kesenjangan’ yang cukup lebar, terutama yang dirasakan pada akhir tahun ini.
Hal ini sekurang-kurangnya tercermin dari ‘niat’ yang baik dari panitia untuk mengadakan pameran di luar kota Makassar dan berharap pameran ini dapat menjadi ajang apresiasi seni bagi masyarakat penikmatnya dan juga menjadi langkah awal yang baik untuk ‘ditradisikannya’ kerjasama seperti ini ke depan.

Gebrakan yang dilakukan ini menarik, setidaknya ketika suasana iklim berkesenian di daerah ini yang boleh dikatakan ‘jalan di tempat’ bila dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Apakah ini merupakan imbas dari terjadinya krisis multidimensi yang melanda negeri ini, yang juga berimbas pada kesenian kita? Ataukah hanya sesuatu yang bersifat sementara?, dan akan cerah kembali? Semua itu hanyalah waktu yang akan menjawabnya.
Tulisan ini dimaksukan untuk melihat beberapa karya perupa yang tampil dalam upaya mengiringi wacan apresiasi seni masyarakat sebagai bentuk komunikasi simbolik seniman dengan penikmatnya.


Tiga

Dulu, sketsa dibuat hanya sebagai rancangan awal (biasanya Cuma goresan-goresan sederhana) seorang pelukis sebelum  menciptakan karya lukisnya. Dalam perkembangannya, ternyata karya sketsa bisa menjadi karya seni tersendiri yang bisa disejajarkan dengan karya lukisan. Karya sketsa pesawat terbang atau anatomi manusia Leonardo da Vinci dan beberapa karya Rembrant Van Rijt atau seniman besar lainnya menjadi karya seni yang bermutu dan bernilai tinggi.

Mengapa ‘sketsa’ yang disajikan? Salah satu jawabannya adalah karena jalan yang mudah sekaligus paling murah untuk berkarya adalah menyeket. Seorang pelukis misalnya cukup membawa beberapa lembar kertas, pena dan tinta secukupnya. Kemudian dengan pengalaman dan kepekaan estetik ia dengan mudah akan menangkap dan mengabadikan momen-momen penting dengan cepat, spontan dan ekspresif.

Kegiatan menyeket bagi seorang seniman menjadi sebuah aktivitas yang sangat menyenangkan dan dekat dengan suasana hati. Menyeket  menjadi sebuah trend dan biasanya kemana pun seorang seniman pergi, tidak ketinggalan kertas dan penanya dibawa serta. Setiap goresan sang seniman menjadi sebuah ‘goresan’ yang penuh makna. Setiap goresan terkadang merupakan studi perkembangan kesenilukisan dan juga dapat merupakan  kumpulan dokumentasi perjalanan hidup pribadi sang seniman. Pertanyaan yang muncul adalah: Apakah semua ‘goresan’ yang diciptakan dapat digolong sebagai karya sketsa?, goresan macam apakah yang layak disebut sebagai sketsa?, atau apakah semua aktivitas menggores dapat dikategorikan sebagai karya sketsa?. Beberapa orang beranggapan bahwa sketsa hanya dimaksudkan sebagai rancangan gambar bersifat sementara yang kelak pada suatu ketika mengerjakannya kembali dalam mediaum cat. Sebagian lagi berpandangan bahwa sketsa adalah medium ekspresi estetik secara total dan menjadikan sketsa sebagai karya mandiri, sebagai  karya seni murni.
Sketsa dalam tahap ini menjadi totalitas  ekspresi yang menyimpan berbagai makna psikologis. Sketsa dipandang sebagai ‘bahasa rupa’ yang menyimpan banyak makna dan berkemampuan untuk mengekspresikan suara bathin seniman dari lubuk hati yang paling dalam. Tidak jarang terlihat karya sketsa seorang seniman lebih memiliki kualitas garis yang hebat dari pada lukisannya.
Bagaimana dengan karya yang ditampilkan pada pameran ini, terletak dimanakah posisi karya mereka? Apakah karya mereka hanya terhenti pada karya rancangan yang bertujuan untuk melatih ketajaman pengamatan dan keterampilan tangan dalam menarik garis serta menangkap obyek? Atau tergolong karya mandiri yang memiliki nilai sama dengan karya seni rupa lainnya?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka kita mesti melihat kembali ‘semangat penciptaan’ karya sketsa yang ada. Kualitas totalitas ekspresi yang ditampilkan oleh beberapa perupa dalam pameran ini, tampak sangat menonjol terutama dalam pemanfaatan goresan yang cepat, spontan dan ekspresif menjadikannya sebagai karya seni mandiri. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa dalam pameran ini juga tampil beberapa karya perupa dengan goresan yang masih ‘penuh keraguan’ dan tidak spontan.

Dan akhirnya , apa yang tersaji pada pameran ini sekali lagi  sebaiknya dipahami sebagai sebuah ‘proses’ dari sekian banyak proses yang mesti dilalui oleh seorang seniman dalam pengembaraan pencarian jati dirinya di rimba belantara perkembangan seni rupa Indonesia.


Salam Apresiasi dan Selamat Berpameran !!!

Pangeran Paita Yunus
Pengajar pada Jurusan Seni Rupa Universitas Negeri Makassar
Kurator Galeri Seni Rupa ‘Colli PakuE’
Kurator Galeri ‘A. Kahar Wahid’




Ekspresi Rupa-Rupa dalam Seni Rupa, untuk Pameran Satriadi dkk


Catatan Pinggir Pameran Seni Rupa:
EKSPRESI RUPA-RUPA DALAM SENI RUPA*
Pangeran Paita Yunus

Bagian Pertama
Seniman pada dasarnya adalah “pencatat” setiap gejala dan peristiwa yang terjadi di sekitarnya, dengan cara dan ‘bahasa’ masing-masing untuk selanjutnya dikomunikasikan kepada publik. Dalam konteks ini, presentasi karya merupakan gagasan olah seni sang seniman terhadap berbagai masalah yang dihadapi atau pun yang diamatinya dengan cara dan bahasa yang paling subyektif. Subyektif karena berasa dari sudut pandang sang seniman. Apalagi, pada masa sekarang kini, seniman dengan kemampuannya ‘membaca’ kondisi yang ada di sekitarnya, terbuka peluang dan keleluasaan dalam mengeksplorasi dan menggunakan bahasa ekspresinya.
Sebuah pameran, karenanya dapat dipahami sebagai sebuah presentasi tentang kecendrungan-kecendrungan seorang seniman dalam membaca dan memaknai kembali dalam bentuk sebuah karya seni rupa terhadap peristiwa atau gejala yang menjadi ‘setting’ gagasan, pemikiran dan hasil perenungannya.
Sesungguhnya karya seni rupa adalah dunia rekaan yang sangat subyektif dan otonom kehadirannya. Akan tetapi, ketika karya tersebut hadir di tengah publik, dengan sendirinya karya seni tersebut tidak terbebas dari nilai. Ia akan menjadi obyek, yang akan memancing pandangan, pendapat dan diskusi dari berbagai sudut pandang. Ia dianggap sebagai bentuk aktualisasi, realisasi atau representasi dari sebuah situasi dan sistem tertentu. Dan terkadang dianggap sebagai sebuah kode budaya pada zamannya. Dalam konteks tersebut, terkadang sebuah karya seni memunculkan ketegangan. Ketegangan dalam proses kreatif sang seniman, atau ketegangan ketika karya seni itu hadir di tengah publik.
Ketegangan terkadang timbul ketika paham yang dimiliki pengamat tidak dapat lagi digunakan untuk mendekati dan memahami karya seni rupa yang dihadapi. Dengan demikian, dalam proses ini, seorang pengamat dituntut untuk menemukan perangkat konvensi yang lain untuk membedah karya seni tersebut. Hal tersebut sejalan yang dikemukakan A. Teeuw (1983), bahwa ‘karya seni selalu berada dalam ketegangan antara sistem dan pembaharuan, antara konvensi dan revolusi, antara yang lama dan yang baru’.
Dengan demikian, menurut Suwarno (1995), persoalan utama dalam perkembangan seni rupa pada akhirnya adalah menyangkut bagaimana membangun karakteristik sebuah paham dan persoalan saling berebut makna dan fungsinya di tengah publik.

Bagian Kedua

Kesan pertama yang saya rasakan ketika mengamati karya Satriadi, Ardiamsyah, Edi Satria, Dewa Kadek, Salmiah, Rahmayani, Andi Rahayu dan Nurhaedah adalah adanya kemauan dari delapan perupa muda ini untuk masing-masing mencari ‘jati dirinya’ sebagai perupa. Mereka dalam proses menemukan ‘kekhasan’ masing-masing.
Bila diamati secara mendalam, sesungguhnya karya perupa muda ini dapat memberikan nilai-nilai perenungan dan pencerahan setiap kali berhadapan dengan karyanya. Disamping kita terhibur dengan sajian obyek yang indah, juga mendapatkan suatu nilai yang dapat merangsang pemikiran dan perenungan, sebab karya seni dengan segala teknik dan media yang menjadi pilihan seorang seniman dapat memberikan rasa nyaman dan sejuk karena karya seni senantiasa mereflesikan berbagai aspek kehidupan manusia.
Gelar karya 8 perupa muda yang juga adalah mahasiswa eksponen 2007 pada jurusan Seni Rupa Fakultas Seni dan Desain Universitas Negeri Makassar, akan digelar dari tanggal 13 s.d 15 Pebruari 2012. Pameran ini sebenarnya merupakan persyaratan bagi mahasiswa seni rupa dalam menyelesaikan studinya pada jurusan tersebut. Yang merupakan tahapan terakhir dari sekian banyak tahapan yang telah mereka lalui selama menimba ilmu di Jurusan Seni Rupa dan merupakan langkah awal dalam pembuktian diri mereka sebagai perupa maupun sebagai pendidik seni di tengah masyarakat.
Tulisan ini dimaksudkan untuk melihat dan mencermati beberapa karya perupa yang tampil dalam upaya mengiringi wacana apresiasi seni masyarakat sebagai bentuk komunikasi antara seniman, karya seni dan penikmatanya. Jika kita menilik karya yang dipamerkan, maka kita temukan berbagai ragam gaya dan kecenderungan para perupa ini, mulai dari realis-fotografis sampai pada yang bergaya surrealis. Dari yang memanfaatkan media cat acrilik, pewarna batik sampai pada media kayu dan logam. Karya-karya yang dipamerkan dibagi ke dalam kelompok berdasarkan gaya untuk mempermudah mendekati berbagai kecenderungan yang nampak. Meskipun demikian, karya tersebut dapat juga secara bersamaan didekati berdasarkan konteks penciptaannya. Pembagian berdasarkan pada gaya seni semata-mata dilakukan untuk memudahkan pengamat dalam melihat kecendrungan-kecendrungan para perupa dan selanjutnya dibahas secara mendalam.
Di saat pengunjung memasuki ruangan pameran, maka hal yang segera terasa ‘aneh’ dan di luar kebiasaan akan tampak pada karya yang ditampilkan oleh Satriadi dan karya Ardiamsyah, yang memilih seni ilustrasi sebagai media ungkap perasaannya. Kedua perupa ini cenderung mengekspose dan mendekonstruksi obyek maupun gaya yang ditampilkan. Melepaskan diri dari kenyataan dan lebih menggandalkan memori, emosi, dan imajinasi, namun tetap terarah.
Ditangan Satriadi dan Ardiamsyah, seni ilustrasi mendapat lakon baru. Pemahaman dan penjelasan yang lazim mengenai ilustrasi adalah peran untuk memperjelas teks atau menghias teks cerpen atau cerita misalnya. Sebuah karya ilustrasi berupaya untuk menarik esensi cerita dari sebuah teks cerpen, kemudian diilustrasikan, memperjelas, serta mempercantik teks yang diacunya. Menurut Ipong Purnama Sidhi (2006), dalam pengertian yang konvensional, rupa menghamba kepada teks. Teks adalah raja. Artinya sebuah ilustrasi hanya berperan sebagai pelengkap penderita, sedangkan teks cerpen sebagai subyek utama.
Karya seni ilustrasi kedua perupa ini telah menunjukkan pergeseran dan perkembangan sekaligus perubahan yang berarti. Mereka berkreasi berdasarkan tema yang telah dipilihkan, namun mereka diberi kebebasan berkreasi dan member peluang melepaskan beban ilustrasi dalam pengertian konvensional. Dalam berkarya, mereka bebas menginterpretasikan tema yang ada dengan cara masing-masing, kemungkinan eksperimentatif namun tetap terarah. Karya ilustrasi mereka tidak lagi menjadi inferior di hadapan teks, tetapi menjadi karya seni mandiri. Menjadi sebuah karya ekspresi yang dapat berdiri sendiri sebagai karya seni rupa yang utuh.
Beberapa karya-karya seni yang mereka tampilkan memperlihatkan upayanya untuk melepaskan diri dari tradisi seni ilustrasi konvensional, sehingga terlihat membuat terobosan dan menyajikan gejala menarik, misalnya saja karya Satriadi Menunggu Amarah Tuhan” (acrilik on carton, 2012), yang menampilkan sebuah rel tanpa kereta yang ujungnya berakhir pada sebuah mulut manusia yang terbuka lebar. Sejurus dengan rel kereta, selembar pita merah bergelombang yang tak berujung yang juga masuk ke dalam mulut manusia. Terkesan kedua obyek tersebut tertelan oleh mulut manusia yang tampak marah. Kesan ‘marah’ dari karya ilustrasi ini didukung oleh suasana tanah yang kering kerontang dan langit yang gemuruh dan tampak kelam. Karya ArdiamsyahDream World Monster” (acrilik, 2011), menampilkan sosok binatang imajinatif fantastis, di mana satu tubuh memiliki dua kepala binatang berbeda, satunya berkepala dan berjari buaya dan lainnya berkepala dan berjari burung elang. Di kehidupan nyata, kita tidak akan menemukan binatang seperti ini. Karya seperti ini telah melewati waktu dan proses kreatif yang panjang dalam perenungan-kontemplasi bahkan mungkin kegiatan eksprimen sang perupa, yang pada akhirnya tervisualisakan seperti yang ada sekarang ini.
Perupa lain yang tampil seperti Edi Satria, Dewa Kadek, Salmiah, Rahmayani, Andi Rahayu dan Nurhaedah pada prinsipnya menunjukkan kecenderungan menampilkan rupa realistik yang fotografis dengan garapan yang cukup cermat. Bahkan beberapa obyek disekitarnya dilukiskan dengan sangat memperhatikan terang-gelap, seksama dan detail, walau dengan media ungkap yang berbeda. Lihat saja Karya SalmiahAll Roses” (Batik, 2011), Andi Rahayu Ikan Badut” (Batik, 2011). Nuhaedah “Sun Flower”(Batik, 2011) dan karya logam Edi SatriaBalla Lompoa” (logam, 2011), karya logam Dewa Kadek Rama-Shinta 1(logam, 2011). Sedangkan beberapa karya seni patung abstrak Rahmayani, misalnya Mekar” (Kayu, 2011) dan “Imaji” (Kayu, 2011) digarap dengan cermat dan memiliki makna yang dalam.

Bagian Ketiga

Dari sekitar lima puluhan karya yang ditampilkan pada pameran ini, beberapa karya dari segi teknik, konon merupakan salah satu kelemahan para seniman rupa kita dalam setiap olah seninya adalah dalam sentuhan akhir (finishing touch). Perupanya cukup puas meski di sana sini secara teknik kedodoran. Alasan yang biasanya mengiringi karya seperti ini adalah: yang penting idenya, bentuk tidak mesti bagus atau inikan gaya ekspresif!!!
Beberapa karya yang pamerkan dan saya bahas secara singkat di atas, cukup kiranya menjadi bahan renungan dan kemudian dipertimbangkan untuk menjadi discourse yang terus menerus bergulir. Diharapkan kesenian dan berbagai lingkup dan cakupannya dapat menjadi proses  dialog yang terus menerus dibudayakan, apatah lagi ketika diskusi-diskusi tentang seni dan permasalahannya, yang biasa dilakukan di kampus atau pun di Gedung Kesenian di kota Makassar seolah-olah hilang ditelan masa.
Akhirnya, apa yang tersaji pada pameran kali ini sebaiknya dipahami sebagai sebuah proses dari sekian banyak proses yang akan dan mesti dilewati oleh setiap insan manusia, khususnya bagi para perupa muda dalam pengembaraan mencari jati dirinya. Dan pameran seni rupa pada dasar merupakan ruang untuk menyimak dan memaknai wacana yang berkembang dalam konstalasi perkembangan seni rupa kita. Pameran ini juga diharapkan dapat memberikan konstribusi bagi khazanah pengalaman artistik dan estetik publik seni rupa Makassar, semoga!!!
Salam Apresiasi dan Selamat Berpameran.
“Siapa pun yang berubah, tak akan punah” - Ovid, penyair Roma (43 SM-18 M)

Malengkeri-Makassar, 07 Pebruari 2012

Pangeran Paita Yunus
Pengajar pada Jurusan Seni Rupa
Fakultas Seni dan Desain Universitas Negeri Makassar

*dari berbagai sumber

Kebijakan Penerapan Ciri Khas Arsitektur Sul-Sel pada Kantor Pemerintah dan bangunan Paublik


KEBIJAKAN PENERAPAN CIRI KHAS ARSITEKTUR SULAWESI SELATAN PADA KANTOR
PEMERINTAH DAN BANGUNAN PUBLIK
Applying Policy of South Sulawesi Architecture in
Governmental Office and Public Building
Pangeran Paita Yunus[1], R. M. Soedarsono[2]
Program Studi
Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa
Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada


ABSTRAK

In the effort conservation of local culture, required existence of policy of local government to make by law ( Peraturan daerah) can be made hold to all architect and also owner of building, when making planning for development in public spaces that do not forget gives forerunner typical of traditional architecture style of South Sulawesi in building office or public building.
The Government South Sulawesi effort blazes the way development of new building or buildings of which remain to places forward architecture characteristic BugisMakassar, like the one starts examplizeed in 1978 by building DPRD South Sulawesi office and governor South Sulawesi office is striving that need to be response positive. But this effort doesn't take place stripper. The architects which in a few time before all still seems to apply model Timpalaja ( timpanon) as uppermost characteristic of traditional house roof of Bugis-Makassar at buildings, also seen has started disappears from presence of new building or buildings exactly becomes new icon for Makassar city.

Keyword: traditional architecture, governmental policy


Dalam upaya pelestarian budaya daerah, diperlukan adanya kebijakan pemerintah daerah untuk membuatkan Peraturan Daerah (Perda) yang dapat dijadikan pegangan bagi para arsitek maupun pemilik bangunan, ketika membuat rancangan untuk pembangunan di ruang-ruang publik agar tak melupakan memberikan pertanda khas Kota Makassar atau ‘memunculkan’ gaya arsitektur tradisional Sulawesi Selatan dalam membangun kantor atau bangunan publik.  
Upaya Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan merintis pembangunan gedung atau bangunan-bangunan baru yang tetap mengedepankan ciri arsitektur Bugis- Makassar, seperti yang mulai dicontohkan tahun 1978 dengan membangun Kantor DPRD Sulawesi Selatan dan Kantor Gubernur Sulawesi Selatan merupakan upaya yang perlu direspon positif. Namun upaya ini tidak berlangsung lama. Para arsitek yang dalam beberapa waktu sebelumnya masih tampak menerapkan model Timpalaja (timpanon) sebagai ciri menonjol atap rumah tradisional Bugis-Makassar pada bangunan-bangunan, juga terlihat sudah mulai menghilang dari kehadiran gedung atau bangunan-bangunan baru yang justru menjadi ikon baru bagi Kota Makassar.
Kata kunci: arsitektur tradisional, kebijakan pemerintah


A. Pengantar
Arsitektur tradisional sebagai salah satu modal kebudayaan tumbuh dan berkembang bersamaan dengan pertumbuhan suatu bangsa. Oleh karena itu, kehadiran sebuah arsitektur tradisional merupakan salah satu identitas dari komunitas pendukung kebudayaan. Dalam arsitektur tradisional sebagai sebuah karya cipta manusia, terkandung secara terpadu tiga wujud kebudayaan, yakni: 1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya; 2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat; 3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.[3]
Dalam kenyataan kehidupan masyarakat ketiga wujud dari kebudayaan tersebut di atas, tentu tidak terpisah satu dengan lain. Kebudayaan ide dan adat istiadat mengatur dan memberi arah kepada perbuatan dan karya manusia. Pikiran-pikiran dan ide-ide maupun perbuatan dan karya manusia, menghasilkan benda-benda kebudayaan fisiknya. Sebaliknya, menurut Koentjaraningrat, kebudayaan fisik itu membentuk suatu lingkungan hidup tertentu yang makin lama makin menjauhkan manusia dari lingkungan alamiahnya, sehingga mempengaruhi pula pola-pola perbuatannya, bahkan juga mempengaruhi cara berpikirnya.[4] Jikalau wujud-wujud kebudayaan itu dihayati dan diamalkan, maka lahirlah rasa bangga dan rasa cinta terhadap karya itu. Salah satu wujud yang dimaksud adalah terdapatnya berbagai macam simbol pada arsitektur tradisional di Sulawesi Selatan.
          Arsitektur tradisional merupakan karya yang tumbuh dan berkembang di bawah pengaruh tradisi, aktivitas sosial budaya, dan perilaku masyarakat. Oleh sebab itu, sebuah karya arsitektur seperti arsitektur tradisional Sulawesi Selatan semestinya juga sebagai cerminan budaya yang mempunyai makna dan fungsi sebagaimana mestinya.[5]
          Arsitektur tradisional dengan berbagai macam simbol yang melekat pada bangunan, adalah salah satu bentuk warisan budaya yang tidak ternilai. Namun demikian, sejauhmana kebudayaan daerah dapat dikenal dan dicintai  masyarakat pendukungnya, adalah hal yang membutuhkan analisis untuk menunjukkan identitas bangsa yang berkepribadian. Budaya daerah yang bersifat nasional perlu diidentifikasi demi pelestariannya, demikian halnya dengan arsitektur tradisional Sulawesi Selatan sebagai salah satu aset lokal yang perlu dipertahankan eksistensinya, bahkan dilestarikan sebagai salah satu kearifan lokal masyarakat pendukungnya dan warisan yang dapat memperkaya seni budaya di tanah air.
Ketika interaksi sosial budaya suatu masyarakat semakin luas maka kian beragam dan kompleks jaringan yang dilakoninya. Semakin tinggi intensitas interaksi sosial budaya yang dikembangkan oleh suatu komunitas lokal dalam pergaulannya dengan komunitas diluarnya, maka semakin besar pula peluang masyarakat tersebut untuk mengembangkan kebudayaannya. Sebaliknya semakin terisolir suatu komunitas dari lingkungan sosial budayanya, atau  semakin mereka menutup diri dari pergaulan dengan luar komunitasnya, maka semakin kuat pula hambatan yang dihadapi dalam mengembangkan budayanya. Pada masa sekarang, ketika interaksi sosial budaya masyarakat semakin luas dan terbuka, mengarahkan pendukung kebudayaan menuju suatu keadaan imajiner, dimana masyarakat semakin mengabaikan batas geografis, etnografis, negara bahkan bangsa.
Ralp Linpton[6] menyatakan bahwa di dunia ini tidak ada lagi masyarakat yang berhak menyatakan bahwa kebudayaannya masih asli. Selebihnya merupakan hasil tukar menukar dan pinjam meminjam unsur kebudayaan yang diserap secara murni ataupun dimodifikasikan. Demikian pula sebagian besar pengembangan unsur kebudayaan setempat biasanya merupakan pengembangan yang diilhami oleh pengaruh kontak budaya dengan pihak luar. Dalam proses kontak budaya itu, Monica Hunter Wilson mengemukakan bahwa perubahan akibat adanya kontak kebudayaan dalam suatu masyarakat tradisional ke masyarakat masa kini tidak perlu menyebabkan hilangnya keseimbangan sehingga timbul konflik-konflik yang merusak, asalkan perubahan itu berlangsung dengan lambat dan terarah.[7]
Di Indonesia, perkembangan semangat demokrasi dan reformasi menjadi fenomena  umum yang turut mendorong terjadinya pola interaksi sosial budaya baru. Masyarakat semakin terbuka, perkembangan tersebut telah mendorong pengaruh yang memberi dampak positif sekaligus negatif. Perkembangan positif yang telah terjadi adalah berkembangnya keterbukaan, transparansi, penegakan hukum dan hak azasi, memberi warna dan nuansa baru dalam tatanan pergaulan dan kehidupan kemasyarakatan, baik di tingkat lokal, regional maupun global. Sebaliknya, dampak negatif, karena meningkatnya transportasi dan informasi yang mengantarkan “budaya” baru. Bila tidak ada filterisasi dan proteksi secara dini, keterbukaan dapat mengakibatkan infiltrasi kebudayaan yang membawa nilai-nilai baru yang tidak semuanya baik dan sesuai dengan nilai luhur yang dimiliki bangsa Indonesia hingga dapat menimbulkan dekadensi kebudayaan. Kebudayaan lokal akan cenderung semakin terpuruk dan akhirnya kehilangan identitas. Kondisi ini, kian diperparah karena anutan “model” pembangunan di Indonesia, sementara masih lebih bertumpu pada prioritas pembangunan di bidang ekonomi.
Gejala tersebut di atas, mulai dirasakan dalam perkembangan arsitektur tradisional Sulawesi Selatan (Bugis, Makassar, dan Toraja). Masyarakat dalam membangun rumah cenderung  memilih model Eropa atau asing untuk bentuk bangunannya. Pada dasarnya, Penerapan gaya arsitektur menjadi hak pemilik bangunan sehingga sulit untuk menggiring memilih penerapan suatu gaya arsitektur tertentu. Tapi terasa aneh jika kita berada di suatu kawasan atau kota yang punya latar sejarah besar, tradisi, adat dan budaya lokal yang dikagumi sejak masa silam, seperti Kota Makassar tapi justru kemudian dikelilingi bangunan-bangunan bergaya arsitektur asing.


B. Arsitektur Bugis-Makassar mulai terkikis dari Ruang Publik Kota Makassar.
Seiring dengan upaya menjadikan Makassar ibukota Provinsi Sulawesi Selatan sebagai ‘Kota Dunia’, kehadiran berbagai macam model gedung dan bangunan baru pencakar langit tampak dibuat tak lagi menghiraukan penerapan identitas arsitektur tradisional Bugis-Makassar. Sebutlah, misalnya beberapa gedung bertingkat yang telah selesai dibangun, Gedung Graha Pena atau Gedung perkuliahan Universitas Islam Indonesia (UIN) Alauddin yang sedikit pun tidak menandakan identitas tradisional Bugis-Makassar atau Toraja. Olehnya itu, dalam upaya pelestarian budaya daerah, diperlukan adanya kebijakan pemerintah daerah untuk membuatkan Peraturan Daerah (Perda) yang dapat dijadikan pegangan bagi para arsitek maupun pemilik bangunan, ketika membuat rancangan untuk pembangunan di ruang-ruang publik agar tak melupakan memberikan pertanda khas Kota Makassar atau ‘memunculkan’ gaya arsitektur tradisional Sulawesi Selatan dalam membangun kantor atau bangunan publik.  
Belakangan ini ada upaya masyarakat kota Makassar aktif berperan dalam penyesuaian diri dengan unsur-unsur yang datang dari luar dengan tanpa melupakan unsur budaya lokal. Salah satunya dapat dilihat pada bangunan-bangunan baru baik milik pemerintah maupun swasta sudah menganut tipe baru tetapi masih senantiasa memperlihatkan ciri  arsitektur khas Bugis, dengan menggunakan timpalaja (tutup bubungan yang berbentuk prisma). Di sini ada kecendrungan menjadikan bentuk timpalaja sebagai terminal pertahanan, sehingga pada ciri inilah seolah-olah dikonsentrasikan semua nilai yang telah kehilangan wujud (simbol) karena perubahan.
Upaya Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan merintis pembangunan gedung atau bangunan-bangunan baru yang tetap mengedepankan ciri arsitektur Bugis- Makassar, seperti yang mulai dicontohkan tahun 1978 dengan membangun Kantor DPRD Sulawesi Selatan dan Kantor Gubernur Sulawesi Selatan merupakan upaya yang perlu direspon positif. Namun upaya ini tidak berlangsung lama. Para arsitek yang dalam beberapa waktu sebelumnya masih tampak menerapkan model Timpalaja (timpanon) sebagai ciri menonjol atap rumah tradisional Bugis-Makassar pada bangunan-bangunan, juga terlihat sudah mulai menghilang dari kehadiran gedung atau bangunan-bangunan baru yang justru menjadi ikon baru bagi Kota Makassar.






Gambar 1. Kantor Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan yang menerapkan bentuk atap berciri khaskan Anjong Bugis
(Foto: Pangeran Paita Yunus, 2012)
 



Gambar 2.  Penerapan model timpalaja berciri khaskan Anjong Bugis pada salah satu kantor pemerintah di Makassar
(Foto: Pangeran Paita Yunus, 2012)
 































C. Arsitektur Tradisional Sulawesi Selatan dalam Ketahanan Budaya Lokal.
Pemanfaatan model arsitektur tradisional pada bangunan masa kini, ternyata sering dianggap tidak lagi mampu sepenuhnya mengikuti dinamika kebutuhan masyarakat. Seringkali dianggap terjadi ketidakserasian antara keberadaan model arsitektur tradisional yang boleh dikatakan cenderung stagnan, dengan dinamika tuntutan kehidupan moderen yang selalu cepat berubah dengan variasi-variasinya. Pada banyak kasus, karena penerapan model arsitektur tradisional yang salah, tidak mengabaikan kaidah-kaidah sebagaimana mestinya mengakibatkan bangunan atau rumah itu bermasalah. Pemahaman seperti itulah yang mendasari pertimbangan hingga penerapan model baru pada arsitektur rumah atau bangunan masa kini dengan corak kekinian pula, tidak mau  mengadopsi potensi arsitektur rumah tradisional.  Kalau pun ada upaya-upaya menyerap model arsitektur rumah tradisional, misalkan penerapan seni hias Bugis pada bagian tertentu bangunan, maka proses adopsi itu secara umum masih belum cukup memuaskan karena hadir hanya sebagai tempelan artistik pemanis, sebatas ornamen ringan semata, bukan karena pertimbangan aktualisasi kekayaan arsitektur tradisional.
Ada pula paradigma yang menilai bahwa dalam konteks waktu, tradisional diidentikkan dengan masa lalu yang kuno dibanding dengan modern, ultra modern atau pasca modern yang sepenuhnya mencerminkan kekinian terbaru. Itu salah satu penyebab rumah ber-arsitektur tradisional yang mengandung berbagai kearifan lokal dinilai kuno oleh sebagian masyarakat, ketinggalan zaman hingga pelan-pelan mulai ditinggalkan pemangku kepentingan. Padahal, disadari bahwa transformasi model arsitektur tradisional ke arsitektur moderen sebenarnya dapat terproses secara baik dalam penataan ruang dan lingkungan dari waktu ke waktu, jika saja hal tersebut terus dilakukan dalam kesadaran tinggi. Mencari wujud arsitektur tradisional untuk rumah yang baru dengan penerapan secara bijak dan mematuhi kaidah-kaidah dengan tepat. Semakin cepat dilakukan transformasi akan semakin besar dan efektif manfaatnya bagi masyarakat. Alasan inilah yang mendasari pemikiran; pentingnya berbagi kesadaran untuk sama-sama berusaha menggali dan memahami kembali kearifan lokal dan keunggulan yang terkandung dalam ranah arsitektur rumah tradisional. Kearifan lokal dan keunggulan yang mulai terabaikan, ditinggalkan atau bahkan cenderung dilupakan, perlu segera direvitalisasi.
Hasil penelusuran, pengkajian dan pelestarian kearifan lokal yang dimiliki, perlu ditransformasikan untuk menjadi bekal pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan bagi pengembangan ilmu arsitektur, untuk generasi sekarang dan generasi penerus, serta bagi kelestarian alam dan lingkungan.
Penerapan wujud identitas dan karakter budaya lokal pada arsitektur rumah tradisional di berbagai kawasan baik perumahan, pusat perbelanjaan, pusat wisata, dan pusat kantor pemerintah dan swasra seharusnya terus menerus dilakukan secara konsepsional dan terarah. Agar dapat terlihat secara jelas bagaimana esensi kearifan budaya lokal yang diterapkan itu ternyata masih bisa sangat fungsional. Konsep arsitektur tradisional yang diterapkan pada semua kawasan,  bisa berperan menjadi transformator atas nilai yang ingin diwariskan untuk memperkokoh ketahanan budaya lokal sekaligus nasional.
Untuk mewujudkan ketahanan budaya dan konteks pelestarian dan pengembangan arsitektur tradisional Sulawesi Selatan maka.
·      Perlu upaya memahami esensi masing-masing nilai kearifan lokal untuk dilestarikan sebagai warisan budaya.
·      Perlu upaya memahami substansi masing-masing nilai kearifan lokal untuk dikembangkan ke dimensi kekinian, seiring dengan perubahan waktu dan kemajuan teknologi yang bergerak ke masa depan.
·      Bahwa mempertahankan jati diri dan karakter etnis lokal amatlah penting di tengah deraan arus modernisasi dan kecenderungan universalisasi. Hal tersebut dapat ikut ditransformasikan melalui kesadaran akan keunggulan budaya yang dimiliki.
·      Hidup dan kehidupan memang berhak terus berkembang seiring zamannya, namun perubahan lingkungan strategis etnis yang mengadopsi kearifan-kearifan lokal perlu pula terus ikut diperhitungkan dan dipertahankan guna menjadi roh bagi pengembangan sekaligus dan meningkatkan ketahanan arsitektur berciri tradisional.[8]
Semakin cepat dilakukan kajian untuk menggali nilai dari kearifan arsitektur tradisional lokal dampaknya akan semakin baik, termasuk upaya-upaya transformasi, pewarisan nilai dan teknologi arsitektur tradisional dari para sesepuh, cerdik cendekia bidang budaya, sosiologi dan arsitek rumah tradisional akan sangat baik sebelum mereka terlanjur berpulang. Diharapkan dengan terwujudnya kelestarian arsitektur tradisional lokal Sulawesi Selatan dapat merajut kembali kejayaan masa lalu yang bermanfaat menjadi kebanggan masa kini. Warisan itu diwujudkan dalam explicit knowledge, yang sangat kita perlukan dalam memantapkan konsepsi ketahanan budaya lokal etnis oleh generasi masa kini dan generasi penerus dalam menghadapi tantangan masa mendatang.
CATATAN AKHIR
          [1]Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), 5-6.
2Koentjaraningrat, 7.
3Eko Budihardjo, Arsitektur sebagai Warisan Budaya (Jakarta: Djambatan,1997), 6.
4Ralp Linton (ed), Acculturation in Seven American Indian Tribes (New York: Appleton, 1940), 457-458.
5Monica Hunter Wilson, The Analysis of Social Change Based on Observations in Central Africa (Cambridge: Cambridge University Press, 1945), 12.
6Syahriar Tato, “Arsitektur Tradisional Sulawesi Selatan Pusaka Warisan Budaya Lokal Indonesia”. (hhtp: www.arsitekturtradisional. 2010).




DAFTAR PUSTAKA
Budihardjo, Eko. Arsitektur sebagai Warisan Budaya. Jakarta: Djambatan,1997.
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), 5-6.

Wilson, Monica Hunter, The Analysis of Social Change Based on Observations in Central Africa . Cambridge: Cambridge University Press, 1945.

Linton, Ralp (ed), Acculturation in Seven American Indian Tribes (New York: Appleton, 1940.

Tato, Syahriar, “Arsitektur Tradisional Sulawesi Selatan Pusaka Warisan Budaya Lokal Indonesia”. (hhtp: www.arsitekturtradisional. 2010).













                                                    




[1] Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
[2] Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
            [3]Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), 5-6.
[4] Koentjaraningrat, 7.
          [5]Eko Budihardjo, Arsitektur sebagai Warisan Budaya (Jakarta: Djambatan,1997), 6.
[6] Ralp Linton (ed), Acculturation in Seven American Indian Tribes (New York: Appleton, 1940), 457-458.
[7] Monica Hunter Wilson, The Analysis of Social Change Based on Observations in Central Africa (Cambridge: Cambridge University Press, 1945), 12.

[8] Syahriar Tato, “Arsitektur Tradisional Sulawesi Selatan Pusaka Warisan Budaya Lokal Indonesia”. (hhtp: www.arsitekturtradisional. 2010)