KEBIJAKAN PENERAPAN CIRI KHAS ARSITEKTUR SULAWESI
SELATAN PADA KANTOR
PEMERINTAH DAN BANGUNAN PUBLIK
Applying Policy of South
Sulawesi Architecture in
Governmental Office and
Public Building
Program Studi
Pengkajian Seni
Pertunjukan dan Seni Rupa
Program Pascasarjana
Universitas Gadjah Mada
ABSTRAK
In the effort
conservation of local culture, required existence of policy of local government
to make by law ( Peraturan daerah) can be made hold to all architect and also
owner of building, when making planning for development in public spaces that
do not forget gives forerunner typical of traditional architecture style of
South Sulawesi in building office or public building.
The Government South
Sulawesi effort blazes the way development of new building or buildings of
which remain to places forward architecture characteristic BugisMakassar, like
the one starts examplizeed in 1978 by building DPRD South Sulawesi office and governor South Sulawesi office
is striving that need to be response positive. But this effort doesn't take
place stripper. The architects which in a few time before all still seems to
apply model Timpalaja ( timpanon) as uppermost characteristic of
traditional house roof of Bugis-Makassar at buildings, also seen has started
disappears from presence of new building or buildings exactly becomes new icon
for Makassar city.
Keyword: traditional architecture, governmental policy
Dalam upaya pelestarian budaya daerah, diperlukan adanya kebijakan
pemerintah daerah untuk membuatkan Peraturan Daerah (Perda) yang dapat dijadikan
pegangan bagi para arsitek maupun pemilik bangunan, ketika membuat rancangan
untuk pembangunan di ruang-ruang publik agar tak melupakan memberikan pertanda
khas Kota Makassar atau ‘memunculkan’
gaya arsitektur tradisional Sulawesi Selatan dalam membangun kantor atau
bangunan publik.
Upaya Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan
merintis pembangunan gedung atau bangunan-bangunan baru yang tetap
mengedepankan ciri arsitektur Bugis- Makassar, seperti yang mulai dicontohkan
tahun 1978 dengan membangun Kantor DPRD Sulawesi Selatan dan Kantor Gubernur
Sulawesi Selatan merupakan upaya yang perlu direspon positif. Namun upaya ini
tidak berlangsung lama. Para arsitek yang dalam beberapa waktu sebelumnya masih
tampak menerapkan model Timpalaja
(timpanon) sebagai ciri menonjol atap rumah tradisional Bugis-Makassar pada
bangunan-bangunan, juga terlihat sudah mulai menghilang dari kehadiran gedung
atau bangunan-bangunan baru yang justru menjadi ikon baru bagi Kota Makassar.
Kata kunci: arsitektur
tradisional, kebijakan pemerintah
A.
Pengantar
Arsitektur
tradisional sebagai salah satu modal kebudayaan tumbuh dan berkembang bersamaan
dengan pertumbuhan suatu bangsa. Oleh karena itu, kehadiran sebuah arsitektur
tradisional merupakan salah satu identitas dari komunitas pendukung kebudayaan.
Dalam arsitektur tradisional sebagai sebuah karya cipta manusia, terkandung
secara terpadu tiga wujud kebudayaan, yakni: 1. Wujud kebudayaan sebagai suatu
kompleks aktivitas dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan
dan sebagainya; 2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan
berpola dari manusia dalam masyarakat; 3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda
hasil karya manusia.[3]
Dalam kenyataan
kehidupan masyarakat ketiga wujud dari kebudayaan tersebut di atas, tentu tidak
terpisah satu dengan lain. Kebudayaan ide dan adat istiadat mengatur dan
memberi arah kepada perbuatan dan karya manusia. Pikiran-pikiran dan ide-ide
maupun perbuatan dan karya manusia, menghasilkan benda-benda kebudayaan
fisiknya. Sebaliknya, menurut Koentjaraningrat, kebudayaan fisik itu membentuk
suatu lingkungan hidup tertentu yang makin lama makin menjauhkan manusia dari
lingkungan alamiahnya, sehingga mempengaruhi pula pola-pola perbuatannya,
bahkan juga mempengaruhi cara berpikirnya.[4]
Jikalau wujud-wujud kebudayaan itu dihayati dan diamalkan, maka lahirlah rasa
bangga dan rasa cinta terhadap karya itu. Salah satu wujud yang dimaksud adalah
terdapatnya berbagai macam simbol pada arsitektur tradisional di Sulawesi
Selatan.
Arsitektur tradisional merupakan karya yang tumbuh dan
berkembang di bawah pengaruh tradisi, aktivitas sosial budaya, dan perilaku
masyarakat. Oleh sebab itu, sebuah karya arsitektur seperti arsitektur
tradisional Sulawesi Selatan semestinya juga sebagai cerminan budaya yang
mempunyai makna dan fungsi sebagaimana mestinya.[5]
Arsitektur tradisional dengan berbagai macam simbol yang
melekat pada bangunan, adalah salah satu bentuk warisan budaya yang tidak
ternilai. Namun demikian, sejauhmana kebudayaan daerah dapat dikenal dan
dicintai masyarakat pendukungnya, adalah
hal yang membutuhkan analisis untuk menunjukkan identitas bangsa yang
berkepribadian. Budaya daerah yang bersifat nasional perlu diidentifikasi demi
pelestariannya, demikian halnya dengan arsitektur tradisional Sulawesi Selatan
sebagai salah satu aset lokal yang perlu dipertahankan eksistensinya, bahkan
dilestarikan sebagai salah satu kearifan lokal masyarakat pendukungnya dan
warisan yang dapat memperkaya seni budaya di tanah air.
Ketika interaksi sosial
budaya suatu masyarakat semakin luas maka kian beragam dan kompleks jaringan
yang dilakoninya. Semakin tinggi intensitas interaksi sosial budaya yang
dikembangkan oleh suatu komunitas lokal dalam pergaulannya dengan komunitas
diluarnya, maka semakin besar pula peluang masyarakat tersebut untuk
mengembangkan kebudayaannya. Sebaliknya semakin terisolir suatu komunitas dari
lingkungan sosial budayanya, atau semakin mereka menutup diri dari
pergaulan dengan luar komunitasnya, maka semakin kuat pula hambatan yang
dihadapi dalam mengembangkan budayanya. Pada masa sekarang, ketika interaksi
sosial budaya masyarakat semakin luas dan terbuka, mengarahkan pendukung
kebudayaan menuju suatu keadaan imajiner, dimana masyarakat semakin mengabaikan
batas geografis, etnografis, negara bahkan bangsa.
Ralp Linpton[6]
menyatakan bahwa di dunia ini tidak ada lagi masyarakat yang berhak menyatakan
bahwa kebudayaannya masih asli.
Selebihnya merupakan hasil tukar menukar dan pinjam meminjam unsur kebudayaan
yang diserap secara murni ataupun dimodifikasikan. Demikian pula sebagian besar
pengembangan unsur kebudayaan setempat biasanya merupakan pengembangan yang
diilhami oleh pengaruh kontak budaya dengan pihak luar. Dalam proses kontak
budaya itu, Monica Hunter Wilson mengemukakan bahwa perubahan akibat adanya
kontak kebudayaan dalam suatu masyarakat tradisional ke masyarakat masa kini
tidak perlu menyebabkan hilangnya keseimbangan sehingga timbul konflik-konflik
yang merusak, asalkan perubahan itu berlangsung dengan lambat dan terarah.[7]
Di Indonesia,
perkembangan semangat demokrasi dan reformasi menjadi fenomena umum yang
turut mendorong terjadinya pola interaksi sosial budaya baru. Masyarakat
semakin terbuka, perkembangan tersebut telah mendorong pengaruh yang memberi
dampak positif sekaligus negatif. Perkembangan positif yang telah terjadi
adalah berkembangnya keterbukaan, transparansi, penegakan hukum dan hak azasi,
memberi warna dan nuansa baru dalam tatanan pergaulan dan kehidupan
kemasyarakatan, baik di tingkat lokal, regional maupun global. Sebaliknya, dampak
negatif, karena meningkatnya transportasi dan informasi yang mengantarkan
“budaya” baru. Bila tidak ada filterisasi dan proteksi secara dini, keterbukaan
dapat mengakibatkan infiltrasi
kebudayaan yang membawa nilai-nilai baru yang tidak semuanya baik dan sesuai
dengan nilai luhur yang dimiliki bangsa Indonesia hingga dapat menimbulkan
dekadensi kebudayaan. Kebudayaan lokal akan cenderung semakin terpuruk dan
akhirnya kehilangan identitas. Kondisi ini, kian diperparah karena anutan “model”
pembangunan di Indonesia, sementara masih lebih bertumpu pada prioritas pembangunan
di bidang ekonomi.
Gejala tersebut di
atas, mulai dirasakan dalam perkembangan arsitektur tradisional Sulawesi
Selatan (Bugis, Makassar, dan Toraja). Masyarakat dalam
membangun rumah cenderung memilih model
Eropa atau asing untuk bentuk bangunannya. Pada dasarnya, Penerapan gaya arsitektur
menjadi hak pemilik bangunan sehingga sulit untuk menggiring memilih penerapan
suatu gaya arsitektur tertentu. Tapi terasa aneh jika kita berada di suatu
kawasan atau kota yang punya latar sejarah besar, tradisi, adat dan budaya
lokal yang dikagumi sejak masa silam, seperti Kota Makassar tapi justru
kemudian dikelilingi bangunan-bangunan bergaya arsitektur asing.
B. Arsitektur Bugis-Makassar mulai terkikis dari Ruang
Publik Kota Makassar.
Seiring dengan upaya menjadikan Makassar ibukota Provinsi Sulawesi
Selatan sebagai ‘Kota Dunia’, kehadiran berbagai macam model gedung dan
bangunan baru pencakar langit tampak dibuat tak lagi menghiraukan penerapan
identitas arsitektur tradisional Bugis-Makassar. Sebutlah, misalnya beberapa
gedung bertingkat yang telah selesai dibangun, Gedung Graha Pena atau Gedung
perkuliahan Universitas Islam Indonesia (UIN) Alauddin yang sedikit pun tidak
menandakan identitas tradisional Bugis-Makassar atau Toraja. Olehnya itu, dalam
upaya pelestarian budaya daerah, diperlukan adanya kebijakan pemerintah daerah
untuk membuatkan Peraturan
Daerah (Perda) yang dapat dijadikan pegangan bagi para arsitek maupun pemilik
bangunan, ketika membuat rancangan untuk pembangunan di ruang-ruang publik agar
tak melupakan memberikan pertanda khas Kota Makassar atau ‘memunculkan’ gaya arsitektur tradisional
Sulawesi Selatan dalam membangun kantor atau bangunan publik.
Belakangan ini ada upaya
masyarakat kota Makassar aktif berperan dalam penyesuaian diri dengan
unsur-unsur yang datang dari luar dengan tanpa melupakan unsur budaya lokal. Salah
satunya dapat dilihat pada bangunan-bangunan baru baik milik pemerintah maupun
swasta sudah menganut tipe baru tetapi masih senantiasa memperlihatkan
ciri arsitektur khas Bugis, dengan
menggunakan timpalaja (tutup bubungan
yang berbentuk prisma). Di sini ada kecendrungan menjadikan bentuk timpalaja sebagai terminal pertahanan,
sehingga pada ciri inilah seolah-olah dikonsentrasikan semua nilai yang telah
kehilangan wujud (simbol) karena perubahan.
Upaya Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan
merintis pembangunan gedung atau bangunan-bangunan baru yang tetap
mengedepankan ciri arsitektur Bugis- Makassar, seperti yang mulai dicontohkan
tahun 1978 dengan membangun Kantor DPRD Sulawesi Selatan dan Kantor Gubernur
Sulawesi Selatan merupakan upaya yang perlu direspon positif. Namun upaya ini
tidak berlangsung lama. Para arsitek yang dalam beberapa waktu sebelumnya masih
tampak menerapkan model Timpalaja
(timpanon) sebagai ciri menonjol atap rumah tradisional Bugis-Makassar pada
bangunan-bangunan, juga terlihat sudah mulai menghilang dari kehadiran gedung
atau bangunan-bangunan baru yang justru menjadi ikon baru bagi Kota Makassar.
|
||||
|
C. Arsitektur
Tradisional Sulawesi Selatan dalam Ketahanan Budaya Lokal.
Pemanfaatan
model arsitektur tradisional pada bangunan masa kini, ternyata sering dianggap
tidak lagi mampu sepenuhnya mengikuti dinamika kebutuhan masyarakat. Seringkali
dianggap terjadi ketidakserasian antara keberadaan model arsitektur tradisional
yang boleh dikatakan cenderung stagnan, dengan dinamika tuntutan kehidupan
moderen yang selalu cepat berubah dengan variasi-variasinya. Pada banyak kasus,
karena penerapan model arsitektur tradisional yang salah, tidak mengabaikan
kaidah-kaidah sebagaimana mestinya mengakibatkan bangunan atau rumah itu
bermasalah. Pemahaman seperti itulah yang mendasari pertimbangan hingga
penerapan model baru pada arsitektur rumah atau bangunan masa kini dengan corak
kekinian pula, tidak mau mengadopsi potensi arsitektur rumah
tradisional. Kalau pun ada upaya-upaya menyerap model arsitektur rumah
tradisional, misalkan penerapan seni hias Bugis pada bagian tertentu bangunan, maka
proses adopsi itu secara umum masih belum cukup memuaskan karena hadir hanya
sebagai tempelan artistik pemanis, sebatas ornamen ringan semata, bukan karena
pertimbangan aktualisasi kekayaan arsitektur tradisional.
Ada pula paradigma yang
menilai bahwa dalam konteks waktu, tradisional diidentikkan dengan masa lalu
yang kuno dibanding dengan modern, ultra modern atau pasca modern yang
sepenuhnya mencerminkan kekinian terbaru. Itu salah satu penyebab rumah ber-arsitektur
tradisional yang mengandung berbagai kearifan lokal dinilai kuno oleh sebagian
masyarakat, ketinggalan zaman hingga pelan-pelan mulai ditinggalkan pemangku
kepentingan. Padahal, disadari bahwa transformasi model arsitektur tradisional
ke arsitektur moderen sebenarnya dapat terproses secara baik dalam penataan
ruang dan lingkungan dari waktu ke waktu, jika saja hal tersebut terus
dilakukan dalam kesadaran tinggi. Mencari wujud arsitektur tradisional untuk
rumah yang baru dengan penerapan secara bijak dan mematuhi kaidah-kaidah dengan
tepat. Semakin cepat dilakukan transformasi akan semakin besar dan efektif
manfaatnya bagi masyarakat. Alasan inilah yang mendasari pemikiran; pentingnya
berbagi kesadaran untuk sama-sama berusaha menggali dan memahami kembali
kearifan lokal dan keunggulan yang terkandung dalam ranah arsitektur rumah
tradisional. Kearifan lokal dan keunggulan yang mulai terabaikan, ditinggalkan
atau bahkan cenderung dilupakan, perlu segera direvitalisasi.
Hasil penelusuran,
pengkajian dan pelestarian kearifan lokal yang dimiliki, perlu
ditransformasikan untuk menjadi bekal pengetahuan dan keterampilan yang
diperlukan bagi pengembangan ilmu arsitektur, untuk generasi sekarang dan
generasi penerus, serta bagi kelestarian alam dan lingkungan.
Penerapan wujud
identitas dan karakter budaya lokal pada arsitektur rumah tradisional di
berbagai kawasan baik perumahan, pusat perbelanjaan, pusat wisata, dan pusat
kantor pemerintah dan swasra seharusnya terus menerus dilakukan secara
konsepsional dan terarah. Agar dapat terlihat secara jelas bagaimana esensi
kearifan budaya lokal yang diterapkan itu ternyata masih bisa sangat
fungsional. Konsep arsitektur tradisional yang diterapkan pada semua kawasan,
bisa berperan menjadi transformator atas nilai yang ingin diwariskan untuk
memperkokoh ketahanan budaya lokal sekaligus nasional.
Untuk mewujudkan
ketahanan budaya dan konteks pelestarian dan pengembangan arsitektur tradisional
Sulawesi Selatan maka.
·
Perlu
upaya memahami esensi masing-masing nilai kearifan lokal untuk dilestarikan
sebagai warisan budaya.
·
Perlu
upaya memahami substansi masing-masing nilai kearifan lokal untuk dikembangkan
ke dimensi kekinian, seiring dengan perubahan waktu dan kemajuan teknologi yang
bergerak ke masa depan.
·
Bahwa
mempertahankan jati diri dan karakter etnis lokal amatlah penting di tengah
deraan arus modernisasi dan kecenderungan universalisasi. Hal tersebut dapat
ikut ditransformasikan melalui kesadaran akan keunggulan budaya yang dimiliki.
·
Hidup
dan kehidupan memang berhak terus berkembang seiring zamannya, namun perubahan
lingkungan strategis etnis yang mengadopsi kearifan-kearifan lokal perlu pula
terus ikut diperhitungkan dan dipertahankan guna menjadi roh bagi pengembangan
sekaligus dan meningkatkan ketahanan arsitektur berciri tradisional.[8]
Semakin
cepat dilakukan kajian untuk menggali nilai dari kearifan arsitektur
tradisional lokal dampaknya akan semakin baik, termasuk upaya-upaya
transformasi, pewarisan nilai dan teknologi arsitektur tradisional dari para
sesepuh, cerdik cendekia bidang budaya, sosiologi dan arsitek rumah tradisional
akan sangat baik sebelum mereka terlanjur berpulang. Diharapkan dengan
terwujudnya kelestarian arsitektur tradisional lokal Sulawesi Selatan dapat
merajut kembali kejayaan masa lalu yang bermanfaat menjadi kebanggan masa kini.
Warisan itu diwujudkan dalam explicit knowledge, yang sangat kita
perlukan dalam memantapkan konsepsi ketahanan budaya lokal etnis oleh generasi
masa kini dan generasi penerus dalam menghadapi tantangan masa mendatang.
CATATAN
AKHIR
[1]Koentjaraningrat, Kebudayaan,
Mentalitet dan Pembangunan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), 5-6.
2Koentjaraningrat,
7.
3Eko
Budihardjo, Arsitektur sebagai Warisan
Budaya (Jakarta: Djambatan,1997), 6.
4Ralp Linton
(ed), Acculturation in Seven American
Indian Tribes (New York: Appleton, 1940), 457-458.
5Monica Hunter
Wilson, The Analysis of Social Change
Based on Observations in Central Africa (Cambridge: Cambridge University
Press, 1945), 12.
6Syahriar Tato, “Arsitektur Tradisional Sulawesi
Selatan Pusaka Warisan Budaya Lokal Indonesia”. (hhtp: www.arsitekturtradisional.
2010).
DAFTAR
PUSTAKA
Budihardjo,
Eko. Arsitektur sebagai Warisan Budaya.
Jakarta: Djambatan,1997.
Koentjaraningrat, Kebudayaan,
Mentalitet dan Pembangunan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), 5-6.
Wilson, Monica Hunter, The Analysis of Social Change Based on Observations in Central Africa
. Cambridge: Cambridge University Press, 1945.
Linton, Ralp (ed), Acculturation
in Seven American Indian Tribes (New York: Appleton, 1940.
Tato,
Syahriar, “Arsitektur Tradisional Sulawesi
Selatan Pusaka Warisan Budaya Lokal Indonesia”. (hhtp: www.arsitekturtradisional.
2010).
[6] Ralp Linton (ed), Acculturation in
Seven American Indian Tribes (New York: Appleton, 1940), 457-458.
[7] Monica Hunter Wilson, The Analysis
of Social Change Based on Observations in Central Africa (Cambridge:
Cambridge University Press, 1945), 12.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar