JEAN-MICHEL
BASQUIAT:
GRAFITI DAN IDEOLOGI ARTISTIKNYA
Oleh: Pangeran Paita Yunus
Bagian Pertama:
Situasi Yang Mengawali
Paling tidak dari sejak awal abad 19, kota Paris selalu
menjadi pusat panggung peristiwa sejarah seni rupa modern di Barat. Seniman penganut Neoklasik,
Romantisme, begitu pun kaum Impresionis
dan Realis serta kelompok-kelompok lain
sesudahnya berada di Paris. Pada saat Ekspresionoisme berkumandang di Eropa,
maka kota
Munchen di Jerman untuk beberapa lama menjadi pusat perhatian dunia seni rupa.
Begitu pula ketika Abstrak Ekspresionisme menjadi dominan di Barat, maka mata
dunia pun beralih tertuju kepada Amerika
Serikat, khususnya kota New York. Dan sebagaimana kita ketahui
bersama, ketika itu, New York – Paris atau pun London saling berebut tempat di
depan untuk merebut sebagai pelopor dunia seni rupa modern, dan dalam banyak
hal dan kesempatan ternyata New York sering menjadi pemenang.
Pasca
Impresionisme, sebagaimana kita ketahui telah memberikan dua dasar yang kuat
bagi perkembangan seni rupa selanjutnya, yaitu dasar kebentukan yang dipelopori
oleh Paul Cezanne dan George Seurat, dan dasar kekuatan ekspresi yang
dipelopori oleh Paul Gauguin dan Vincent Van Gogh. Dua dasar itulah yang
nantinya ternyata merupakan landasan yang kuat bagi tumbuhnya aliran-aliran
seni rupa pada abad 20/21 yang makin
lama jumlah makin banyak. Boleh dikatakan bahwa aliran-aliran yang ada pada
dasawarsa tahun tujuhpuluhan kesemuanya dapat dikembalikan pada dua kutub
tersebut, yaitu kutub yang mengejar kekuatan bentuk dan struktur dan kutub yang
sangat dominant pada kekuatan dan kepekaan ekspresi, atau gabungan antara
keduanya. Konstruktivisme, Kubisme, Abstrak Formalisme, minimal art, earth art,
neoplastisisme adalah aliran-aliran yang sangat kental dengan kebentukan,
sedangkan Surrealisme, abstrak ekspresionisme, fauvisme adalah aliran-aliran
yang datangnya dari kubu Ekspresionisme.
Mengamati
alur sejarah perkembangan seni rupa modern Barat yang begitu jelas dengan tensi
perubahan yang cepat, maka pertanyaan yang muncul adalah dimana posisining Jean-Michel
Basquiat dalam perkembangan seni rupa Barat (Amerika), siapakah dia, dan
mengapa dengan begitu cepat ia terkenal dan sebegitu cepat pula ia pergi?
Bagian Kedua:
Karya Basquiat:
Idiom Seni Rupa Pembrontakan
Basquiat
tampil sebagai pelukis di saat bangsa dan rakyat Amerika (New York:Kulit hitam) mengalami satu tingkat
ketegangan dan keruwetan sosial yang sangat tinggi dengan berbagai krisis dan
kekuatiran. Yaitu zaman dimana orang mesti berpikir keras untuk memahami dan
menanggulangi berbagai perubahan yang secara faktual datang begitu deras,
mendadak dan simultan. Ini mengakibatkan berbagai goncangan sosial-budaya. Secara langsung maupun tidak
mempengaruhi ekspresi-ekspresi seni. Dalam keadaan seperti ini orang
membutuhkan cara-cara pandang, ungkapan, dan perumpamaan baru untuk memahami
keadaan guna mencari solusi bagi permasalahan yang mengemuka.
Ungkapan-ungkapan baru itu bisa saja idiom-idiom lama
yang ditempat dalam satu konteks yang baru misalnya. Bisa juga sang seniman
meminjam idiom-idiom serta ekspresi-ekspresi yang datang bersamaan dengan
datangnya budaya-budaya baru. Dalam konteks perjalanan berkesenian Basquiat pada masa itu, budaya
populer-lah yang paling dominan, yaitu budaya yang dalam peredaran dan
perputarannya lebih memberi ruang yang luas bagi kaum muda. Bisa pula campuran
dari elemen-elemen berbagai zaman dan dari bahasa/budaya berbeda. Yang jelas
ungkapan-ungkapan baru itu tidak serta merta dapat diresapi dan bisa
menyejukkan ’mata’. Kerap kali yang baru itu sering nampak menakutkan bagi
banyak orang. Namun ekspresi-ekspresi baru tidak akan bisa dibendung, mereka
menghambur di setiap waktu dan budaya sebagai indikator-indikator zaman.
Sebelum munculnya Basquiat, di tahun 1960-an telah tampil
Pop-Art yang dipelopori Richard Hamilton, Roy Lichtenstein, Jasper Johns dan Andy
Warhol yang merupakan hasil eksplorasi atas kombinasi media, modal dan benda-benda
yang memanjakan pemakainya. Isme ini sedemikian kuat dan dahsyat mengendalikan
selera publik atas karya seni. Pop-Art mengangkat kebanalan dari budaya
konsumtif masyarakat kapitalis sebagai
pernyataan berkesenian mereka. Salah seorang pelopor seni ini di Amerika adalah Andy
Warhol.
Tahun 1980-an, ditengah kepopuleran Andy Warhol muncul
Basquiat seniman muda berbakat alami yang tidak begitu dikenal publik seni,
pengamat, kolektor, apalagi kritikus seni pada masa itu. Basquiat adalah pemuda
yang senang iseng mencorat-coret, membuat gambar/huruf grafiti di tembok-tembok toko, galeri-galeri mewah
dengan penanda “Samo” = same old shit (tahi yang itu-itu
juga) tapi tidak dikenal siapa pembuatnya. Ini adalah salah satu bentuk
kejengkelan Basquiat terhadap pengelola galeri, kolektor dan media yang hanya
menampilkan seniman-seniman yang sudah tenar pada masa itu, seperti misalnya
Andy Warhol.
Perkenalan dan persahabatan dengan Andy Warhol menjadi
simbol dari pertemuan dua kontras yang berbeda. Warhol yang berkulit putih
dengan penampilan yang trendy dan necis dan Basquiat yang berkulit hitam dengan
penampilan seronok dan fanky. Persahabatan inilah yang ’dijual’ kepada publik
Amerika. Warhol sendiri bersedia menjadi mentor bagi Basquiat. Basquiat pun
tumbuh menjadi populer menyamai mentornya.
Dalam masa produktifnya yang begitu singkat (1960-1988), Basquiat
menunjukkan siapa dirinya. Dia seorang ’seniman’ yang barangkali tidak memiliki
pretensi menjadi seniman. Ia berkarya atas keinginan berkreasi semata. Bukan
berkarya untuk melayani keinginan pasar dan kolektor.
Persahabatan Warhol dengan Basquiat yang singkat menjadi simbol bekerjanya pasar, modal,
media, dan manajemen kreatif terhadap dua seniman yang penuh paradoks itu. Andy
Warhol yang senang dengan mereproduksi tokoh yang dianggap menjadi ikon-ikon
publik sebagai bentuk representasi atas alienasi personal dalam masyarakat
modern yang kapitalistik. Sementara Basquiat mengubah figur-figur yang
stilistik secara ekspresif. Figur manusia dalam karya Basquiat, bukanlah model
realis ataupun surealis, tapi ekspresi esensial, dimana manusia hanyalah
digambar dalam bentuk kerangka saja, atau tubuh yang flat tanpa nuansa
(Dwikora, 2005).
Gaya grafiti dalam karya Basquiat muncul dalam bentuk tulisan ekspresif, puisi,
pernyataan-pernyataan, protes, pamplet tanpa pretensi pasar. Hal ini sangat
berlawanan terhadap bergairahnya pertumbuhan pasar modal, hedonisme dan
kapitalisme Kota New York tahun 1980-an.
Mengamati karya seni lukis Basquiat, maka kita tak akan
lepas dengan pergerakan Grafiti-Wall-painting, Abstrak-Ekspresionisme, dan Pop
Art yang berkembang sekitar tahun 1960-an di Amerika. Dari beberapa karya yang
ditampilkan pada pemutaran film tentang Basquiat, menunjukkan dengan jelas
bahwa ia bekerja murni dari ekspresi jiwanya yang paling dalam,
naif-kekanak-kanakan yang murni dari re-imajinasi atas memori mengenai
obyek-obyek yang terungkap dalam lukisannya. Misalnya pada karyanya ”Fink
Elephant with Fire Engine” (1984).
Apakah ungkapan visual Basquiat yang naif-ekspresif dan
melawan pakem estetika artistik pada masa itu merupakan refresentasi pembrontakannya
terhadap subordinasi kultural terhadap warga negara Amerika berkulit gelap
seperti dirinya, ataukah pengaruh pikiran alam bawah-sadar yang merupakan
akumulasi endapan amarah atas dominasi dan diskriminasi kaum elit ’kulit putih’
pada saat itu.
Dalam karya yang lain, ”Monalisa” (1983) menggambarkan sosok
Monalisa dalam wajah yang buruk tanpa ekspresi, penuh dengan goresan-goresan
liar dan tulisan-tulisan grafiti yang khas Basquiat. Pencitraan ini jauh dari
Monalisa-nya Leonardo da Vinci yang anggun dengan senyum yang penuh misteri.
Hal ini bisa merupakan bentuk ’pembrontakan’ Basquiat terhadap antusias dan
perhatian yang berlebihan publik seni terhadap ’Monalisa’ karya da Vinci.
Bagian Ketiga:
Karya Basquiat, Menyodorkan
Masalah Untuk Dikaji
Dalam
prosesnya, saya melihat karya Basquiat merupakan fase lanjutan gejala lain
dalam perkembangan seni lukis modern dunia yang berlangsung pada dekade tahun 1970-an
dan 1980-an. Seni rupa yang tumbuh pada dekade ini menurut beberapa kritikus
adalah dekade seni rupa pembrontakan (penentangan, penerobosan, perombakan).
Seperti
lazimnya seni rupa pembrontakan, seni rupa dekade 1970-1980 itu tidak memiliki
identitas stabil karena sifatnya yang reaktif, radikal dan tak tersusun secara
sistematis. Karena itu baru pada dekade 1980 akhir, setelah munculnya
perkembangan pasca-pembrontakan, dasar-dasar seni rupa pembrontakan itu menjadi
jelas: menentang prinsip-prinsip modernisme.
Pada
masa ini, seni rupa pasca-modern itu tidak lagi menentang modernisme, tapi
meninggalkannya. Gejala munculnya pada tahun 1960-an, namun baru menjadi jelas
pada dekade 1980-an setelah di tahun 1970-an dipengaruhi pemikiran-pemikiran filsafat
post-strukturalisme Eropah.
Saya
melihat karya-karya Basquiat merupakan salah satu contoh kecendrungan seni rupa
kontemporer yang diwarnai pula oleh perkembangan yang berlawanan, yaitu
‘modifikasi kecantikan lukisan’. Hal ini berkaitan dengan tumbuhnya bisnis dan pasar seni
rupa. Arus ini meluaskan praktek seni lukis dan menyerap sejumlah besar perupa,
khususnya pelukis. Kendati dasar perkembangannya seni rupa komersial, tidak
bisa di sangkal terdapat pula perkembangan seni lukis yang berkualitas di
antara seni lukis komoditi ini. Sifatnya yang komunikatif dan idiomnya yang
populer, paling tidak menyodorkan masalah untuk dikaji.
Makassar, 29 Maret 2006
Pangeran Paita Yunus
Pengajar pada Jurusan Seni Rupa FBS Universitas Negeri
Makassar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar