Rabu, 23 Mei 2012

Jean-Michek Basquiat: Grafiti dan Ideologi Artistiknya


JEAN-MICHEL BASQUIAT:
GRAFITI DAN  IDEOLOGI ARTISTIKNYA

Oleh: Pangeran Paita Yunus


Bagian Pertama:
Situasi Yang Mengawali
Paling tidak dari sejak awal abad 19, kota Paris selalu menjadi pusat panggung peristiwa sejarah seni rupa modern di Barat. Seniman penganut Neoklasik, Romantisme, begitu pun kaum  Impresionis dan Realis  serta kelompok-kelompok lain sesudahnya berada di Paris. Pada saat Ekspresionoisme berkumandang di Eropa, maka kota Munchen di Jerman untuk beberapa lama menjadi pusat perhatian dunia seni rupa. Begitu pula ketika Abstrak Ekspresionisme menjadi dominan di Barat, maka mata dunia pun beralih  tertuju kepada Amerika Serikat, khususnya kota New York. Dan sebagaimana kita ketahui bersama, ketika itu, New York – Paris atau pun London saling berebut tempat di depan untuk merebut sebagai pelopor dunia seni rupa modern, dan dalam banyak hal dan kesempatan ternyata New York sering menjadi pemenang.

Pasca Impresionisme, sebagaimana kita ketahui telah memberikan dua dasar yang kuat bagi perkembangan seni rupa selanjutnya, yaitu dasar kebentukan yang dipelopori oleh Paul Cezanne dan George Seurat, dan dasar kekuatan ekspresi yang dipelopori oleh Paul Gauguin dan Vincent Van Gogh. Dua dasar itulah yang nantinya ternyata merupakan landasan yang kuat bagi tumbuhnya aliran-aliran seni rupa pada abad  20/21 yang makin lama jumlah makin banyak. Boleh dikatakan bahwa aliran-aliran yang ada pada dasawarsa tahun tujuhpuluhan kesemuanya dapat dikembalikan pada dua kutub tersebut, yaitu kutub yang mengejar kekuatan bentuk dan struktur dan kutub yang sangat dominant pada kekuatan dan kepekaan ekspresi, atau gabungan antara keduanya. Konstruktivisme, Kubisme, Abstrak Formalisme, minimal art, earth art, neoplastisisme adalah aliran-aliran yang sangat kental dengan kebentukan, sedangkan Surrealisme, abstrak ekspresionisme, fauvisme adalah aliran-aliran yang datangnya dari kubu Ekspresionisme.

Mengamati alur sejarah perkembangan seni rupa modern Barat yang begitu jelas dengan tensi perubahan yang cepat, maka pertanyaan yang muncul adalah dimana posisining Jean-Michel Basquiat dalam perkembangan seni rupa Barat (Amerika), siapakah dia, dan mengapa dengan begitu cepat ia terkenal dan sebegitu cepat pula ia pergi?



Bagian Kedua:
Karya Basquiat: Idiom Seni Rupa Pembrontakan

Basquiat tampil sebagai pelukis di saat bangsa dan rakyat Amerika (New York:Kulit hitam) mengalami satu tingkat ketegangan dan keruwetan sosial yang sangat tinggi dengan berbagai krisis dan kekuatiran. Yaitu zaman dimana orang mesti berpikir keras untuk memahami dan menanggulangi berbagai perubahan yang secara faktual datang begitu deras, mendadak dan simultan. Ini mengakibatkan berbagai goncangan  sosial-budaya. Secara langsung maupun tidak mempengaruhi ekspresi-ekspresi seni. Dalam keadaan seperti ini orang membutuhkan cara-cara pandang, ungkapan, dan perumpamaan baru untuk memahami keadaan guna mencari solusi bagi permasalahan yang mengemuka.

Ungkapan-ungkapan baru itu bisa saja idiom-idiom lama yang  ditempat dalam satu konteks  yang baru misalnya. Bisa juga sang seniman meminjam idiom-idiom serta ekspresi-ekspresi yang datang bersamaan dengan datangnya budaya-budaya baru. Dalam konteks perjalanan berkesenian Basquiat pada masa itu, budaya populer-lah yang paling dominan, yaitu budaya yang dalam peredaran dan perputarannya lebih memberi ruang yang luas bagi kaum muda. Bisa pula campuran dari elemen-elemen berbagai zaman dan dari bahasa/budaya berbeda. Yang jelas ungkapan-ungkapan baru itu tidak serta merta dapat diresapi dan bisa menyejukkan ’mata’. Kerap kali yang baru itu sering nampak menakutkan bagi banyak orang. Namun ekspresi-ekspresi baru tidak akan bisa dibendung, mereka menghambur di setiap waktu dan budaya sebagai indikator-indikator zaman.

Sebelum munculnya Basquiat, di tahun 1960-an telah tampil Pop-Art yang dipelopori Richard Hamilton, Roy Lichtenstein, Jasper Johns dan Andy Warhol yang merupakan hasil eksplorasi atas kombinasi media, modal dan benda-benda yang memanjakan pemakainya. Isme ini sedemikian kuat dan dahsyat mengendalikan selera publik atas karya seni. Pop-Art mengangkat kebanalan dari budaya konsumtif masyarakat kapitalis  sebagai pernyataan berkesenian mereka. Salah seorang pelopor seni ini di Amerika adalah Andy Warhol.

Tahun 1980-an, ditengah kepopuleran Andy Warhol muncul Basquiat seniman muda berbakat alami yang tidak begitu dikenal publik seni, pengamat, kolektor, apalagi kritikus seni pada masa itu. Basquiat adalah pemuda yang senang iseng mencorat-coret, membuat gambar/huruf grafiti di tembok-tembok toko, galeri-galeri mewah dengan penanda “Samo” = same old shit (tahi yang itu-itu juga) tapi tidak dikenal siapa pembuatnya. Ini adalah salah satu bentuk kejengkelan Basquiat terhadap pengelola galeri, kolektor dan media yang hanya menampilkan seniman-seniman yang sudah tenar pada masa itu, seperti misalnya Andy Warhol.

Perkenalan dan persahabatan dengan Andy Warhol menjadi simbol dari pertemuan dua kontras yang berbeda. Warhol yang berkulit putih dengan penampilan yang trendy dan necis dan Basquiat yang berkulit hitam dengan penampilan seronok dan fanky. Persahabatan inilah yang ’dijual’ kepada publik Amerika. Warhol sendiri bersedia menjadi mentor bagi Basquiat. Basquiat pun tumbuh menjadi populer menyamai mentornya.

Dalam masa produktifnya yang begitu singkat (1960-1988), Basquiat menunjukkan siapa dirinya. Dia seorang ’seniman’ yang barangkali tidak memiliki pretensi menjadi seniman. Ia berkarya atas keinginan berkreasi semata. Bukan berkarya untuk melayani keinginan pasar dan kolektor.
Persahabatan Warhol dengan Basquiat yang singkat  menjadi simbol bekerjanya pasar, modal, media, dan manajemen kreatif terhadap dua seniman yang penuh paradoks itu. Andy Warhol yang senang dengan mereproduksi tokoh yang dianggap menjadi ikon-ikon publik sebagai bentuk representasi atas alienasi personal dalam masyarakat modern yang kapitalistik. Sementara Basquiat mengubah figur-figur yang stilistik secara ekspresif. Figur manusia dalam karya Basquiat, bukanlah model realis ataupun surealis, tapi ekspresi esensial, dimana manusia hanyalah digambar dalam bentuk kerangka saja, atau tubuh yang flat tanpa nuansa (Dwikora, 2005).

Gaya grafiti dalam karya Basquiat muncul dalam bentuk tulisan ekspresif, puisi, pernyataan-pernyataan, protes, pamplet tanpa pretensi pasar. Hal ini sangat berlawanan terhadap bergairahnya pertumbuhan pasar modal, hedonisme dan kapitalisme Kota New York tahun 1980-an.

Mengamati karya seni lukis Basquiat, maka kita tak akan lepas dengan pergerakan Grafiti-Wall-painting, Abstrak-Ekspresionisme, dan Pop Art yang berkembang sekitar tahun 1960-an di Amerika. Dari beberapa karya yang ditampilkan pada pemutaran film tentang Basquiat, menunjukkan dengan jelas bahwa ia bekerja murni dari ekspresi jiwanya yang paling dalam, naif-kekanak-kanakan yang murni dari re-imajinasi atas memori mengenai obyek-obyek yang terungkap dalam lukisannya. Misalnya pada karyanya ”Fink Elephant with Fire Engine” (1984).

Apakah ungkapan visual Basquiat yang naif-ekspresif dan melawan pakem estetika artistik pada masa itu merupakan refresentasi pembrontakannya terhadap subordinasi kultural terhadap warga negara Amerika berkulit gelap seperti dirinya, ataukah pengaruh pikiran alam bawah-sadar yang merupakan akumulasi endapan amarah atas dominasi dan diskriminasi kaum elit ’kulit putih’ pada saat itu.

Dalam karya yang lain, ”Monalisa” (1983) menggambarkan sosok Monalisa dalam wajah yang buruk tanpa ekspresi, penuh dengan goresan-goresan liar dan tulisan-tulisan grafiti yang khas Basquiat. Pencitraan ini jauh dari Monalisa-nya Leonardo da Vinci yang anggun dengan senyum yang penuh misteri. Hal ini bisa merupakan bentuk ’pembrontakan’ Basquiat terhadap antusias dan perhatian yang berlebihan publik seni terhadap ’Monalisa’ karya da Vinci.

Bagian Ketiga:
Karya Basquiat, Menyodorkan Masalah Untuk Dikaji

Dalam prosesnya, saya melihat karya Basquiat merupakan fase lanjutan gejala lain dalam perkembangan seni lukis modern dunia yang berlangsung pada dekade tahun 1970-an dan 1980-an. Seni rupa yang tumbuh pada dekade ini menurut beberapa kritikus adalah dekade seni rupa pembrontakan (penentangan, penerobosan, perombakan).

Seperti lazimnya seni rupa pembrontakan, seni rupa dekade 1970-1980 itu tidak memiliki identitas stabil karena sifatnya yang reaktif, radikal dan tak tersusun secara sistematis. Karena itu baru pada dekade 1980 akhir, setelah munculnya perkembangan pasca-pembrontakan, dasar-dasar seni rupa pembrontakan itu menjadi jelas: menentang prinsip-prinsip modernisme.

Pada masa ini, seni rupa pasca-modern itu tidak lagi menentang modernisme, tapi meninggalkannya. Gejala munculnya pada tahun 1960-an, namun baru menjadi jelas pada dekade 1980-an setelah di tahun 1970-an dipengaruhi  pemikiran-pemikiran filsafat post-strukturalisme Eropah.

Saya melihat karya-karya Basquiat merupakan salah satu contoh kecendrungan seni rupa kontemporer yang diwarnai pula oleh perkembangan yang berlawanan, yaitu ‘modifikasi kecantikan lukisan’. Hal ini berkaitan dengan tumbuhnya bisnis dan pasar seni rupa. Arus ini meluaskan praktek seni lukis dan menyerap sejumlah besar perupa, khususnya pelukis. Kendati dasar perkembangannya seni rupa komersial, tidak bisa di sangkal terdapat pula perkembangan seni lukis yang berkualitas di antara seni lukis komoditi ini. Sifatnya yang komunikatif dan idiomnya yang populer, paling tidak menyodorkan masalah untuk dikaji.

Makassar, 29 Maret 2006


Pangeran Paita Yunus
Pengajar pada Jurusan Seni Rupa FBS Universitas Negeri Makassar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar