Rabu, 13 Juni 2012

Memaknai Karya Seni Rupa Makassar



MEMAKNAI KARYA SENI RUPA
(ULASAN BEBERAPA PENYELENGGARAAN
PAMERAN SENI RUPA DI MAKASSAR)

Pangeran Paita Yunus
FBS UNM Makassar


ABSTRAK
Seniman yang telah punya nama bisa lebih tenang menghadapi pergolakan seni dalam arus ini karena karya-karya telah dikenal dan diapresiasi dengan baik, lain halnya dengan seniman yang baru muncul dan mengharapkan penghargaan dan kedudukan yang layak di masyarakat sebagai seniman. Arus globalisasi seolah-olah memaksa mereka untuk mengikuti selera masyarakat masa kini. Tidaklah mengherankan kalau karya-karya kontemporer yang disaksikan kebanyakan mengikuti aliran atau isme yang menjad 'trend' pada saat ini. Bila diamati, beberapa lukisan yang tampil dalam beberapa penyelenggaraan pameran yang dilaksanakan di Makassar, memperlihatkan beberapa persamaan. Sebagian atau keseluruhan lukisan-lukisan itu memperlihatkan citra yang sangat realistik. Namun, kesamaan ini bukan dari gaya atau aliran. Kesamaan ini tidak lahir dari sebuah gerakan di mana para pelukis secara bersama-sama menyakini sebuah faham atau isme tertentu. Apabila diamati lebih cermat dibalik persamaan itu terlihat pula pemikiran, pandangan, ide, konsep berkarya yang berbeda-beda. Namun demikian, tidak bisa disangkal di sana-sini terdapat gejala saling mempengaruhi. Kesamaan pada karya-karya para pelukis itu tampak pada upaya pengungkapan ide lukisan dengan citra realistik.

Kata kunci: seniman, isme, realis


PENDAHULUAN
Globalisasi dunia saat ini telah mempengaruhi segala bidang kehidupan manusia berkat makin hari semakin cepat dan mudahnya manusia di seluruh pelosok dunia dalam berhubungan satu sama lainnya. Bukan hanya komunikasi yang menyangkut perdagangan umum dan penyebaran ilmu pengetahuan, tetapi penyebaran ide dan buah pikiran, konsep-konsep yang baru, juga berjalan dengan sangat cepat dan tidaklah mengherankan kalau masyarakat bisa menjadi bingung akibat derasnya informasi yang mereka terima. Daya pikir dan daya resap manusia kewalahan karena belum sempat meresapi-menghayati sesuatu secara matang, muncul lagi hal-hal yang baru yang meminta perhatiannya.
Seniman tidak luput dari arus globalisasi ini. Segala perkembangan yang terjadi dalam bidang kesenian dengan cepat sampai kepada mereka. Sentuhan dengan_ ide-ide yang baru memberi peluang untuk berinspirasi sambil merangsang untuk lebih banyak berkreasi. Arus globalisasi membawa akibat bahwa persaingan-persaingan di antara karya-karya seni (lukis) kini telah menjadi jauh lebih ketat dibanding masa sebelumnya. Bagi beberapa pelukis yang telah dikenal namanya tekanan ini kurang terasa dibandingkan dengan mereka yang baru mulai melangkah ke tengah masyarakat yang dikuasai oleh pasar yang komersialis dan konsumerisme.
Seniman yang telah punya nama bisa lebih tenang menghadapi pergolakan seni dalam arus ini karena karena karya-karya telah dikenal dan diapresiasi dengan baik,  lain halnya dengan seniman yang baru muncul dan mengharapkan penghargaan dan kedudukan yang layak di masyarakat sebagai seniman. Arus globalisasi seolah-olah memaksa mereka untuk mengikuti selera masyarakat masa kini. Tidaklah mengherankan kalau karya-karya kontemporer yang disaksikan kebanyakan mengikuti aliran atau isme yang menjadi 'trend’ pada saat ini.

KECENDRUNGAN REALISME DALAM SENI LUKIS INDONESIA
Bila diamati, beberapa lukisan yang tampil dalam beberapa penyelenggaraan pameran yang dilaksanakan di Makassar, mempertihatkan beberapa persamaan. sebagian atau keseluruhan lukisan-lukisan itu memperlihatkan gaya atau citra yang sangat realistik. Namun, kesamaan ini bukan dari aliran. Kesamaan ini tidak lahir dari sebuah gerakan di mana para pelukis secara bersama-sama menyakini sebuah faham atau isme tertentu. Apabila diamati lebih cermat, ditalik persamaan itu terlihat pula pemikiran, pandangan, ide, konsep berkarya yang berbeda-beda. Namun demikian, tidak bisa disangkal disana-sini terdapat gejala saling mempengaruhi. Kesamaan pada karya-karya para pelukis itu tampak pada upaya pengungkapan ide lukisan dengan citra realistik.
Aliran Realis dalam wacana seni lukis Indonesia muncul sekitar tahun 1940- an sebagai reaksi lerhadap "naturalism” yang berkembang sebelumnya. Realisme adalah aliran/gaya yang memandang dunia ini tanpa ilusi, apa adanya tanpa menambah atau mengurangi objek (Susanto , 2002). Bagi penganut faham realisme pada itu, naturalisme (terutama tercermin pada lukisan ‘Pemandangan alam') berakar pada faham keindahan yang dipengaruhi konvensi sosial dan didominasi cita rasa kelompok elite (masyarakat kolonial dan kaum bangsawan).
Sebagai reaksi, kaum realis dengan tokoh pelukis Soedjojono, menyatakan keindahan tidak cukup cuma tampil melalui obyek lukisan seperti pemandangan alam, potret, dunia benda dan wanita cantik. Keindahan, menurut soedjojono, bisa juga tampil pada lukisan yang menggambarkan kehidupan rakyat dan pekerja kasar yang sernentara mengangkat barang. menurut soedjojono, sumber keindahan dalam karya seni lukis tidak berpangkat pada obyek yang lukis tapi bersumber pada ‘kejujuran’ senimannya. Dalam melukis, kejujuran itu identik dengan interpretasi emosional seniman ketika berhadapan dengan obyek yang dilukis.
Dengan -demikian, jikalau kita cermati, Realisme Soedjojono tidak disangkal memiliki kemiripan dengan manifesto kaum Realis Eropa yang diproklamirkan oleh pelukis Perancis Gustave Courbet pada tahun 1855, dengan slogannya yang terkenal "tunjukan malaikat padaku dan aku akan melukisnya” yang mengandung arti bahwa baginya lukisan itu adalah seni yang kongkret, menggambarkan segala sesuatu yang ada dan nyata. Manifesto Courbet itu mengandung tiga pokok pikiran: l) menolak keindahan ideal yang konvensibnal, 2) percaya pada filsafat yang positivistis (keburukanf/keseharian juga memiliki keindahan), dan 3) percaya pada pembebasan individu (percaya pada tafsiran individual seniman).
Namun dalam perkembangannya, menurut Jim Supangkat, realisme Soedjojono melahirkan wacana yang berbeda dengan realisme dalam wacana seni rupa Eropa. Realisme Soedjojono terlihat melahirkan dua bentuk perkembangan. Pertama, perkembangan yang memperlihatkan perubahan-perubahan tema dan obyek lukisan (misalnya dari pemandangan alam ke gambaran yang bertema kerakyatan). Perkembangan ini tetap mempertahankan teknik melukis cermat yang realistik (mirip), bahkan sama dengan teknik melukis kaum naturalisme (lihat lukisan-lukisan Dullah, Trubus, Barli). Kedua, perkembangan yang menekankan 'kejujuran' (individualitas seniman). Pada perkembangan ini terlihat kecendrungan seniman ke arah seni lukis yang emosional (lihat lukisan Affandi, atau Hendra Gunawan).
Tumbuhnya kedua corak perkembangan itu mengakibatkan tcrjadinya pcrgeseran pengertian realisme, Kecendrungan yang emosional pada realisme ini berkembang sangat lanjut ke arah pengungkapan gejolak emosi dan melahirkan lukisan-lukisan yang bergaya ekspresif. Kecendrungan ini semakin lama semakin personal dan menjauhi gambaran kenyataan dan citra realistik (lihat lukisan Affandi yang seringkali nyaris abstrak). Dalam wacana perkembangan seni rupa Indonesia kecendrungan ini kemudian dikenal sebagai seni lukis ekspresif dan tidak lagi dianggap sebagai seni lukis realis.
Pergeseran pengertian itu memperlihatkan proses terbentuknya persepsi tentang realisme dalam perkembangan seni rupa Indonesia. Maka 'realisme' dalam wacana perkembangan seni rupa Indonesia adalah seni lukis yang mengangkat realitas dan menampilkannya secara realistik.
Dalam perkembangan seni rupa, melukis secara realistik memang berawal pada upaya mengkopi realitas. Dalam teori Mimesis (faharn Yunani kuno yang mendasari pembuatan karya seni secara realistik) upaya pengkopian kenyataan berakar pada pencarian kebenaran di balik "gambaran realitas". Faham ini melahirkan tradisi melukis yang senantiasa menampilkan citra realistik sebagai 'pengganti' kenyataan.
Namun pada awal abad ke-19, dengan munculnya seni rupa modern, pencarian kebenaran melalui gambaran realistis berpindah ke tradisi pencarian kebenaran melalui realitas sebagai fenomena. Karena itu, ekspresi rupa tidak lagi terikat pada citra realistik. Penafsiran pandangan tentang realitas sebagai fenomena melahirkan sejumlah aliran, di antaranya Realisme, Realisme Sosial, Surrealisme, Pop Art, Super Realisme, dan sebagainya. Sementara itu tumbuh pula realisme yang menekankan pada pengkajian pada 'realitas visual'. Dari sini lahir aliran-aliran yang mempersoalkan bentuk dan kualitas rupa seperti futurisme, kubisme, konstruktivisme, abstrak ekspresionisme, minimalis, dan sebagainya.

CATATAN DARI BEBERAPA PAMERAN SENI RUPA DI MAKASSAR
Jika diamati, karya-karya pada pameran seni rupa yang diselenggarakan di Makassar menunjukkan kecendrungan, baik idiom, medium dan teknik, maupun tema yang beragam. Namun demikian, secara umum kita tetap bisa menemukan 'pertemuan' berbagai idiom dan kode-kode artistik tersebut. Beberapa karya menunjukkan persinggungan teknis, beberapa di antaranya juga lebih menunjukkan persamaan-persamaan idiom pengungkapan. Dan lebih banyak lagi, diantara karya-karya itu kita temukan persinggungan titik perhatian para seniman dalam tema-tema persoalan kekinian. Saya melihat ada tiga pokok persoalan yang menunjukkan ranah-ranah persinggungan itu, yakni: l) cara penggambaran yang bersifat realistik; 2) kecendrungan pada abstraksi bentuk serta 3) kecendrungan penggunaan simbol dan dekorasi.
Beberapa perupa yang tampil pada beberapa pameran seni rupa di Makassar seperti Mike Turusy, Rusdi, Amir ‘Rimba' Hafid, Marledy, Agustan dan beberapa perupa lainnya, pada prinsipnya menunjukkan kecenderungan menampilkan rupa realistik yang fotografis dengan garapan yang cukup cermat. Seperti karya Mike Turusy ‘Di balik topeng’ (2003), Agustan 'Si Nenek Tua' (2007), atau karya Rimba "si kakek dan sebatang rokok" (2003) digarap dengan gaya realis, bahkan beberapa perupa berusaha untuk menangkap setiap figur atau pun obyek di sekitarnya dan dilukiskan di atas kanvas dengan sangat seksama dan detail penuh kehati-hatian. Dari pameran ini, dapat dikatakan bahwa beberapa perupa yang tampil telah mampu menangkap ‘jiwa' aliran realis-fotografis yang sesungguhnya dan beberapa perupa lainnya nampak masih sangat terburu-buru dalam menggarap obyek lukisannya dan 'memaksakan' diri tampil dengan teknik realis, namun karena bekal kemampuan teknisnya masih sangat kurang sehingga karya yang ditampilkan terkesan ’tidak selesai’.
Thamrin Mappalaherre dengan gaya realis-ekspresif tampil spontan dengan goresan yang sangat dikuasainya. Benny Subiantoro tampil dengan obyek lukis goresan garis tebal dengan karakter berbeda. Teknik dan goresan yang spontan dan berkarakter tampak pada karya tersebut. Hal yang sama juga tampak pada karya-karya Firman Djamil, di mana kecenderungan karya ini untuk mengekspose dan mendekonstruksi cara melukis maupun gaya yang ditampilkan. Melepaskan diri dari kenyataan dan lebih menggandalkan memori, emosi, dan imajinasi, namun tetap terarah.
Apa  yang diketengahkan oleh para perupa ini, pada dasarnya menawarkan gejala perupaan sebagai sebuah wacana kajian dan diskusi. Sebuah diskusi yang kontekstual, diharapkan dapat menghasilkan 'discourse' artinya pemahaman tersebut jangan terlalu diharapkan untuk dapat membuat sebuah parameter ataupun defenisi. Dengan demikian, mesti dipahami bahwa kegiatan tersebut merupakan tawaran yang menjadi penting dalam kaitan bagaimana kita mesti memposisikan diri di dalam forum-forum kesenian nasional, karena inilah saatnya memanfaatkan situasi dalam upaya menangkap peluang yang ada.

KESIMPULAN
Dalam konteks ke dalam bagi seni rupa Sulawesi Selatan adalah peluang untuk bangkit dan menumbuhkan kesadaran bahwa sangat diperlukan diskusi-diskusi yang intensif untuk mendapatkan serta merumuskan wacana yang dapat digunakan untuk memetakan seni rupa Sulawesi Selatan (Makassar) secara lebih utuh. Artinya membaca gejala-gejala dan menangkap peluang-peluangnya, merupakan usaha-usaha yang perlu dilakukan, tanpa harus berprasangka bahwa ini sebuah rekayasa. Usaha untuk menyelenggarakan beberapa pameran seni rupa pada beberapa tahun terakhir, sangat pantas untuk dicatat dalam wacana perkembangan seni rupa Makassar.
Akhirnya apa yang tersaji pada beberapa penyelenggaraan pameran di kota Makassar, baik yang diselenggarakan di dalam kampus Seni Rupa Fakultas Seni dan Desain Universitas Negeri Makassar, atau pun di luar kampus sebaiknya dipahami sebagai sebuah 'proses' dari sekian banyak proses yang akan dan mesti dilewati oleh setiap insan manusia, khususnya bagi seorang seniman dalarn pengembaraan mencari jati dirinya.


DAFTAR PUSTAKA

Dermawan, Agus T., 2000, Seni Lukis Indonesia, tahun 1938 s/d 2000. Jakarta. Pemerintah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Dinas Museum dan Pemugaran

Hasan, Asikin. 200l, Dua seni Rupa, serpihan Tulisan Sanento Yuliman. Jakarta. Yayasan Kalam.

Panitia KIAS, 1990-1991, Perjalanan Seni Rupa Indonesia. Jakarta. Panitia Pameran KIAS.

Salam, Sofyan, 2003, Katalog Pameran 45 Perupa Sulawesi Selatan. Makassar. Bentara Budaya Jakarta

Susanto, Mikke., 2002. Diksi Rupa, Kumpulan lstilah Seni Rupa. Yogyakarta. Penerbit Kanisius.




















1 komentar:

  1. Sukses selalu yach dek, boleh dong sekali-kali saya undang ke sekolahku untuk mengajak atau memotivasi anak didik saya , terutama dalam hal seni rupa.

    BalasHapus