MEMAKNAI
KARYA SENI RUPA
(ULASAN
BEBERAPA PENYELENGGARAAN
PAMERAN
SENI RUPA DI MAKASSAR)
Pangeran Paita Yunus
FBS
UNM Makassar
ABSTRAK
Seniman yang telah punya nama bisa
lebih tenang menghadapi pergolakan seni dalam arus ini karena karya-karya telah
dikenal dan diapresiasi dengan baik, lain halnya dengan seniman yang baru
muncul dan mengharapkan penghargaan dan kedudukan yang layak di masyarakat
sebagai seniman. Arus globalisasi seolah-olah memaksa mereka untuk mengikuti
selera masyarakat masa kini. Tidaklah mengherankan kalau karya-karya kontemporer
yang disaksikan kebanyakan mengikuti aliran atau isme yang menjad 'trend' pada saat
ini. Bila diamati, beberapa lukisan yang tampil dalam beberapa penyelenggaraan pameran
yang dilaksanakan di Makassar, memperlihatkan beberapa persamaan. Sebagian atau
keseluruhan lukisan-lukisan itu memperlihatkan citra yang sangat realistik.
Namun, kesamaan ini bukan dari gaya atau aliran. Kesamaan ini tidak lahir dari sebuah
gerakan di mana para pelukis secara bersama-sama menyakini sebuah faham atau
isme tertentu. Apabila diamati lebih cermat dibalik persamaan itu terlihat pula
pemikiran, pandangan, ide, konsep berkarya yang berbeda-beda. Namun demikian,
tidak bisa disangkal di sana-sini terdapat gejala saling mempengaruhi. Kesamaan
pada karya-karya para pelukis itu tampak pada upaya pengungkapan ide lukisan
dengan citra realistik.
Kata kunci:
seniman, isme, realis
PENDAHULUAN
Globalisasi dunia saat ini telah
mempengaruhi segala bidang kehidupan manusia berkat makin hari semakin cepat dan
mudahnya manusia di seluruh pelosok dunia dalam berhubungan satu sama lainnya. Bukan
hanya komunikasi yang menyangkut perdagangan umum dan penyebaran ilmu pengetahuan,
tetapi penyebaran ide dan buah pikiran, konsep-konsep yang baru, juga berjalan
dengan sangat cepat dan tidaklah mengherankan kalau masyarakat bisa menjadi
bingung akibat derasnya informasi yang mereka terima. Daya pikir dan daya resap
manusia kewalahan karena belum sempat meresapi-menghayati sesuatu secara matang,
muncul lagi hal-hal yang baru yang meminta perhatiannya.
Seniman tidak luput dari arus
globalisasi ini. Segala perkembangan yang terjadi dalam bidang kesenian dengan
cepat sampai kepada mereka. Sentuhan dengan_ ide-ide yang baru memberi peluang
untuk berinspirasi sambil merangsang untuk lebih banyak berkreasi. Arus
globalisasi membawa akibat bahwa persaingan-persaingan di antara karya-karya
seni (lukis) kini telah menjadi jauh lebih ketat dibanding masa sebelumnya.
Bagi beberapa pelukis yang telah dikenal namanya tekanan ini kurang terasa
dibandingkan dengan mereka yang baru mulai melangkah ke tengah masyarakat yang
dikuasai oleh pasar yang komersialis dan konsumerisme.
Seniman yang telah punya nama bisa
lebih tenang menghadapi pergolakan seni dalam arus ini karena karena
karya-karya telah dikenal dan diapresiasi dengan baik, lain halnya dengan seniman yang baru muncul
dan mengharapkan penghargaan dan kedudukan yang layak di masyarakat sebagai
seniman. Arus globalisasi seolah-olah memaksa mereka untuk mengikuti selera
masyarakat masa kini. Tidaklah mengherankan kalau karya-karya kontemporer yang disaksikan
kebanyakan mengikuti aliran atau isme yang menjadi 'trend’ pada saat ini.
KECENDRUNGAN REALISME DALAM SENI LUKIS
INDONESIA
Bila diamati, beberapa lukisan yang
tampil dalam beberapa penyelenggaraan pameran yang dilaksanakan di Makassar,
mempertihatkan beberapa persamaan. sebagian atau keseluruhan lukisan-lukisan itu
memperlihatkan gaya atau citra yang sangat realistik. Namun, kesamaan ini bukan
dari aliran. Kesamaan ini tidak lahir dari sebuah gerakan di mana para pelukis
secara bersama-sama menyakini sebuah faham atau isme tertentu. Apabila diamati
lebih cermat, ditalik persamaan itu terlihat pula pemikiran, pandangan, ide, konsep
berkarya yang berbeda-beda. Namun demikian, tidak bisa disangkal disana-sini
terdapat gejala saling mempengaruhi. Kesamaan pada karya-karya para pelukis itu
tampak pada upaya pengungkapan ide lukisan dengan citra realistik.
Aliran Realis dalam wacana seni lukis
Indonesia muncul sekitar tahun 1940- an sebagai reaksi lerhadap
"naturalism” yang berkembang sebelumnya. Realisme adalah aliran/gaya yang
memandang dunia ini tanpa ilusi, apa adanya tanpa menambah atau mengurangi
objek (Susanto , 2002). Bagi penganut faham realisme pada itu, naturalisme (terutama
tercermin pada lukisan ‘Pemandangan alam') berakar pada faham keindahan yang
dipengaruhi konvensi sosial dan didominasi cita rasa kelompok elite (masyarakat
kolonial dan kaum bangsawan).
Sebagai reaksi, kaum realis dengan
tokoh pelukis Soedjojono, menyatakan keindahan tidak cukup cuma tampil melalui
obyek lukisan seperti pemandangan alam, potret, dunia benda dan wanita cantik.
Keindahan, menurut soedjojono, bisa juga tampil pada lukisan yang menggambarkan
kehidupan rakyat dan pekerja kasar yang sernentara mengangkat barang. menurut
soedjojono, sumber keindahan dalam karya seni lukis tidak berpangkat pada obyek
yang lukis tapi bersumber pada ‘kejujuran’ senimannya. Dalam melukis, kejujuran
itu identik dengan interpretasi emosional seniman ketika berhadapan dengan
obyek yang dilukis.
Dengan -demikian, jikalau kita cermati,
Realisme Soedjojono tidak disangkal memiliki kemiripan dengan manifesto kaum
Realis Eropa yang diproklamirkan oleh pelukis Perancis Gustave Courbet pada
tahun 1855, dengan slogannya yang terkenal "tunjukan malaikat padaku dan
aku akan melukisnya” yang mengandung arti bahwa baginya lukisan itu adalah seni
yang kongkret, menggambarkan segala sesuatu yang ada dan nyata. Manifesto
Courbet itu mengandung tiga pokok pikiran: l) menolak keindahan ideal yang
konvensibnal, 2) percaya pada filsafat yang positivistis (keburukanf/keseharian
juga memiliki keindahan), dan 3) percaya pada pembebasan individu (percaya pada
tafsiran individual seniman).
Namun dalam perkembangannya, menurut
Jim Supangkat, realisme Soedjojono melahirkan wacana yang berbeda dengan realisme
dalam wacana seni rupa Eropa. Realisme Soedjojono terlihat melahirkan dua bentuk
perkembangan. Pertama, perkembangan yang memperlihatkan perubahan-perubahan
tema dan obyek lukisan (misalnya dari pemandangan alam ke gambaran yang bertema
kerakyatan). Perkembangan ini tetap mempertahankan teknik melukis cermat yang
realistik (mirip), bahkan sama dengan teknik melukis kaum naturalisme (lihat
lukisan-lukisan Dullah, Trubus, Barli). Kedua, perkembangan yang menekankan
'kejujuran' (individualitas seniman). Pada perkembangan ini terlihat
kecendrungan seniman ke arah seni lukis yang emosional (lihat lukisan Affandi,
atau Hendra Gunawan).
Tumbuhnya kedua corak perkembangan itu
mengakibatkan tcrjadinya pcrgeseran pengertian realisme, Kecendrungan yang emosional
pada realisme ini berkembang sangat lanjut ke arah pengungkapan gejolak emosi
dan melahirkan lukisan-lukisan yang bergaya ekspresif. Kecendrungan ini semakin
lama semakin personal dan menjauhi gambaran kenyataan dan citra realistik
(lihat lukisan Affandi yang seringkali nyaris abstrak). Dalam wacana perkembangan
seni rupa Indonesia kecendrungan ini kemudian dikenal sebagai seni lukis
ekspresif dan tidak lagi dianggap sebagai seni lukis realis.
Pergeseran pengertian itu
memperlihatkan proses terbentuknya persepsi tentang realisme dalam perkembangan
seni rupa Indonesia. Maka 'realisme' dalam wacana perkembangan seni rupa
Indonesia adalah seni lukis yang mengangkat realitas dan menampilkannya secara
realistik.
Dalam perkembangan seni rupa, melukis
secara realistik memang berawal pada upaya mengkopi realitas. Dalam teori
Mimesis (faharn Yunani kuno yang mendasari pembuatan karya seni secara
realistik) upaya pengkopian kenyataan berakar pada pencarian kebenaran di balik
"gambaran realitas". Faham ini melahirkan tradisi melukis yang
senantiasa menampilkan citra realistik sebagai 'pengganti' kenyataan.
Namun pada awal abad ke-19, dengan
munculnya seni rupa modern, pencarian kebenaran melalui gambaran realistis
berpindah ke tradisi pencarian kebenaran melalui realitas sebagai fenomena.
Karena itu, ekspresi rupa tidak lagi terikat pada citra realistik. Penafsiran
pandangan tentang realitas sebagai fenomena melahirkan sejumlah aliran, di antaranya
Realisme, Realisme Sosial, Surrealisme, Pop Art, Super Realisme, dan sebagainya.
Sementara itu tumbuh pula realisme yang menekankan pada pengkajian pada
'realitas visual'. Dari sini lahir aliran-aliran yang mempersoalkan bentuk dan
kualitas rupa seperti futurisme, kubisme, konstruktivisme, abstrak
ekspresionisme, minimalis, dan sebagainya.
CATATAN DARI BEBERAPA PAMERAN SENI RUPA
DI MAKASSAR
Jika diamati, karya-karya pada pameran
seni rupa yang diselenggarakan di Makassar menunjukkan kecendrungan, baik
idiom, medium dan teknik, maupun tema yang beragam. Namun demikian, secara umum
kita tetap bisa menemukan 'pertemuan' berbagai idiom dan kode-kode artistik
tersebut. Beberapa karya menunjukkan persinggungan teknis, beberapa di antaranya
juga lebih menunjukkan persamaan-persamaan idiom pengungkapan. Dan lebih banyak
lagi, diantara karya-karya itu kita temukan persinggungan titik perhatian para
seniman dalam tema-tema persoalan kekinian. Saya melihat ada tiga pokok
persoalan yang menunjukkan ranah-ranah persinggungan itu, yakni: l) cara
penggambaran yang bersifat realistik; 2) kecendrungan pada abstraksi bentuk
serta 3) kecendrungan penggunaan simbol dan dekorasi.
Beberapa perupa yang tampil pada
beberapa pameran seni rupa di Makassar seperti Mike Turusy, Rusdi, Amir ‘Rimba'
Hafid, Marledy, Agustan dan beberapa perupa lainnya, pada prinsipnya
menunjukkan kecenderungan menampilkan rupa realistik yang fotografis dengan
garapan yang cukup cermat. Seperti karya Mike Turusy ‘Di balik topeng’ (2003), Agustan
'Si Nenek Tua' (2007), atau karya Rimba "si kakek dan sebatang rokok"
(2003) digarap dengan gaya realis, bahkan beberapa perupa berusaha untuk
menangkap setiap figur atau pun obyek di sekitarnya dan dilukiskan di atas
kanvas dengan sangat seksama dan detail penuh kehati-hatian. Dari pameran ini,
dapat dikatakan bahwa beberapa perupa yang tampil telah mampu menangkap ‘jiwa'
aliran realis-fotografis yang sesungguhnya dan beberapa perupa lainnya nampak
masih sangat terburu-buru dalam menggarap obyek lukisannya dan 'memaksakan'
diri tampil dengan teknik realis, namun karena bekal kemampuan teknisnya masih sangat
kurang sehingga karya yang ditampilkan terkesan ’tidak selesai’.
Thamrin Mappalaherre dengan gaya realis-ekspresif
tampil spontan dengan goresan yang sangat dikuasainya. Benny Subiantoro tampil dengan
obyek lukis goresan garis tebal dengan karakter berbeda. Teknik dan goresan
yang spontan dan berkarakter tampak pada karya tersebut. Hal yang sama juga
tampak pada karya-karya Firman Djamil, di mana kecenderungan karya ini untuk
mengekspose dan mendekonstruksi cara melukis maupun gaya yang ditampilkan. Melepaskan
diri dari kenyataan dan lebih menggandalkan memori, emosi, dan imajinasi, namun
tetap terarah.
Apa
yang diketengahkan oleh para perupa ini, pada dasarnya menawarkan gejala
perupaan sebagai sebuah wacana kajian dan diskusi. Sebuah diskusi yang
kontekstual, diharapkan dapat menghasilkan 'discourse' artinya pemahaman tersebut
jangan terlalu diharapkan untuk dapat membuat sebuah parameter ataupun
defenisi. Dengan demikian, mesti dipahami bahwa kegiatan tersebut merupakan
tawaran yang menjadi penting dalam kaitan bagaimana kita mesti memposisikan
diri di dalam forum-forum kesenian nasional, karena inilah saatnya memanfaatkan
situasi dalam upaya menangkap peluang yang ada.
KESIMPULAN
Dalam konteks ke dalam bagi seni rupa
Sulawesi Selatan adalah peluang untuk bangkit dan menumbuhkan kesadaran bahwa
sangat diperlukan diskusi-diskusi yang intensif untuk mendapatkan serta merumuskan
wacana yang dapat digunakan untuk memetakan seni rupa Sulawesi Selatan (Makassar)
secara lebih utuh. Artinya membaca gejala-gejala dan menangkap
peluang-peluangnya, merupakan usaha-usaha yang perlu dilakukan, tanpa harus
berprasangka bahwa ini sebuah rekayasa. Usaha untuk menyelenggarakan beberapa
pameran seni rupa pada beberapa tahun terakhir, sangat pantas untuk dicatat
dalam wacana perkembangan seni rupa Makassar.
Akhirnya apa yang tersaji pada beberapa
penyelenggaraan pameran di kota Makassar, baik yang diselenggarakan di dalam
kampus Seni Rupa Fakultas Seni dan Desain Universitas Negeri Makassar, atau pun
di luar kampus sebaiknya dipahami sebagai sebuah 'proses' dari sekian banyak proses
yang akan dan mesti dilewati oleh setiap insan manusia, khususnya bagi seorang
seniman dalarn pengembaraan mencari jati dirinya.
DAFTAR PUSTAKA
Dermawan, Agus T., 2000, Seni
Lukis Indonesia, tahun 1938 s/d 2000. Jakarta. Pemerintah Propinsi Daerah
Khusus Ibukota Jakarta. Dinas Museum dan Pemugaran
Hasan, Asikin. 200l, Dua
seni Rupa, serpihan Tulisan Sanento Yuliman. Jakarta. Yayasan Kalam.
Panitia KIAS, 1990-1991, Perjalanan
Seni Rupa Indonesia. Jakarta. Panitia Pameran KIAS.
Salam, Sofyan, 2003, Katalog
Pameran 45 Perupa Sulawesi Selatan. Makassar. Bentara Budaya Jakarta
Susanto, Mikke., 2002. Diksi
Rupa, Kumpulan lstilah Seni Rupa. Yogyakarta. Penerbit Kanisius.
Sukses selalu yach dek, boleh dong sekali-kali saya undang ke sekolahku untuk mengajak atau memotivasi anak didik saya , terutama dalam hal seni rupa.
BalasHapus