Minggu, 17 Juni 2012

KEBIJAKAN PENERAPAN CIRI KHAS ARSITEKTUR SULAWESI SELATAN PADA KANTOR PEMERINTAH DAN BANGUNAN PUBLIK Applying Policy of South Sulawesi Architecture in Governmental Office and Public Building



KEBIJAKAN PENERAPAN CIRI KHAS ARSITEKTUR SULAWESI SELATAN PADA KANTOR
PEMERINTAH DAN BANGUNAN PUBLIK
Applying Policy of South Sulawesi Architecture in
Governmental Office and Public Building

Pangeran Paita Yunus
Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa
Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
R. M. Soedarsono
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta


ABSTRAK

In the effort conservation of local culture, required existence of policy of local government to make by law ( Peraturan daerah) can be made hold to all architect and also owner of building, when making planning for development in public spaces that do not forget gives forerunner typical of traditional architecture style of South Sulawesi in building office or public building.
The Government South Sulawesi effort blazes the way development of new building or buildings of which remain to places forward architecture characteristic BugisMakassar, like the one starts examplizeed in 1978 by building DPRD South Sulawesi office and governor South Sulawesi office is striving that need to be response positive. But this effort doesn't take place stripper. The architects which in a few time before all still seems to apply model Timpalaja ( timpanon) as uppermost characteristic of traditional house roof of Bugis-Makassar at buildings, also seen has started disappears from presence of new building or buildings exactly becomes new icon for Makassar city.

Keyword: traditional architecture, governmental policy


Dalam upaya pelestarian budaya daerah, diperlukan adanya kebijakan pemerintah daerah untuk membuatkan Peraturan Daerah (Perda) yang dapat dijadikan pegangan bagi para arsitek maupun pemilik bangunan, ketika membuat rancangan untuk pembangunan di ruang-ruang publik agar tak melupakan memberikan pertanda khas Kota Makassar atau ‘memunculkan’ gaya arsitektur tradisional Sulawesi Selatan dalam membangun kantor atau bangunan publik.  
Upaya Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan merintis pembangunan gedung atau bangunan-bangunan baru yang tetap mengedepankan ciri arsitektur Bugis- Makassar, seperti yang mulai dicontohkan tahun 1978 dengan membangun Kantor DPRD Sulawesi Selatan dan Kantor Gubernur Sulawesi Selatan merupakan upaya yang perlu direspon positif. Namun upaya ini tidak berlangsung lama. Para arsitek yang dalam beberapa waktu sebelumnya masih tampak menerapkan model Timpalaja (timpanon) sebagai ciri menonjol atap rumah tradisional Bugis-Makassar pada bangunan-bangunan, juga terlihat sudah mulai menghilang dari kehadiran gedung atau bangunan-bangunan baru yang justru menjadi ikon baru bagi Kota Makassar.
Kata kunci: arsitektur tradisional, kebijakan pemerintah


A. Pengantar
Salah satu produk manusia yang terkait dengan unsur-unsur kebudayaan adalah kesenian. Kesenian dalam hal ini adalah seni tradisi merupakan sebagian hasil tindakan berpola manusia (seniman) yang dalam sejarah perkembangan kebudayaan telah memberikan sumbangan besar dalam memperkaya serta memberikan identitas kebudayaan nasional kita. Kesenian tersebut merupakan bentuk kebudayaan yang hingga sekarang masih mencerminkan seni yang adiluhung, sehingga keberadaannya harus dilestarikan. Namun demikian, kedudukan seni tradisi tersebut akhir-akhir ini telah menghadapi masalah yang dilematis, meskipun tidak secara keseluruhan menganggap demikian. Pada satu pihak merisaukan bahwa kedudukan seni tradisi kita tengah terancam nilai-nilai keasliannya. Di sisi lain, seni tradisi tersebut dinilai justru semakin kokoh keberadaannya, kendatipun di tengah-tengah proses modernisasi yang begitu pesat.
Beberapa pandangan melihat kedudukan dan kelangsungan seni tradisi menjadi perdebatan yang menimbulkan kontroversi. Perdebatan tersebut selalu berkisar pada seni tradisi yang dilihat sebatas sebagai aspek budaya, dan pada sisi lain seni tradisi harus diadaptasikan dengan aspek lain seperti aspek yang bernilai ekonomi. Pandangan pertama cenderung menilai seni tradisi sebagai aset budaya bangsa yang mesti dijaga keasliannya, sedangkan upaya pelestarian yang kedua justru melihat seni tradisi memiliki nilai ganda, yakni nilai budaya serta nilai ekonomis yang melandasi tindakan dalam berkesenian. Berdasarkan hal tersebut, yang harus dipikirkan adalah bagaimana upaya yang dilakukan agar seni tradisi tersebut tetap lestari, akan tetapi juga harus mendasarkan pada sikap terbuka terhadap kemungkinan penyesuaian unsur-unsur seni tradisi yang ada, sehingga relevan dan diterima menurut situasi zamannya, termasuk eksistensi karya seni arsitektur tradisional Nusantara.
Arsitektur tradisional sebagai salah satu modal kebudayaan tumbuh dan berkembang bersamaan dengan pertumbuhan suatu bangsa. Oleh karena itu, kehadiran sebuah arsitektur tradisional merupakan salah satu identitas dari komunitas pendukung kebudayaan. Dalam arsitektur tradisional sebagai sebuah karya cipta manusia, terkandung secara terpadu tiga wujud kebudayaan, yakni: 1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya; 2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat; 3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.[1]
Dalam kenyataan kehidupan masyarakat ketiga wujud dari kebudayaan tersebut di atas, tentu tidak terpisah satu dengan lain. Kebudayaan ide dan adat istiadat mengatur dan memberi arah kepada perbuatan dan karya manusia. Pikiran-pikiran dan ide-ide maupun perbuatan dan karya manusia, menghasilkan benda-benda kebudayaan fisiknya. Sebaliknya, menurut Koentjaraningrat, kebudayaan fisik itu membentuk suatu lingkungan hidup tertentu yang makin lama makin menjauhkan manusia dari lingkungan alamiahnya, sehingga mempengaruhi pula pola-pola perbuatannya, bahkan juga mempengaruhi cara berpikirnya.[2] Jikalau wujud-wujud kebudayaan itu dihayati dan diamalkan, maka lahirlah rasa bangga dan rasa cinta terhadap karya itu. Salah satu wujud yang dimaksud adalah terdapatnya berbagai macam simbol pada arsitektur tradisional di Sulawesi Selatan.
          Arsitektur tradisional merupakan karya yang tumbuh dan berkembang di bawah pengaruh tradisi, aktivitas sosial budaya, dan perilaku masyarakat. Oleh sebab itu, sebuah karya arsitektur seperti arsitektur tradisional Sulawesi Selatan semestinya juga sebagai cerminan budaya yang mempunyai makna dan fungsi sebagaimana mestinya.[3]
          Arsitektur tradisional dengan berbagai macam simbol yang melekat pada bangunan, adalah salah satu bentuk warisan budaya yang tidak ternilai. Namun demikian, sejauhmana kebudayaan daerah dapat dikenal dan dicintai  masyarakat pendukungnya, adalah hal yang membutuhkan analisis untuk menunjukkan identitas bangsa yang berkepribadian. Budaya daerah yang bersifat nasional perlu diidentifikasi demi pelestariannya, demikian halnya dengan arsitektur tradisional Sulawesi Selatan sebagai salah satu aset lokal yang perlu dipertahankan eksistensinya, bahkan dilestarikan sebagai salah satu kearifan lokal masyarakat pendukungnya dan warisan yang dapat memperkaya seni budaya di tanah air.
Ketika interaksi sosial budaya suatu masyarakat semakin luas maka kian beragam dan kompleks jaringan yang dilakoninya. Semakin tinggi intensitas interaksi sosial budaya yang dikembangkan oleh suatu komunitas lokal dalam pergaulannya dengan komunitas diluarnya, maka semakin besar pula peluang masyarakat tersebut untuk mengembangkan kebudayaannya. Sebaliknya semakin terisolir suatu komunitas dari lingkungan sosial budayanya, atau  semakin mereka menutup diri dari pergaulan dengan luar komunitasnya, maka semakin kuat pula hambatan yang dihadapi dalam mengembangkan budayanya. Pada masa sekarang, ketika interaksi sosial budaya masyarakat semakin luas dan terbuka, mengarahkan pendukung kebudayaan menuju suatu keadaan imajiner, dimana masyarakat semakin mengabaikan batas geografis, etnografis, negara bahkan bangsa.
Ralp Linpton[4] menyatakan bahwa di dunia ini tidak ada lagi masyarakat yang berhak menyatakan bahwa kebudayaannya masih asli. Selebihnya merupakan hasil tukar menukar dan pinjam meminjam unsur kebudayaan yang diserap secara murni ataupun dimodifikasikan. Demikian pula sebagian besar pengembangan unsur kebudayaan setempat biasanya merupakan pengembangan yang diilhami oleh pengaruh kontak budaya dengan pihak luar. Dalam proses kontak budaya itu, Monica Hunter Wilson mengemukakan bahwa perubahan akibat adanya kontak kebudayaan dalam suatu masyarakat tradisional ke masyarakat masa kini tidak perlu menyebabkan hilangnya keseimbangan sehingga timbul konflik-konflik yang merusak, asalkan perubahan itu berlangsung dengan lambat dan terarah.[5]
Di Indonesia, perkembangan semangat demokrasi dan reformasi menjadi fenomena  umum yang turut mendorong terjadinya pola interaksi sosial budaya baru. Masyarakat semakin terbuka, perkembangan tersebut telah mendorong pengaruh yang memberi dampak positif sekaligus negatif. Perkembangan positif yang telah terjadi adalah berkembangnya keterbukaan, transparansi, penegakan hukum dan hak azasi, memberi warna dan nuansa baru dalam tatanan pergaulan dan kehidupan kemasyarakatan, baik di tingkat lokal, regional maupun global. Sebaliknya, dampak negatif, karena meningkatnya transportasi dan informasi yang mengantarkan “budaya” baru. Bila tidak ada filterisasi dan proteksi secara dini, keterbukaan dapat mengakibatkan infiltrasi kebudayaan yang membawa nilai-nilai baru yang tidak semuanya baik dan sesuai dengan nilai luhur yang dimiliki bangsa Indonesia hingga dapat menimbulkan dekadensi kebudayaan. Kebudayaan lokal akan cenderung semakin terpuruk dan akhirnya kehilangan identitas. Kondisi ini, kian diperparah karena anutan “model” pembangunan di Indonesia, sementara masih lebih bertumpu pada prioritas pembangunan di bidang ekonomi.
Gejala tersebut di atas, mulai dirasakan dalam perkembangan arsitektur tradisional Sulawesi Selatan (Bugis, Makassar, dan Toraja). Masyarakat dalam membangun rumah cenderung  memilih model Eropa atau asing untuk bentuk bangunannya. Pada dasarnya, Penerapan gaya arsitektur menjadi hak pemilik bangunan sehingga sulit untuk menggiring memilih penerapan suatu gaya arsitektur tertentu. Tapi terasa aneh jika kita berada di suatu kawasan atau kota yang punya latar sejarah besar, tradisi, adat dan budaya lokal yang dikagumi sejak masa silam, seperti Kota Makassar tapi justru kemudian dikelilingi bangunan-bangunan bergaya arsitektur asing.

B. Setting dan Metode
          Khalayak sasaran tulisan ini adalah amatan terhadap beberapa bangunan pemerintah dan bangunan publik yang ada di kota Makassar yang dipilih dan diamati secara acak. Metode penyajian tulisan deskriptif-analisis dengan menggambarkan beberapa bangunan pemerintah dan publik di kota Makassar yang menerapkan ciri khas arsitektur Sulawesi Selatan.

C. Arsitektur Bugis-Makassar mulai terkikis dari Ruang Publik Kota Makassar.
Seiring dengan upaya menjadikan Makassar ibukota Provinsi Sulawesi Selatan sebagai ‘Kota Dunia’, kehadiran berbagai macam model gedung dan bangunan baru pencakar langit tampak dibuat tak lagi menghiraukan penerapan identitas arsitektur tradisional Bugis-Makassar. Sebutlah, misalnya beberapa gedung bertingkat yang telah selesai dibangun, Gedung Graha Pena atau Gedung perkuliahan Universitas Islam Indonesia (UIN) Alauddin yang sedikit pun tidak menandakan identitas tradisional Bugis-Makassar atau Toraja. Olehnya itu, dalam upaya pelestarian budaya daerah, diperlukan adanya kebijakan pemerintah daerah untuk membuatkan Peraturan Daerah (Perda) yang dapat dijadikan pegangan bagi para arsitek maupun pemilik bangunan, ketika membuat rancangan untuk pembangunan di ruang-ruang publik agar tak melupakan memberikan pertanda khas Kota Makassar atau ‘memunculkan’ gaya arsitektur tradisional Sulawesi Selatan dalam membangun kantor atau bangunan publik.
Usaha untuk menggali, mengenalkan, dan melestarikan hasil kebudayaan tradisional terus digalakkan oleh pemerintah. Hal ini dimaksudkan untuk mencari identitas daerah dan identitas nasional agar tidak musnah dilanda perubahan. Usaha pemerintah untuk ikut serta mengembangkan kebudayaan daerah tertuang jelas dalam UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 2 ayat (9). Undang-undang tersebut antara lain menyebutkan bahwa negara mengakui serta menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya. Hal ini dipertegas lagi oleh pasal 22 huruf m yang menyatakan bahwa dalam menyelenggarakan otonomi, pemerintah daerah mempunyai kewajiban melestarikan nilai-nilai tradisional. Kebijakan pemerintah ini dimaksudkan untuk melindungi hak-hak adat yang sampai sekarang masih dijaga dan dilestarikan.
Pada sisi lain dalam mempertahankan identitas budaya bangsa, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pariwisata no. 14/V/11/88 menyatakan bahwa persyaratan fisik bangunan yaitu unsur dekorasi Indonesia harus tercermin dalam interior dan eksteriornya. Kebijakan ini disambut dengan baik oleh para desainer interior dan eskterior dalam mewujudkan karya-karya rancangannya, terumata pada bangunan perkantoran, perbankan, hotel, restoran, dan bangunan publik lainnya. Dengan diberlakukannya kebijakan tersebut, para desainer dan arsitek mempunyai andil yang sangat besar dalam melestarikan nilai-nilai tradisional bangsa.
Belakangan ini ada upaya masyarakat kota Makassar aktif berperan dalam penyesuaian diri dengan unsur-unsur yang datang dari luar dengan tanpa melupakan unsur budaya lokal. Salah satunya dapat dilihat pada bangunan-bangunan baru baik milik pemerintah maupun swasta sudah menganut tipe baru tetapi masih senantiasa memperlihatkan ciri  arsitektur khas Bugis, dengan menggunakan timpalaja (tutup bubungan yang berbentuk prisma). Di sini ada kecendrungan menjadikan bentuk timpalaja sebagai terminal pertahanan, sehingga pada ciri inilah seolah-olah dikonsentrasikan semua nilai yang telah kehilangan wujud (simbol) karena perubahan.
Upaya Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan merintis pembangunan gedung atau bangunan-bangunan baru yang tetap mengedepankan ciri arsitektur Bugis- Makassar, seperti yang mulai dicontohkan tahun 1978 dengan membangun Kantor DPRD Sulawesi Selatan dan Kantor Gubernur Sulawesi Selatan merupakan upaya yang perlu direspon positif. Namun upaya ini tidak berlangsung lama. Para arsitek yang dalam beberapa waktu sebelumnya masih tampak menerapkan model Timpalaja (timpanon) sebagai ciri menonjol atap rumah tradisional Bugis-Makassar pada bangunan-bangunan, juga terlihat sudah mulai menghilang dari kehadiran gedung atau bangunan-bangunan baru yang justru menjadi ikon baru bagi Kota Makassar.

















Pengaruh globalisasi memang sulit untuk dibendung, yang pasti ialah pengaruh luar dalam kondisi budaya di dunia dewasa ini tidak lagi dapat dihindari. Maka setiap bangsa tidak lagi hanya dihadapkan kepada menolak atau menerima pengaruh luar, tapi pada sikap bagaimana menghadapi pengaruh luar tersebut dalam mengembangkan kebudayaan sendiri.
Akibat terjadinya akulturasi budaya timbul proses penyerapan unsur-unsur kebudayaan. Lama tidaknya proses peniruan kebudayaan asing bergantung kepentingan dan kondisi budaya bangsa yang menerima dan menyaring kebudayaan asing tersebut. Pada tahap penyaringan, kebudayaan asing diterima tidak secara utuh, tetapi secara selektif dimbil beberapa unsur kebudayaan dan disesuaikan dengan kebudayaan sendiri. Adapun pola perubahan dalam arsitektur, khususnya dalam penerapan ciri khas anjong/timpalaja (atap) dan bentuk arsitektur tradisional Sulawesi Selatan pada bangunan pemerintahan dan bangunan publik di Makassar memiliki kecendrungan sebagai berikut:
1.     Bentuk tetap dengan makna tetap. Penampilan bentuk arsitekturnya tetap mengadopsi bentuk lama walaupun dengan menggunakan perubahan material bangunan dan makna yang lama (mitologi dan kosmologi).
2.     Bentuk tetap dengan makna baru. Penampilan bentuk arsitekturnya tetap mengadopsi bentuk lama tetapi diberi makna baru.
3.     Bentuk baru dengan makna tetap. Penampilan bentuk arsitekturnya menghadirkan bentuk baru dalam pengertian unsur-unsur lama yang diperbaharui. Jadi tidak lepas sama sekali karena terjadi interpretasi baru terhadap bentuk lama, tetapi diberi makna yang lama untuk menghindari terjadinya kejutan budaya.
4.     Bentuk baru dengan makna baru. Penampilan bentuk arsitekturnya menghadirkan bentuk baru dengan disertai makna yang baru, karena terjadinya perubahan paradigma berarsitektur secara total dalam berakulturasi desain. Dalam konteks ini kebudayaan lama sudah ditinggalkan.

C. Arsitektur Tradisional Sulawesi Selatan dalam Ketahanan Budaya Lokal.
Pemanfaatan model arsitektur tradisional pada bangunan masa kini, ternyata sering dianggap tidak lagi mampu sepenuhnya mengikuti dinamika kebutuhan masyarakat. Seringkali dianggap terjadi ketidakserasian antara keberadaan model arsitektur tradisional yang boleh dikatakan cenderung stagnan, dengan dinamika tuntutan kehidupan moderen yang selalu cepat berubah dengan variasi-variasinya. Pada banyak kasus, karena penerapan model arsitektur tradisional yang salah, tidak mengabaikan kaidah-kaidah sebagaimana mestinya mengakibatkan bangunan atau rumah itu bermasalah. Pemahaman seperti itulah yang mendasari pertimbangan hingga penerapan model baru pada arsitektur rumah atau bangunan masa kini dengan corak kekinian pula, tidak mau  mengadopsi potensi arsitektur rumah tradisional.  Kalau pun ada upaya-upaya menyerap model arsitektur rumah tradisional, misalkan penerapan seni hias Bugis pada bagian tertentu bangunan, maka proses adopsi itu secara umum masih belum cukup memuaskan karena hadir hanya sebagai tempelan artistik pemanis, sebatas ornamen ringan semata, bukan karena pertimbangan aktualisasi kekayaan arsitektur tradisional.
Apabila dicermati lebih jauh, sesungguhnya esensi karya seni arsitektur tradisional bukan karya seni yang sama sekali sudah tidak berubah atau tetap dalam pengertian mati (statis). Karya seni arsitektur tradisional adalah seni yang tidak statis karena keberadaannya secara faktual, dari generasi ke generasi selalu mengalami tahapan penyempurnaan yang mewakili zamannya. Penyempurnaan dengan menambah unsur-unsur yang lebih adaptif dengan tuntutan masyarakat pendukung kesenian merupakan bagian penting dalam proses kemantapan karya seni tradisi itu sendiri, sehingga seni tradisi semestinya harus dimaknai sebagai seni yang dinamis (dynamic art) dalam pengertian seni yang senantiasa membuka diri terhadap kemungkinan perubahan-perubahan, baik bentuk maupun fungsinya.[6]
Ada pula paradigma yang menilai bahwa dalam konteks waktu, tradisional diidentikkan dengan masa lalu yang kuno dibanding dengan modern, ultra modern atau pasca modern yang sepenuhnya mencerminkan kekinian terbaru. Itu salah satu penyebab rumah ber-arsitektur tradisional yang mengandung berbagai kearifan lokal dinilai kuno oleh sebagian masyarakat, ketinggalan zaman hingga pelan-pelan mulai ditinggalkan pemangku kepentingan. Padahal, disadari bahwa transformasi model arsitektur tradisional ke arsitektur moderen sebenarnya dapat terproses secara baik dalam penataan ruang dan lingkungan dari waktu ke waktu, jika saja hal tersebut terus dilakukan dalam kesadaran tinggi. Mencari wujud arsitektur tradisional untuk rumah yang baru dengan penerapan secara bijak dan mematuhi kaidah-kaidah dengan tepat. Semakin cepat dilakukan transformasi akan semakin besar dan efektif manfaatnya bagi masyarakat. Alasan inilah yang mendasari pemikiran; pentingnya berbagi kesadaran untuk sama-sama berusaha menggali dan memahami kembali kearifan lokal dan keunggulan yang terkandung dalam ranah arsitektur rumah tradisional. Kearifan lokal dan keunggulan yang mulai terabaikan, ditinggalkan atau bahkan cenderung dilupakan, perlu segera direvitalisasi.
Hasil penelusuran, pengkajian dan pelestarian kearifan lokal yang dimiliki, perlu ditransformasikan untuk menjadi bekal pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan bagi pengembangan ilmu arsitektur, untuk generasi sekarang dan generasi penerus, serta bagi kelestarian alam dan lingkungan.
Penerapan wujud identitas dan karakter budaya lokal pada arsitektur rumah tradisional di berbagai kawasan baik perumahan, pusat perbelanjaan, pusat wisata, dan pusat kantor pemerintah dan swasta seharusnya terus menerus dilakukan secara konsepsional dan terarah. Agar dapat terlihat secara jelas bagaimana esensi kearifan budaya lokal yang diterapkan itu ternyata masih bisa sangat fungsional. Konsep arsitektur tradisional yang diterapkan pada semua kawasan,  bisa berperan menjadi transformator atas nilai yang ingin diwariskan untuk memperkokoh ketahanan budaya lokal sekaligus nasional.
Untuk mewujudkan ketahanan budaya dan konteks pelestarian dan pengembangan arsitektur tradisional Sulawesi Selatan maka.
·      Perlu upaya memahami esensi masing-masing nilai kearifan lokal untuk dilestarikan sebagai warisan budaya.
·      Perlu upaya memahami substansi masing-masing nilai kearifan lokal untuk dikembangkan ke dimensi kekinian, seiring dengan perubahan waktu dan kemajuan teknologi yang bergerak ke masa depan.
·      Bahwa mempertahankan jati diri dan karakter etnis lokal amatlah penting di tengah deraan arus modernisasi dan kecenderungan universalisasi. Hal tersebut dapat ikut ditransformasikan melalui kesadaran akan keunggulan budaya yang dimiliki.
·      Hidup dan kehidupan memang berhak terus berkembang seiring zamannya, namun perubahan lingkungan strategis etnis yang mengadopsi kearifan-kearifan lokal perlu pula terus ikut diperhitungkan dan dipertahankan guna menjadi roh bagi pengembangan sekaligus dan meningkatkan ketahanan arsitektur berciri tradisional.[7]
Semakin cepat dilakukan kajian untuk menggali nilai dari kearifan arsitektur tradisional lokal dampaknya akan semakin baik, termasuk upaya-upaya transformasi, pewarisan nilai dan teknologi arsitektur tradisional dari para sesepuh, cerdik cendekia bidang budaya, sosiologi dan arsitek rumah tradisional akan sangat baik sebelum mereka terlanjur berpulang. Diharapkan dengan terwujudnya kelestarian arsitektur tradisional lokal Sulawesi Selatan dapat merajut kembali kejayaan masa lalu yang bermanfaat menjadi kebanggan masa kini. Warisan itu diwujudkan dalam explicit knowledge, yang sangat kita perlukan dalam memantapkan konsepsi ketahanan budaya lokal etnis oleh generasi masa kini dan generasi penerus dalam menghadapi tantangan masa mendatang.
D.    Arsitektur Tradisional Sulawesi Selatan Masa Kini dan yang Akan Datang
Arsitektur sebagai salah aspek kebudayaan suku Bugis merupakan perwujudan nilai-nilai yang dianut dan dipelihara untuk diwariskan ke generasi berikutnya. Sebagai hasil karya tentunya selalu mengalami perubahan. Ada perbedaan laju perubahan yang terjadi di daerah perkotaan dan di daerah pedesaan. Hal ini disebabkan karena kota merupakan pintu gerbang komunikasi dengan daerah dan bangsa lain.
Di daerah pedesaan, masyarakat masih senang mempertahankan apa yang mereka telah miliki, sedangkan di kota, masyarakat aktif berperan dalam penyesuaian dengan unsur-unsur yang datang dari luar. Hal ini dapat dilihat dari bangunan-bangunan baru baik milik pemerintah maupun swasta sudah menganut tipe baru, tetapi masih senantiasa memperlihatkan ciri  arsitektur khas Sulawesi Selatan, dengan menggunakan timpalaja (tutup bubungan yang berbentuk prisma). Di sini, ada kecenderungan menjadikan bentuk timpalaja sebagai terminal pertahanan, sehingga pada ciri inilah seolah-olah dikonsentrasikan semua nilai yang telah kehilangan wujud (simbol) karena perubahan.
Hal ini membuktikan bahwa masih ada unsur-unsur arsitektur tradisional Sulawesi Selatan mampu bertahan dalam derasnya arus perubahan di segala bidang sebagai wujud pembangunan nasional Indonesia. Di samping itu, membuktikan bahwa para arsitek di Sulawesi Selatan masih mempercayai warisan nilai budaya, yang sejak lama dipelihara oleh nenek moyang mereka sekaligus juga memperkaya arsitektur Indonesia.
Dengan adanya perhatian pemerintah khususnya, suaka pemeliharaan dan perlindungan peninggalan sejarah, hal pelestarian dan pemeliharaan bangunan-bangunan tradisional lebih menambah keyakinan bahwa arsitektur tradisional Sulawesi Selatan akan tetap terpelihara pada masa-masa yang akan datang.

CATATAN AKHIR
          [1]Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), 5-6.
2Koentjaraningrat, 7.
3Eko Budihardjo, Arsitektur sebagai Warisan Budaya (Jakarta: Djambatan,1997), 6.
4Ralp Linton (ed), Acculturation in Seven American Indian Tribes (New York: Appleton, 1940), 457-458.
5Monica Hunter Wilson, The Analysis of Social Change Based on Observations in Central Africa (Cambridge: Cambridge University Press, 1945), 12.
6Mardiman, Jangan Tangisi Tradisi (Yogyakarta: Kanisius, 1994), 144-148.
7Syahriar Tato, “Arsitektur Tradisional Sulawesi Selatan Pusaka Warisan Budaya Lokal Indonesia”. (hhtp: www.arsitekturtradisional. 2010).


DAFTAR PUSTAKA
Budihardjo, Eko. Arsitektur sebagai Warisan Budaya. Jakarta: Djambatan,1997.

Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004.

Linton, Ralp (ed), Acculturation in Seven American Indian Tribes. New York: Appleton, 1940.

Mardiman, Jangan Tangisi Tradisi (Yogyakarta: Kanisius, 1994.

Tato, Syahriar, “Arsitektur Tradisional Sulawesi Selatan Pusaka Warisan Budaya Lokal Indonesia”. hhtp: www.arsitekturtradisional. 2010.

Wilson, Monica Hunter, The Analysis of Social Change Based on Observations in Central Africa . Cambridge: Cambridge University Press, 1945.


            [1]Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), 5-6.
[2] Koentjaraningrat, 7.
          [3]Eko Budihardjo, Arsitektur sebagai Warisan Budaya (Jakarta: Djambatan,1997), 6.
[4] Ralp Linton (ed), Acculturation in Seven American Indian Tribes (New York: Appleton, 1940), 457-458.
[5] Monica Hunter Wilson, The Analysis of Social Change Based on Observations in Central Africa (Cambridge: Cambridge University Press, 1945), 12.
[6] Mardiman, Jangan Tangisi Tradisi (Yogyakarta: Kanisius, 1994), 144-148.

[7] Syahriar Tato, “Arsitektur Tradisional Sulawesi Selatan Pusaka Warisan Budaya Lokal Indonesia”. (hhtp: www.arsitekturtradisional. 2010)














Rabu, 13 Juni 2012

Memaknai Karya Seni Rupa Makassar



MEMAKNAI KARYA SENI RUPA
(ULASAN BEBERAPA PENYELENGGARAAN
PAMERAN SENI RUPA DI MAKASSAR)

Pangeran Paita Yunus
FBS UNM Makassar


ABSTRAK
Seniman yang telah punya nama bisa lebih tenang menghadapi pergolakan seni dalam arus ini karena karya-karya telah dikenal dan diapresiasi dengan baik, lain halnya dengan seniman yang baru muncul dan mengharapkan penghargaan dan kedudukan yang layak di masyarakat sebagai seniman. Arus globalisasi seolah-olah memaksa mereka untuk mengikuti selera masyarakat masa kini. Tidaklah mengherankan kalau karya-karya kontemporer yang disaksikan kebanyakan mengikuti aliran atau isme yang menjad 'trend' pada saat ini. Bila diamati, beberapa lukisan yang tampil dalam beberapa penyelenggaraan pameran yang dilaksanakan di Makassar, memperlihatkan beberapa persamaan. Sebagian atau keseluruhan lukisan-lukisan itu memperlihatkan citra yang sangat realistik. Namun, kesamaan ini bukan dari gaya atau aliran. Kesamaan ini tidak lahir dari sebuah gerakan di mana para pelukis secara bersama-sama menyakini sebuah faham atau isme tertentu. Apabila diamati lebih cermat dibalik persamaan itu terlihat pula pemikiran, pandangan, ide, konsep berkarya yang berbeda-beda. Namun demikian, tidak bisa disangkal di sana-sini terdapat gejala saling mempengaruhi. Kesamaan pada karya-karya para pelukis itu tampak pada upaya pengungkapan ide lukisan dengan citra realistik.

Kata kunci: seniman, isme, realis


PENDAHULUAN
Globalisasi dunia saat ini telah mempengaruhi segala bidang kehidupan manusia berkat makin hari semakin cepat dan mudahnya manusia di seluruh pelosok dunia dalam berhubungan satu sama lainnya. Bukan hanya komunikasi yang menyangkut perdagangan umum dan penyebaran ilmu pengetahuan, tetapi penyebaran ide dan buah pikiran, konsep-konsep yang baru, juga berjalan dengan sangat cepat dan tidaklah mengherankan kalau masyarakat bisa menjadi bingung akibat derasnya informasi yang mereka terima. Daya pikir dan daya resap manusia kewalahan karena belum sempat meresapi-menghayati sesuatu secara matang, muncul lagi hal-hal yang baru yang meminta perhatiannya.
Seniman tidak luput dari arus globalisasi ini. Segala perkembangan yang terjadi dalam bidang kesenian dengan cepat sampai kepada mereka. Sentuhan dengan_ ide-ide yang baru memberi peluang untuk berinspirasi sambil merangsang untuk lebih banyak berkreasi. Arus globalisasi membawa akibat bahwa persaingan-persaingan di antara karya-karya seni (lukis) kini telah menjadi jauh lebih ketat dibanding masa sebelumnya. Bagi beberapa pelukis yang telah dikenal namanya tekanan ini kurang terasa dibandingkan dengan mereka yang baru mulai melangkah ke tengah masyarakat yang dikuasai oleh pasar yang komersialis dan konsumerisme.
Seniman yang telah punya nama bisa lebih tenang menghadapi pergolakan seni dalam arus ini karena karena karya-karya telah dikenal dan diapresiasi dengan baik,  lain halnya dengan seniman yang baru muncul dan mengharapkan penghargaan dan kedudukan yang layak di masyarakat sebagai seniman. Arus globalisasi seolah-olah memaksa mereka untuk mengikuti selera masyarakat masa kini. Tidaklah mengherankan kalau karya-karya kontemporer yang disaksikan kebanyakan mengikuti aliran atau isme yang menjadi 'trend’ pada saat ini.

KECENDRUNGAN REALISME DALAM SENI LUKIS INDONESIA
Bila diamati, beberapa lukisan yang tampil dalam beberapa penyelenggaraan pameran yang dilaksanakan di Makassar, mempertihatkan beberapa persamaan. sebagian atau keseluruhan lukisan-lukisan itu memperlihatkan gaya atau citra yang sangat realistik. Namun, kesamaan ini bukan dari aliran. Kesamaan ini tidak lahir dari sebuah gerakan di mana para pelukis secara bersama-sama menyakini sebuah faham atau isme tertentu. Apabila diamati lebih cermat, ditalik persamaan itu terlihat pula pemikiran, pandangan, ide, konsep berkarya yang berbeda-beda. Namun demikian, tidak bisa disangkal disana-sini terdapat gejala saling mempengaruhi. Kesamaan pada karya-karya para pelukis itu tampak pada upaya pengungkapan ide lukisan dengan citra realistik.
Aliran Realis dalam wacana seni lukis Indonesia muncul sekitar tahun 1940- an sebagai reaksi lerhadap "naturalism” yang berkembang sebelumnya. Realisme adalah aliran/gaya yang memandang dunia ini tanpa ilusi, apa adanya tanpa menambah atau mengurangi objek (Susanto , 2002). Bagi penganut faham realisme pada itu, naturalisme (terutama tercermin pada lukisan ‘Pemandangan alam') berakar pada faham keindahan yang dipengaruhi konvensi sosial dan didominasi cita rasa kelompok elite (masyarakat kolonial dan kaum bangsawan).
Sebagai reaksi, kaum realis dengan tokoh pelukis Soedjojono, menyatakan keindahan tidak cukup cuma tampil melalui obyek lukisan seperti pemandangan alam, potret, dunia benda dan wanita cantik. Keindahan, menurut soedjojono, bisa juga tampil pada lukisan yang menggambarkan kehidupan rakyat dan pekerja kasar yang sernentara mengangkat barang. menurut soedjojono, sumber keindahan dalam karya seni lukis tidak berpangkat pada obyek yang lukis tapi bersumber pada ‘kejujuran’ senimannya. Dalam melukis, kejujuran itu identik dengan interpretasi emosional seniman ketika berhadapan dengan obyek yang dilukis.
Dengan -demikian, jikalau kita cermati, Realisme Soedjojono tidak disangkal memiliki kemiripan dengan manifesto kaum Realis Eropa yang diproklamirkan oleh pelukis Perancis Gustave Courbet pada tahun 1855, dengan slogannya yang terkenal "tunjukan malaikat padaku dan aku akan melukisnya” yang mengandung arti bahwa baginya lukisan itu adalah seni yang kongkret, menggambarkan segala sesuatu yang ada dan nyata. Manifesto Courbet itu mengandung tiga pokok pikiran: l) menolak keindahan ideal yang konvensibnal, 2) percaya pada filsafat yang positivistis (keburukanf/keseharian juga memiliki keindahan), dan 3) percaya pada pembebasan individu (percaya pada tafsiran individual seniman).
Namun dalam perkembangannya, menurut Jim Supangkat, realisme Soedjojono melahirkan wacana yang berbeda dengan realisme dalam wacana seni rupa Eropa. Realisme Soedjojono terlihat melahirkan dua bentuk perkembangan. Pertama, perkembangan yang memperlihatkan perubahan-perubahan tema dan obyek lukisan (misalnya dari pemandangan alam ke gambaran yang bertema kerakyatan). Perkembangan ini tetap mempertahankan teknik melukis cermat yang realistik (mirip), bahkan sama dengan teknik melukis kaum naturalisme (lihat lukisan-lukisan Dullah, Trubus, Barli). Kedua, perkembangan yang menekankan 'kejujuran' (individualitas seniman). Pada perkembangan ini terlihat kecendrungan seniman ke arah seni lukis yang emosional (lihat lukisan Affandi, atau Hendra Gunawan).
Tumbuhnya kedua corak perkembangan itu mengakibatkan tcrjadinya pcrgeseran pengertian realisme, Kecendrungan yang emosional pada realisme ini berkembang sangat lanjut ke arah pengungkapan gejolak emosi dan melahirkan lukisan-lukisan yang bergaya ekspresif. Kecendrungan ini semakin lama semakin personal dan menjauhi gambaran kenyataan dan citra realistik (lihat lukisan Affandi yang seringkali nyaris abstrak). Dalam wacana perkembangan seni rupa Indonesia kecendrungan ini kemudian dikenal sebagai seni lukis ekspresif dan tidak lagi dianggap sebagai seni lukis realis.
Pergeseran pengertian itu memperlihatkan proses terbentuknya persepsi tentang realisme dalam perkembangan seni rupa Indonesia. Maka 'realisme' dalam wacana perkembangan seni rupa Indonesia adalah seni lukis yang mengangkat realitas dan menampilkannya secara realistik.
Dalam perkembangan seni rupa, melukis secara realistik memang berawal pada upaya mengkopi realitas. Dalam teori Mimesis (faharn Yunani kuno yang mendasari pembuatan karya seni secara realistik) upaya pengkopian kenyataan berakar pada pencarian kebenaran di balik "gambaran realitas". Faham ini melahirkan tradisi melukis yang senantiasa menampilkan citra realistik sebagai 'pengganti' kenyataan.
Namun pada awal abad ke-19, dengan munculnya seni rupa modern, pencarian kebenaran melalui gambaran realistis berpindah ke tradisi pencarian kebenaran melalui realitas sebagai fenomena. Karena itu, ekspresi rupa tidak lagi terikat pada citra realistik. Penafsiran pandangan tentang realitas sebagai fenomena melahirkan sejumlah aliran, di antaranya Realisme, Realisme Sosial, Surrealisme, Pop Art, Super Realisme, dan sebagainya. Sementara itu tumbuh pula realisme yang menekankan pada pengkajian pada 'realitas visual'. Dari sini lahir aliran-aliran yang mempersoalkan bentuk dan kualitas rupa seperti futurisme, kubisme, konstruktivisme, abstrak ekspresionisme, minimalis, dan sebagainya.

CATATAN DARI BEBERAPA PAMERAN SENI RUPA DI MAKASSAR
Jika diamati, karya-karya pada pameran seni rupa yang diselenggarakan di Makassar menunjukkan kecendrungan, baik idiom, medium dan teknik, maupun tema yang beragam. Namun demikian, secara umum kita tetap bisa menemukan 'pertemuan' berbagai idiom dan kode-kode artistik tersebut. Beberapa karya menunjukkan persinggungan teknis, beberapa di antaranya juga lebih menunjukkan persamaan-persamaan idiom pengungkapan. Dan lebih banyak lagi, diantara karya-karya itu kita temukan persinggungan titik perhatian para seniman dalam tema-tema persoalan kekinian. Saya melihat ada tiga pokok persoalan yang menunjukkan ranah-ranah persinggungan itu, yakni: l) cara penggambaran yang bersifat realistik; 2) kecendrungan pada abstraksi bentuk serta 3) kecendrungan penggunaan simbol dan dekorasi.
Beberapa perupa yang tampil pada beberapa pameran seni rupa di Makassar seperti Mike Turusy, Rusdi, Amir ‘Rimba' Hafid, Marledy, Agustan dan beberapa perupa lainnya, pada prinsipnya menunjukkan kecenderungan menampilkan rupa realistik yang fotografis dengan garapan yang cukup cermat. Seperti karya Mike Turusy ‘Di balik topeng’ (2003), Agustan 'Si Nenek Tua' (2007), atau karya Rimba "si kakek dan sebatang rokok" (2003) digarap dengan gaya realis, bahkan beberapa perupa berusaha untuk menangkap setiap figur atau pun obyek di sekitarnya dan dilukiskan di atas kanvas dengan sangat seksama dan detail penuh kehati-hatian. Dari pameran ini, dapat dikatakan bahwa beberapa perupa yang tampil telah mampu menangkap ‘jiwa' aliran realis-fotografis yang sesungguhnya dan beberapa perupa lainnya nampak masih sangat terburu-buru dalam menggarap obyek lukisannya dan 'memaksakan' diri tampil dengan teknik realis, namun karena bekal kemampuan teknisnya masih sangat kurang sehingga karya yang ditampilkan terkesan ’tidak selesai’.
Thamrin Mappalaherre dengan gaya realis-ekspresif tampil spontan dengan goresan yang sangat dikuasainya. Benny Subiantoro tampil dengan obyek lukis goresan garis tebal dengan karakter berbeda. Teknik dan goresan yang spontan dan berkarakter tampak pada karya tersebut. Hal yang sama juga tampak pada karya-karya Firman Djamil, di mana kecenderungan karya ini untuk mengekspose dan mendekonstruksi cara melukis maupun gaya yang ditampilkan. Melepaskan diri dari kenyataan dan lebih menggandalkan memori, emosi, dan imajinasi, namun tetap terarah.
Apa  yang diketengahkan oleh para perupa ini, pada dasarnya menawarkan gejala perupaan sebagai sebuah wacana kajian dan diskusi. Sebuah diskusi yang kontekstual, diharapkan dapat menghasilkan 'discourse' artinya pemahaman tersebut jangan terlalu diharapkan untuk dapat membuat sebuah parameter ataupun defenisi. Dengan demikian, mesti dipahami bahwa kegiatan tersebut merupakan tawaran yang menjadi penting dalam kaitan bagaimana kita mesti memposisikan diri di dalam forum-forum kesenian nasional, karena inilah saatnya memanfaatkan situasi dalam upaya menangkap peluang yang ada.

KESIMPULAN
Dalam konteks ke dalam bagi seni rupa Sulawesi Selatan adalah peluang untuk bangkit dan menumbuhkan kesadaran bahwa sangat diperlukan diskusi-diskusi yang intensif untuk mendapatkan serta merumuskan wacana yang dapat digunakan untuk memetakan seni rupa Sulawesi Selatan (Makassar) secara lebih utuh. Artinya membaca gejala-gejala dan menangkap peluang-peluangnya, merupakan usaha-usaha yang perlu dilakukan, tanpa harus berprasangka bahwa ini sebuah rekayasa. Usaha untuk menyelenggarakan beberapa pameran seni rupa pada beberapa tahun terakhir, sangat pantas untuk dicatat dalam wacana perkembangan seni rupa Makassar.
Akhirnya apa yang tersaji pada beberapa penyelenggaraan pameran di kota Makassar, baik yang diselenggarakan di dalam kampus Seni Rupa Fakultas Seni dan Desain Universitas Negeri Makassar, atau pun di luar kampus sebaiknya dipahami sebagai sebuah 'proses' dari sekian banyak proses yang akan dan mesti dilewati oleh setiap insan manusia, khususnya bagi seorang seniman dalarn pengembaraan mencari jati dirinya.


DAFTAR PUSTAKA

Dermawan, Agus T., 2000, Seni Lukis Indonesia, tahun 1938 s/d 2000. Jakarta. Pemerintah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Dinas Museum dan Pemugaran

Hasan, Asikin. 200l, Dua seni Rupa, serpihan Tulisan Sanento Yuliman. Jakarta. Yayasan Kalam.

Panitia KIAS, 1990-1991, Perjalanan Seni Rupa Indonesia. Jakarta. Panitia Pameran KIAS.

Salam, Sofyan, 2003, Katalog Pameran 45 Perupa Sulawesi Selatan. Makassar. Bentara Budaya Jakarta

Susanto, Mikke., 2002. Diksi Rupa, Kumpulan lstilah Seni Rupa. Yogyakarta. Penerbit Kanisius.