KEBIJAKAN PENERAPAN CIRI KHAS ARSITEKTUR SULAWESI
SELATAN PADA KANTOR
PEMERINTAH DAN BANGUNAN PUBLIK
Applying Policy of South
Sulawesi Architecture in
Governmental Office and
Public Building
Pangeran Paita Yunus
Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa
Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta
R. M. Soedarsono
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
ABSTRAK
In the effort
conservation of local culture, required existence of policy of local government
to make by law ( Peraturan daerah) can be made hold to all architect and also
owner of building, when making planning for development in public spaces that
do not forget gives forerunner typical of traditional architecture style of South
Sulawesi in building office or public building.
The Government South
Sulawesi effort blazes the way development of new building or buildings of
which remain to places forward architecture characteristic BugisMakassar, like
the one starts examplizeed in 1978 by building DPRD South Sulawesi office and governor South Sulawesi office
is striving that need to be response positive. But this effort doesn't take
place stripper. The architects which in a few time before all still seems to
apply model Timpalaja ( timpanon) as uppermost characteristic of
traditional house roof of Bugis-Makassar at buildings, also seen has started
disappears from presence of new building or buildings exactly becomes new icon
for Makassar city.
Keyword: traditional architecture, governmental policy
Dalam upaya pelestarian budaya daerah, diperlukan adanya kebijakan
pemerintah daerah untuk membuatkan Peraturan Daerah (Perda) yang dapat dijadikan
pegangan bagi para arsitek maupun pemilik bangunan, ketika membuat rancangan
untuk pembangunan di ruang-ruang publik agar tak melupakan memberikan pertanda
khas Kota Makassar atau ‘memunculkan’
gaya arsitektur tradisional Sulawesi Selatan dalam membangun kantor atau
bangunan publik.
Upaya Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan
merintis pembangunan gedung atau bangunan-bangunan baru yang tetap
mengedepankan ciri arsitektur Bugis- Makassar, seperti yang mulai dicontohkan
tahun 1978 dengan membangun Kantor DPRD Sulawesi Selatan dan Kantor Gubernur
Sulawesi Selatan merupakan upaya yang perlu direspon positif. Namun upaya ini
tidak berlangsung lama. Para arsitek yang dalam beberapa waktu sebelumnya masih
tampak menerapkan model Timpalaja
(timpanon) sebagai ciri menonjol atap rumah tradisional Bugis-Makassar pada
bangunan-bangunan, juga terlihat sudah mulai menghilang dari kehadiran gedung
atau bangunan-bangunan baru yang justru menjadi ikon baru bagi Kota Makassar.
Kata kunci: arsitektur
tradisional, kebijakan pemerintah
A.
Pengantar
Salah
satu produk manusia yang terkait dengan unsur-unsur kebudayaan adalah kesenian.
Kesenian dalam hal ini adalah seni tradisi merupakan sebagian hasil tindakan
berpola manusia (seniman) yang dalam sejarah perkembangan kebudayaan telah
memberikan sumbangan besar dalam memperkaya serta memberikan identitas
kebudayaan nasional kita. Kesenian tersebut merupakan bentuk kebudayaan yang
hingga sekarang masih mencerminkan seni yang adiluhung, sehingga keberadaannya
harus dilestarikan. Namun demikian, kedudukan seni tradisi tersebut akhir-akhir
ini telah menghadapi masalah yang dilematis, meskipun tidak secara keseluruhan
menganggap demikian. Pada satu pihak merisaukan bahwa kedudukan seni tradisi
kita tengah terancam nilai-nilai keasliannya. Di sisi lain, seni tradisi
tersebut dinilai justru semakin kokoh keberadaannya, kendatipun di
tengah-tengah proses modernisasi yang begitu pesat.
Beberapa pandangan
melihat kedudukan dan kelangsungan seni tradisi menjadi perdebatan yang
menimbulkan kontroversi. Perdebatan tersebut selalu berkisar pada seni tradisi
yang dilihat sebatas sebagai aspek budaya, dan pada sisi lain seni tradisi
harus diadaptasikan dengan aspek lain seperti aspek yang bernilai ekonomi.
Pandangan pertama cenderung menilai seni tradisi sebagai aset budaya bangsa
yang mesti dijaga keasliannya, sedangkan upaya pelestarian yang kedua justru melihat
seni tradisi memiliki nilai ganda, yakni nilai budaya serta nilai ekonomis yang
melandasi tindakan dalam berkesenian. Berdasarkan hal tersebut, yang harus
dipikirkan adalah bagaimana upaya yang dilakukan agar seni tradisi tersebut
tetap lestari, akan tetapi juga harus mendasarkan pada sikap terbuka terhadap
kemungkinan penyesuaian unsur-unsur seni tradisi yang ada, sehingga relevan dan
diterima menurut situasi zamannya, termasuk eksistensi karya seni arsitektur
tradisional Nusantara.
Arsitektur tradisional
sebagai salah satu modal kebudayaan tumbuh dan berkembang bersamaan dengan
pertumbuhan suatu bangsa. Oleh karena itu, kehadiran sebuah arsitektur
tradisional merupakan salah satu identitas dari komunitas pendukung kebudayaan.
Dalam arsitektur tradisional sebagai sebuah karya cipta manusia, terkandung
secara terpadu tiga wujud kebudayaan, yakni: 1. Wujud kebudayaan sebagai suatu
kompleks aktivitas dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan
dan sebagainya; 2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan
berpola dari manusia dalam masyarakat; 3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda
hasil karya manusia.[1]
Dalam kenyataan
kehidupan masyarakat ketiga wujud dari kebudayaan tersebut di atas, tentu tidak
terpisah satu dengan lain. Kebudayaan ide dan adat istiadat mengatur dan
memberi arah kepada perbuatan dan karya manusia. Pikiran-pikiran dan ide-ide
maupun perbuatan dan karya manusia, menghasilkan benda-benda kebudayaan
fisiknya. Sebaliknya, menurut Koentjaraningrat, kebudayaan fisik itu membentuk
suatu lingkungan hidup tertentu yang makin lama makin menjauhkan manusia dari
lingkungan alamiahnya, sehingga mempengaruhi pula pola-pola perbuatannya,
bahkan juga mempengaruhi cara berpikirnya.[2]
Jikalau wujud-wujud kebudayaan itu dihayati dan diamalkan, maka lahirlah rasa
bangga dan rasa cinta terhadap karya itu. Salah satu wujud yang dimaksud adalah
terdapatnya berbagai macam simbol pada arsitektur tradisional di Sulawesi
Selatan.
Arsitektur tradisional merupakan karya yang tumbuh dan
berkembang di bawah pengaruh tradisi, aktivitas sosial budaya, dan perilaku
masyarakat. Oleh sebab itu, sebuah karya arsitektur seperti arsitektur
tradisional Sulawesi Selatan semestinya juga sebagai cerminan budaya yang
mempunyai makna dan fungsi sebagaimana mestinya.[3]
Arsitektur tradisional dengan berbagai macam simbol yang
melekat pada bangunan, adalah salah satu bentuk warisan budaya yang tidak
ternilai. Namun demikian, sejauhmana kebudayaan daerah dapat dikenal dan
dicintai masyarakat pendukungnya, adalah
hal yang membutuhkan analisis untuk menunjukkan identitas bangsa yang
berkepribadian. Budaya daerah yang bersifat nasional perlu diidentifikasi demi
pelestariannya, demikian halnya dengan arsitektur tradisional Sulawesi Selatan
sebagai salah satu aset lokal yang perlu dipertahankan eksistensinya, bahkan
dilestarikan sebagai salah satu kearifan lokal masyarakat pendukungnya dan
warisan yang dapat memperkaya seni budaya di tanah air.
Ketika interaksi sosial
budaya suatu masyarakat semakin luas maka kian beragam dan kompleks jaringan
yang dilakoninya. Semakin tinggi intensitas interaksi sosial budaya yang
dikembangkan oleh suatu komunitas lokal dalam pergaulannya dengan komunitas
diluarnya, maka semakin besar pula peluang masyarakat tersebut untuk mengembangkan
kebudayaannya. Sebaliknya semakin terisolir suatu komunitas dari lingkungan
sosial budayanya, atau semakin mereka menutup diri dari pergaulan dengan
luar komunitasnya, maka semakin kuat pula hambatan yang dihadapi dalam
mengembangkan budayanya. Pada masa sekarang, ketika interaksi sosial budaya
masyarakat semakin luas dan terbuka, mengarahkan pendukung kebudayaan menuju
suatu keadaan imajiner, dimana masyarakat semakin mengabaikan batas geografis,
etnografis, negara bahkan bangsa.
Ralp Linpton[4]
menyatakan bahwa di dunia ini tidak ada lagi masyarakat yang berhak menyatakan
bahwa kebudayaannya masih asli.
Selebihnya merupakan hasil tukar menukar dan pinjam meminjam unsur kebudayaan
yang diserap secara murni ataupun dimodifikasikan. Demikian pula sebagian besar
pengembangan unsur kebudayaan setempat biasanya merupakan pengembangan yang
diilhami oleh pengaruh kontak budaya dengan pihak luar. Dalam proses kontak
budaya itu, Monica Hunter Wilson mengemukakan bahwa perubahan akibat adanya
kontak kebudayaan dalam suatu masyarakat tradisional ke masyarakat masa kini
tidak perlu menyebabkan hilangnya keseimbangan sehingga timbul konflik-konflik
yang merusak, asalkan perubahan itu berlangsung dengan lambat dan terarah.[5]
Di Indonesia,
perkembangan semangat demokrasi dan reformasi menjadi fenomena umum yang
turut mendorong terjadinya pola interaksi sosial budaya baru. Masyarakat
semakin terbuka, perkembangan tersebut telah mendorong pengaruh yang memberi
dampak positif sekaligus negatif. Perkembangan positif yang telah terjadi
adalah berkembangnya keterbukaan, transparansi, penegakan hukum dan hak azasi,
memberi warna dan nuansa baru dalam tatanan pergaulan dan kehidupan
kemasyarakatan, baik di tingkat lokal, regional maupun global. Sebaliknya,
dampak negatif, karena meningkatnya transportasi dan informasi yang
mengantarkan “budaya” baru. Bila tidak ada filterisasi dan proteksi secara
dini, keterbukaan dapat mengakibatkan infiltrasi
kebudayaan yang membawa nilai-nilai baru yang tidak semuanya baik dan sesuai
dengan nilai luhur yang dimiliki bangsa Indonesia hingga dapat menimbulkan
dekadensi kebudayaan. Kebudayaan lokal akan cenderung semakin terpuruk dan
akhirnya kehilangan identitas. Kondisi ini, kian diperparah karena anutan “model”
pembangunan di Indonesia, sementara masih lebih bertumpu pada prioritas pembangunan
di bidang ekonomi.
Gejala tersebut di atas,
mulai dirasakan dalam perkembangan arsitektur tradisional Sulawesi Selatan
(Bugis, Makassar, dan Toraja). Masyarakat dalam membangun rumah cenderung memilih model Eropa atau asing untuk bentuk
bangunannya. Pada dasarnya, Penerapan
gaya arsitektur menjadi hak pemilik bangunan sehingga sulit untuk menggiring
memilih penerapan suatu gaya arsitektur tertentu. Tapi terasa aneh jika kita
berada di suatu kawasan atau kota yang punya latar sejarah besar, tradisi, adat
dan budaya lokal yang dikagumi sejak masa silam, seperti Kota Makassar tapi
justru kemudian dikelilingi bangunan-bangunan bergaya arsitektur asing.
B. Setting dan Metode
Khalayak sasaran tulisan ini adalah
amatan terhadap beberapa bangunan pemerintah dan bangunan publik yang ada di
kota Makassar yang dipilih dan diamati secara acak. Metode penyajian tulisan
deskriptif-analisis dengan menggambarkan beberapa bangunan pemerintah dan
publik di kota Makassar yang menerapkan ciri khas arsitektur Sulawesi Selatan.
C. Arsitektur Bugis-Makassar mulai terkikis dari Ruang
Publik Kota Makassar.
Seiring dengan upaya
menjadikan Makassar ibukota Provinsi Sulawesi Selatan sebagai ‘Kota Dunia’,
kehadiran berbagai macam model gedung dan bangunan baru pencakar langit tampak
dibuat tak lagi menghiraukan penerapan identitas arsitektur tradisional
Bugis-Makassar. Sebutlah, misalnya beberapa gedung bertingkat yang telah
selesai dibangun, Gedung Graha Pena atau Gedung perkuliahan Universitas Islam
Indonesia (UIN) Alauddin yang sedikit pun tidak menandakan identitas tradisional
Bugis-Makassar atau Toraja. Olehnya itu, dalam upaya pelestarian budaya daerah,
diperlukan adanya kebijakan pemerintah daerah untuk membuatkan Peraturan Daerah
(Perda) yang dapat dijadikan pegangan bagi para arsitek maupun pemilik
bangunan, ketika membuat rancangan untuk pembangunan di ruang-ruang publik agar
tak melupakan memberikan pertanda khas Kota Makassar atau ‘memunculkan’ gaya arsitektur tradisional
Sulawesi Selatan dalam membangun kantor atau bangunan publik.
Usaha untuk menggali,
mengenalkan, dan melestarikan hasil kebudayaan tradisional terus digalakkan
oleh pemerintah. Hal ini dimaksudkan untuk mencari identitas daerah dan
identitas nasional agar tidak musnah dilanda perubahan. Usaha pemerintah
untuk ikut serta mengembangkan kebudayaan daerah tertuang jelas dalam UU No.
32/2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 2 ayat (9). Undang-undang tersebut
antara lain menyebutkan bahwa negara mengakui serta menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya. Hal ini
dipertegas lagi oleh pasal 22 huruf m yang menyatakan bahwa dalam
menyelenggarakan otonomi, pemerintah daerah mempunyai kewajiban melestarikan
nilai-nilai tradisional. Kebijakan pemerintah ini dimaksudkan untuk melindungi
hak-hak adat yang sampai sekarang masih dijaga dan dilestarikan.
Pada sisi lain dalam mempertahankan identitas
budaya bangsa, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pariwisata no. 14/V/11/88
menyatakan bahwa persyaratan fisik bangunan yaitu unsur dekorasi Indonesia
harus tercermin dalam interior dan eksteriornya. Kebijakan ini disambut dengan
baik oleh para desainer interior dan eskterior dalam mewujudkan karya-karya
rancangannya, terumata pada bangunan perkantoran, perbankan, hotel, restoran,
dan bangunan publik lainnya. Dengan diberlakukannya kebijakan tersebut, para desainer
dan arsitek mempunyai andil yang sangat besar dalam melestarikan nilai-nilai
tradisional bangsa.
Belakangan ini ada upaya
masyarakat kota Makassar aktif berperan dalam penyesuaian diri dengan
unsur-unsur yang datang dari luar dengan tanpa melupakan unsur budaya lokal. Salah
satunya dapat dilihat pada bangunan-bangunan baru baik milik pemerintah maupun
swasta sudah menganut tipe baru tetapi masih senantiasa memperlihatkan
ciri arsitektur khas Bugis, dengan
menggunakan timpalaja (tutup bubungan
yang berbentuk prisma). Di sini ada kecendrungan menjadikan bentuk timpalaja sebagai terminal pertahanan,
sehingga pada ciri inilah seolah-olah dikonsentrasikan semua nilai yang telah
kehilangan wujud (simbol) karena perubahan.
Upaya Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan
merintis pembangunan gedung atau bangunan-bangunan baru yang tetap
mengedepankan ciri arsitektur Bugis- Makassar, seperti yang mulai dicontohkan
tahun 1978 dengan membangun Kantor DPRD Sulawesi Selatan dan Kantor Gubernur
Sulawesi Selatan merupakan upaya yang perlu direspon positif. Namun upaya ini
tidak berlangsung lama. Para arsitek yang dalam beberapa waktu sebelumnya masih
tampak menerapkan model Timpalaja
(timpanon) sebagai ciri menonjol atap rumah tradisional Bugis-Makassar pada
bangunan-bangunan, juga terlihat sudah mulai menghilang dari kehadiran gedung
atau bangunan-bangunan baru yang justru menjadi ikon baru bagi Kota Makassar.
Pengaruh globalisasi memang sulit untuk dibendung,
yang pasti ialah pengaruh luar dalam kondisi budaya di dunia dewasa ini tidak
lagi dapat dihindari. Maka setiap bangsa tidak lagi hanya dihadapkan kepada
menolak atau menerima pengaruh luar, tapi pada sikap bagaimana menghadapi
pengaruh luar tersebut dalam mengembangkan kebudayaan sendiri.
Akibat terjadinya akulturasi budaya timbul proses
penyerapan unsur-unsur kebudayaan. Lama tidaknya proses peniruan kebudayaan
asing bergantung kepentingan dan kondisi budaya bangsa yang menerima dan
menyaring kebudayaan asing tersebut. Pada tahap penyaringan, kebudayaan asing
diterima tidak secara utuh, tetapi secara selektif dimbil beberapa unsur
kebudayaan dan disesuaikan dengan kebudayaan sendiri. Adapun pola perubahan
dalam arsitektur, khususnya dalam penerapan ciri khas anjong/timpalaja (atap)
dan bentuk arsitektur tradisional Sulawesi Selatan pada bangunan pemerintahan
dan bangunan publik di Makassar memiliki kecendrungan sebagai berikut:
1.
Bentuk
tetap dengan makna tetap. Penampilan bentuk arsitekturnya tetap mengadopsi
bentuk lama walaupun dengan menggunakan perubahan material bangunan dan makna
yang lama (mitologi dan kosmologi).
2.
Bentuk
tetap dengan makna baru. Penampilan bentuk arsitekturnya tetap mengadopsi
bentuk lama tetapi diberi makna baru.
3.
Bentuk
baru dengan makna tetap. Penampilan bentuk arsitekturnya menghadirkan bentuk
baru dalam pengertian unsur-unsur lama yang diperbaharui. Jadi tidak lepas sama
sekali karena terjadi interpretasi baru terhadap bentuk lama, tetapi diberi
makna yang lama untuk menghindari terjadinya kejutan budaya.
4.
Bentuk
baru dengan makna baru. Penampilan bentuk arsitekturnya menghadirkan bentuk
baru dengan disertai makna yang baru, karena terjadinya perubahan paradigma
berarsitektur secara total dalam berakulturasi desain. Dalam konteks ini
kebudayaan lama sudah ditinggalkan.
C. Arsitektur
Tradisional Sulawesi Selatan dalam Ketahanan Budaya Lokal.
Pemanfaatan
model arsitektur tradisional pada bangunan masa kini, ternyata sering dianggap
tidak lagi mampu sepenuhnya mengikuti dinamika kebutuhan masyarakat. Seringkali
dianggap terjadi ketidakserasian antara keberadaan model arsitektur tradisional
yang boleh dikatakan cenderung stagnan, dengan dinamika tuntutan kehidupan
moderen yang selalu cepat berubah dengan variasi-variasinya. Pada banyak kasus,
karena penerapan model arsitektur tradisional yang salah, tidak mengabaikan
kaidah-kaidah sebagaimana mestinya mengakibatkan bangunan atau rumah itu
bermasalah. Pemahaman seperti itulah yang mendasari pertimbangan hingga
penerapan model baru pada arsitektur rumah atau bangunan masa kini dengan corak
kekinian pula, tidak mau mengadopsi potensi arsitektur rumah
tradisional. Kalau pun ada upaya-upaya menyerap model arsitektur rumah
tradisional, misalkan penerapan seni hias Bugis pada bagian tertentu bangunan, maka
proses adopsi itu secara umum masih belum cukup memuaskan karena hadir hanya
sebagai tempelan artistik pemanis, sebatas ornamen ringan semata, bukan karena
pertimbangan aktualisasi kekayaan arsitektur tradisional.
Apabila dicermati lebih
jauh, sesungguhnya esensi karya seni arsitektur tradisional bukan karya seni
yang sama sekali sudah tidak berubah atau tetap dalam pengertian mati (statis).
Karya seni arsitektur tradisional adalah seni yang tidak statis karena
keberadaannya secara faktual, dari generasi ke generasi selalu mengalami
tahapan penyempurnaan yang mewakili zamannya. Penyempurnaan dengan menambah
unsur-unsur yang lebih adaptif dengan tuntutan masyarakat pendukung kesenian
merupakan bagian penting dalam proses kemantapan karya seni tradisi itu
sendiri, sehingga seni tradisi semestinya harus dimaknai sebagai seni yang
dinamis (dynamic art) dalam pengertian
seni yang senantiasa membuka diri terhadap kemungkinan perubahan-perubahan,
baik bentuk maupun fungsinya.[6]
Ada pula paradigma yang
menilai bahwa dalam konteks waktu, tradisional diidentikkan dengan masa lalu
yang kuno dibanding dengan modern, ultra modern atau pasca modern yang
sepenuhnya mencerminkan kekinian terbaru. Itu salah satu penyebab rumah ber-arsitektur
tradisional yang mengandung berbagai kearifan lokal dinilai kuno oleh sebagian
masyarakat, ketinggalan zaman hingga pelan-pelan mulai ditinggalkan pemangku
kepentingan. Padahal, disadari bahwa transformasi model arsitektur tradisional
ke arsitektur moderen sebenarnya dapat terproses secara baik dalam penataan
ruang dan lingkungan dari waktu ke waktu, jika saja hal tersebut terus
dilakukan dalam kesadaran tinggi. Mencari wujud arsitektur tradisional untuk
rumah yang baru dengan penerapan secara bijak dan mematuhi kaidah-kaidah dengan
tepat. Semakin cepat dilakukan transformasi akan semakin besar dan efektif
manfaatnya bagi masyarakat. Alasan inilah yang mendasari pemikiran; pentingnya
berbagi kesadaran untuk sama-sama berusaha menggali dan memahami kembali
kearifan lokal dan keunggulan yang terkandung dalam ranah arsitektur rumah
tradisional. Kearifan lokal dan keunggulan yang mulai terabaikan, ditinggalkan
atau bahkan cenderung dilupakan, perlu segera direvitalisasi.
Hasil penelusuran,
pengkajian dan pelestarian kearifan lokal yang dimiliki, perlu
ditransformasikan untuk menjadi bekal pengetahuan dan keterampilan yang
diperlukan bagi pengembangan ilmu arsitektur, untuk generasi sekarang dan
generasi penerus, serta bagi kelestarian alam dan lingkungan.
Penerapan wujud
identitas dan karakter budaya lokal pada arsitektur rumah tradisional di
berbagai kawasan baik perumahan, pusat perbelanjaan, pusat wisata, dan pusat
kantor pemerintah dan swasta seharusnya terus menerus dilakukan secara
konsepsional dan terarah. Agar dapat terlihat secara jelas bagaimana esensi
kearifan budaya lokal yang diterapkan itu ternyata masih bisa sangat fungsional.
Konsep arsitektur tradisional yang diterapkan pada semua kawasan, bisa
berperan menjadi transformator atas nilai yang ingin diwariskan untuk
memperkokoh ketahanan budaya lokal sekaligus nasional.
Untuk mewujudkan
ketahanan budaya dan konteks pelestarian dan pengembangan arsitektur tradisional
Sulawesi Selatan maka.
·
Perlu
upaya memahami esensi masing-masing nilai kearifan lokal untuk dilestarikan
sebagai warisan budaya.
·
Perlu
upaya memahami substansi masing-masing nilai kearifan lokal untuk dikembangkan
ke dimensi kekinian, seiring dengan perubahan waktu dan kemajuan teknologi yang
bergerak ke masa depan.
·
Bahwa
mempertahankan jati diri dan karakter etnis lokal amatlah penting di tengah
deraan arus modernisasi dan kecenderungan universalisasi. Hal tersebut dapat
ikut ditransformasikan melalui kesadaran akan keunggulan budaya yang dimiliki.
·
Hidup
dan kehidupan memang berhak terus berkembang seiring zamannya, namun perubahan
lingkungan strategis etnis yang mengadopsi kearifan-kearifan lokal perlu pula
terus ikut diperhitungkan dan dipertahankan guna menjadi roh bagi pengembangan
sekaligus dan meningkatkan ketahanan arsitektur berciri tradisional.[7]
Semakin cepat dilakukan kajian
untuk menggali nilai dari kearifan arsitektur tradisional lokal dampaknya akan
semakin baik, termasuk upaya-upaya transformasi, pewarisan nilai dan teknologi
arsitektur tradisional dari para sesepuh, cerdik cendekia bidang budaya,
sosiologi dan arsitek rumah tradisional akan sangat baik sebelum mereka
terlanjur berpulang. Diharapkan dengan terwujudnya kelestarian arsitektur
tradisional lokal Sulawesi Selatan dapat merajut kembali kejayaan masa lalu
yang bermanfaat menjadi kebanggan masa kini. Warisan itu diwujudkan dalam explicit
knowledge, yang sangat kita perlukan dalam memantapkan konsepsi ketahanan
budaya lokal etnis oleh generasi masa kini dan generasi penerus dalam
menghadapi tantangan masa mendatang.
D.
Arsitektur Tradisional Sulawesi Selatan Masa Kini dan yang Akan Datang
Arsitektur sebagai salah aspek kebudayaan suku Bugis merupakan perwujudan
nilai-nilai yang dianut dan dipelihara untuk diwariskan ke generasi berikutnya.
Sebagai hasil karya tentunya selalu mengalami perubahan. Ada perbedaan laju
perubahan yang terjadi di daerah perkotaan dan di daerah pedesaan. Hal ini
disebabkan karena kota merupakan pintu gerbang komunikasi dengan daerah dan
bangsa lain.
Di daerah pedesaan,
masyarakat masih senang mempertahankan apa yang mereka telah miliki, sedangkan
di kota, masyarakat aktif berperan dalam penyesuaian dengan unsur-unsur yang
datang dari luar. Hal ini dapat dilihat dari bangunan-bangunan baru baik milik
pemerintah maupun swasta sudah menganut tipe baru, tetapi masih senantiasa
memperlihatkan ciri arsitektur khas Sulawesi
Selatan, dengan menggunakan timpalaja
(tutup bubungan yang berbentuk prisma). Di sini, ada kecenderungan menjadikan
bentuk timpalaja sebagai terminal
pertahanan, sehingga pada ciri inilah seolah-olah dikonsentrasikan semua nilai
yang telah kehilangan wujud (simbol) karena perubahan.
Hal ini membuktikan
bahwa masih ada unsur-unsur arsitektur tradisional Sulawesi Selatan mampu
bertahan dalam derasnya arus perubahan di segala bidang sebagai wujud
pembangunan nasional Indonesia. Di samping itu, membuktikan bahwa para arsitek
di Sulawesi Selatan masih mempercayai warisan nilai budaya, yang sejak lama
dipelihara oleh nenek moyang mereka sekaligus juga memperkaya arsitektur
Indonesia.
Dengan adanya perhatian
pemerintah khususnya, suaka pemeliharaan dan perlindungan peninggalan sejarah,
hal pelestarian dan pemeliharaan bangunan-bangunan tradisional lebih menambah
keyakinan bahwa arsitektur tradisional Sulawesi Selatan akan tetap terpelihara
pada masa-masa yang akan datang.
CATATAN
AKHIR
[1]Koentjaraningrat, Kebudayaan,
Mentalitet dan Pembangunan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), 5-6.
2Koentjaraningrat,
7.
3Eko
Budihardjo, Arsitektur sebagai Warisan
Budaya (Jakarta: Djambatan,1997), 6.
4Ralp Linton
(ed), Acculturation in Seven American
Indian Tribes (New York: Appleton, 1940), 457-458.
5Monica Hunter
Wilson, The Analysis of Social Change
Based on Observations in Central Africa (Cambridge: Cambridge University
Press, 1945), 12.
6Mardiman, Jangan Tangisi Tradisi (Yogyakarta:
Kanisius, 1994), 144-148.
7Syahriar Tato, “Arsitektur Tradisional Sulawesi
Selatan Pusaka Warisan Budaya Lokal Indonesia”. (hhtp: www.arsitekturtradisional.
2010).
DAFTAR
PUSTAKA
Budihardjo, Eko. Arsitektur
sebagai Warisan Budaya. Jakarta: Djambatan,1997.
Koentjaraningrat, Kebudayaan,
Mentalitet dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004.
Linton, Ralp (ed), Acculturation
in Seven American Indian Tribes. New York: Appleton, 1940.
Mardiman,
Jangan Tangisi Tradisi (Yogyakarta:
Kanisius, 1994.
Tato,
Syahriar, “Arsitektur Tradisional Sulawesi
Selatan Pusaka Warisan Budaya Lokal Indonesia”. hhtp: www.arsitekturtradisional. 2010.
Wilson, Monica Hunter, The Analysis of Social Change Based on Observations in Central Africa
. Cambridge: Cambridge University Press, 1945.
[4] Ralp Linton (ed), Acculturation in
Seven American Indian Tribes (New York: Appleton, 1940), 457-458.
[5] Monica Hunter Wilson, The Analysis
of Social Change Based on Observations in Central Africa (Cambridge:
Cambridge University Press, 1945), 12.